Sinopsis
Seorang antagonis dalam sebuah cerita atau kehidupan seseorang pasti akan selalu ada. Sama halnya dengan kisah percintaan antara Elvis dan Loretta. Quella menjadi seorang antagonis bercerita itu atau bisa dikatakan selalu menjadi pengganggu di hubungan mereka.
Di satu sisi yang lain Quella ternyata sudah memiliki seorang suami yang dikenal sebagai CEO dari Parvez Company.
Tentu sangatlah terkesan aneh mengingat status Quella yang ternyata sudah memiliki seorang suami tapi masih mengejar laki-laki lain.
•••••
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lightfury799, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17
Quella duduk di depan meja rias, matanya terpaku pada pantulan dirinya dalam cermin. Gaun pengantin putih yang seharusnya melambangkan kebahagiaan kini terasa seperti belenggu yang menyesakkan untuknya. Yuren, pelayan pribadinya, dengan lembut membantu melepaskan jepitan rambut dan segala aksesoris yang menempel di tubuhnya. Setiap sentuhan Yuren seolah menenangkan badai emosi yang bersarang dalam dada Quella.
"Wajah nona terlihat sangat lelah," ucap Yuren sambil menghapus sisa-sisa riasan dari wajah Quella.
Quella hanya mengangguk pelan untuk menanggapi, matanya tak beranjak dari cermin, memandangi bayangannya yang terlihat pucat. Bola matanya langsung menajam ketika ingatan sialan itu kembali berputar di kepalanya.
"Parvez... dia...," suara Quella bergetar, tidak mampu menyembunyikan rasa frustrasinya. "Berengsek," tidak tahan menahan emosinya Quella menggebrak meja, tangannya menghempaskan semua barang yang berada di meja rias, tidak memperdulikan sedikitpun pada barang-barang nya.
"Dia menjebak ku Yuren. Parvez sialan itu, dengan kurang ajar menjebak ku dalam pernikahan yang tak pernah kuinginkan ini," Quella meledak-ledak bahkan napasnya memburu karena amarahnya. Apalagi emosi di matanya sangatlah terpancar dengan jelas.
Yuren menarik napas dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Ia memang tidak tau permasalahan utamanya dimana. Namun Yuren sudah merasa curiga, karena dengan tiba-tiba saja nonanya menikah tanpa berkomunikasi pada siapapun, bahkan membicarakan terlebih dahulu dengan nyonya. "Maaf nona namun apa yang sudah terjadi? Saya bahkan tidak tau apapun, namun saya memang sudah merasa aneh saat nona menyatakan akan menikah."
Mengatur pernapasannya agar lebih stabil dari emosinya yang meledak-ledak. Quella kemudian menjelaskan semuanya, tentang bagaimana Xaver menjebaknya, dan hingga akhirnya itu membuatnya merasa telah dibodohi.
Yuren mendengar semua itu, tentu sangatlah terkejut. Bahkan dirinya sampai tidak bisa berkata-kata apapun, mengenai apa yang telah terjadi. Yuren menatap nonanya dengan tatapan mata yang sedih.
Merasa tenaganya habis, Quella kembali duduk tangannya menggenggam erat tepi meja rias, kukunya hampir menggores kayu. "Aku harus bebas dari dia, Yuren. Aku tidak bisa hidup terikat dengan seseorang yang kubenci. Aku harus mencari cara..."
"Jadi nona apa yang akan anda lakukan?" Yuren bertanya karena mungkin dirinya bisa membantu.
"Apapun, aku akan lakukan semuanya. Asalkan bisa membalas dendam atas perbuatan yang dilakukan Parvez," mata Quella menyala-nyala, dendam untuk membalas perbuatan Xaver akan dirinya lakukan.
Yuren menatapnya lewat cermin, matanya penuh kekhawatiran namun juga dukungan. "Saya akan selalu di sisi Nyonya, apapun keputusannya."
°°°°°
Suara ketukan sepatu terdengar di koridor, Xaver berjalan menuju kamar pengantinnya. Mereka memang mengadakan pernikahan di Queez Hotel, sekarang pesta telah beres dan Xaver berniat istirahat.
Langkah kakinya menuju sebuah pintu besar yang begitu mewah. Xaver berjalan menuju ruangan kamar khusus yang selalu Quella tempati. Saat jarak dirinya di pintu sudah dekat, Xaver melihat pintu tidaklah tertutup sempurna.
Tangannya bergerak untuk membuka pintu namun ia hentikan, ketika mendengar obrolan yang dilakukan oleh Quella beserta pelayanan pribadi yang dirinya kenal sebagai Yuren.
"Kamu berniat pergi dariku, itu sangatlah mustahil sayangku," gumam Xaver setelah mendengar percakapan mereka. Tatapan obsesi terpancar di shappire birunya.
Tanpa berlama-lama, Xaver membuka pintu dengan sedikit kasar. Itupun berhasil membuat kedua orang yang berada di dalam terkejut dan langsung menatap kearahnya.
Yuren menundukkan kepalanya hormat, sedangkan Quella hanya memutar bola matanya. Merasa tidak penting, kemudian Quella langsung kembali menatap cermin di depannya.
"Yuren, aku ingin mandi," ucap Quella yang berdiri dan bersiap berjalan ke arah kamar mandi, tanpa mau memperdulikan kehadiran Xaver sedikitpun.
Merasa tidak dianggap membuat harga diri Xaver tersentil. Tangannya terkepal menahan kemarahan, Xaver sepertinya harus mendidik Quella agar paham bahwa ia adalah suaminya.
"Baik nona," Yuren membantu nonanya, tangannya akan memegang gaun berat yang masih dipakai Quella, namun terhenti karena suara dari Xaver memerintahkannya.
"Yuren keluarlah, biarkan aku yang membantu Tuan putri yang manja ini," pinta Xaver mutlak dengan tatapan mata yang tajam tidak terbantahkan.
Quella mendengar itu tentu langsung tidak terima. "TIDAK... YUREN TETAP DI SINI, KAMU YANG SEHARUSNYA KELUAR," suara Quella menggelegar marah, bahkan kebencian di matanya semakin terpancar jelas.
Xaver sama sekali tidak merasa terpengaruh akan kebencian Quella padanya. Bahkan Xaver menantang Quella, mereka beradu tatapan mata.
Menyaksikan kemarahan keduanya, membuat Yuren terdiam kaku. Tentu saja Yuren tidak dapat melakukan apapun, karena akan terlalu beresiko besar untuknya. Apalagi rasa-rasanya tidaklah sopan, untuk ikut campur.
Berdecak kesal karena Yuren yang diam saja layaknya patung, membuat Xaver segera mengusirnya. "YUREN...," Xaver jengah akan keterdiaman pelayan pribadi istrinya itu.
Mendapati Xaver yang akan marah besar, Yuren segera memberikan penjelasan. "Maaf tuan, tapi nona tidak bisa melakukannya sendiri. Nona pasti akan kesulitan," Yuren berusaha menjelaskan dengan apa adanya. "Biarkan saya membantu," ucap Yuren dengan pandangan tertunduk, karena merasa takut akan tatapan intimidasi dari Xaver.
Namun sayangnya Xaver tak mau lagi mendengar apapun alasannya. "Apa kamu tuli? Saya katakan keluar," Xaver tidak menerima bantahan sedikitpun. "Atau kamu ingin saya pecat," Xaver merasa kesabarannya sudah akan menipis.
Semakin menundukkan kepalanya, Yuren bahkan tidak berani untuk sekedar menatap sekitarnya. "Baik tuan," Yuren pasrah dan segera melangkahkan kakinya untuk keluar.
Menyaksikan pelayan pribadinya diusir, Quella tentu tidak terima. "Tidak Yuren...," Quella akan menyusul Yuren, namun tangannya dicengkeram erat oleh Xaver. "Lepaskan sialana...," Quella marah dan berusaha memberontak, ia semakin memberontak saat pintu telah ditutup rapat oleh Yuren.
"Parvez lepas..," Quella merasa cengkraman Xaver semakin erat padanya.
Saat pintu tertutup rapat, Xaver menghempaskan tangan Quella dengan kasar. "DIAM," sentak Xaver dengan keras, dan itu berhasil membuat Quella tidak terkutik.
"Jangan membuat ku marah besar Ella, kamu seharusnya tau diri. Jika bukan karena bantuan ku, pelayan pribadi dan semua orang yang bekerja padamu akan mengundurkan diri secara masal. Alasannya tentu karena Queez Hotel, sama sekali tidak bisa memberikan para pekerjanya gaji," Xaver berterus-terang agar Quella tidak merasa semena-mena padanya.
Mendengar itu membuat Quella bungkam, matanya berkaca-kaca. Ia merasa Xaver telah menghinanya, Quella tau akan itu. "Aku tau itu, dan akan aku buktikan. Aku bisa mengembalikan semua uang yang telah dirimu berikan," Quella menekan dada Xaver dengan jari telunjuknya.
Xaver menunduk mensejajarkan tingginya dengan Quella. Senyuman sinis ia tunjukkan, meremehkan ucapan yang Quella baru saja katakan. "Silahkan, aku tunggu bukti itu secepatnya," ucap Xaver setelahnya mencengkram kuat pipi Quella, agar menatap mata birunya.
Mata onyx Quella sudah berkaca-kaca, dirinya menggigit dalam bibirnya berusaha agar air matanya tidak mengalir. Ia tidak mau sampai terlihat lemah di hadapan bajingan sialan ini.
Mereka beradu tatapan hingga beberapa menit, hingga akhirnya sudut bibir Xaver tertarik, menyukai ekspresi wajah Quella saat ini. Mendekatkan wajahnya mereka agar lebih dekat, Xaver berbisik pelan. "Keluarkanlah tangisan mu itu Ella," bisik Xaver yang berhasil langsung mendapatkan sebuah tamparan dari tangan Quella.
PLAK...
Suara tamparan keras terdengar. Quella semakin membenci laki-laki di depannya ini. "Aku tidak akan pernah sudi, terlihat lemah di depanmu," ucap Quella dengan berani. "Camkan itu baik-baik," Quella mengatur napasnya yang memburu, setelahnya ia langsung berbalik menuju kamar mandi, tanpa memperdulikan Xaver lagi.
BRAK...
Pintu kamar mandi tertutup dengan kasar, membuat Xaver tersadar. Tangan bergerak menyentuh rahangnya yang sedikit kesakitan karena tamparan yang diberikan Quella dengan kekuatan penuh. "Menangislah Ella, aku ingin sekali melihat mu tidak berdaya," ucap Xaver pelan, memandangi pintu kamar mandi yang sudah tertutup dengan rapat.
TOK.... TOK... TOK....
Xaver menoleh saat telinganya mendengar suara ketukan pintu. Alisnya terangkat heran, menerka-nerka siapa yang bertamu selarut ini.
"Mungkin Jad," gumam Xaver mengira itu asistennya. Berjalan mendekati pintu, tangannya bergerak membukanya. Mulutnya langsung terkunci, saat ternyata orang di depannya bukan Jad melainkan Owira.
"Oma," seru Xaver pelan.
"Hallo Xaver, boleh kita berbicara sebentar saja," pinta Owira dengan tatapan tegas.
Menganggukan kepalanya, Xaver menutup pintu. Owira jalan mendahuluinya, dan diikuti oleh Xaver dari arah belakangnya.
°°°°°
Dengan perasaan frustrasi yang memuncak, Quella berdiri tegap di depan cermin kamar mandi yang besar, matanya memandangi tajam ke gaun pengantin putih yang kini terlihat sangat mengganggu di tubuhnya.
Dalam keadaan tergesa-gesa dan amarah yang meluap-luap, dia meraih gunting yang tersimpan di dalam laci dan tanpa pikir panjang mulai merobek gaun mahal itu.
Setiap jahitan yang putus, setiap lembaran kain yang terbelah, memberikan sedikit kelegaan di hatinya. "Akhirnya lepas juga," gumamnya dengan nafas yang masih tersengal karena emosi. Dia membuang potongan kain itu ke lantai, melihatnya jatuh tidak berdaya, serupa dengan keadaannya pada pernikahan ini.
Quella memandangi dirinya di cermin lagi, kini hanya mengenakan pakaian dalam dan menghela napas panjang. "Apa yang harus aku lakukan?" Quella bertanya pada dirinya sendiri.
Pernikahannya dengan Xaver, yang seharusnya menjadi momen penyelamat, kini ternyata hanyalah sebuah mimpi buruk yang dialami olehnya. "Hanya sebuah kesalahan besar dalam hidupku," bisiknya lirih.
Terlalu lama memandangi dirinya sendiri, rambutnya yang kusut dan wajah yang pucat mencerminkan betapa beratnya beban yang sedang dia pikul. Air mata yang selama ini dia tahan akhirnya pecah, mengalir deras membasahi pipinya. "Hiks... Hiks... Aaaah...," isak tangisnya menggema di ruangan sunyi, bahkan Quella mengeluarkan teriakannya. Berusaha melepas segala keberatan yang berada di dalam hatinya.
Merasa berat dengan yang dialaminya, tubuhnya perlahan meluncur turun, terduduk di lantai yang dingin, seraya memeluk lututnya erat-erat. Dalam pelukan itu, dia merasakan kesepian yang mendalam. "Kenapa ini harus terjadi pada ku?" gumamnya lirih, sambil terisak mencari jawaban yang tak kunjung datang. Setiap detik yang berlalu, semakin menekan jantungnya yang terasa frustasi dan kecewa.
Di sana, dalam keheningan kamar mandinya, Quella terus meraung kecil, mencoba mengerti dan memahami serangkaian peristiwa yang telah menghancurkan hatinya. Tubuhnya bergetar oleh setiap isak tangis yang memecah keheningan, mencerminkan perjuangan batin yang dialaminya.
Setelah merasa cukup baik, selama beberapa menit. Matanya teralih ke bathtub yang kosong, dan Quella menggaruk kepala pelan, ia bingung sekarang. Biasanya Yuren pelayan pribadinya, yang selalu menyiapkan segalanya untuknya. "Dasar Parvez sialan," gerutu Quella dengan suara seraknya, karena ulah Xaver mengusir Yuren membuatnya kesulitan.
Dengan kebingungannya, Quella mencoba mengutak atik semuanya hingga. "Panas sekali, aw... Hiks.... Oma....," Quella tanpa sengaja menekan keran khusus air panas. Tangannya memerah kesakitan karena terciprat.
"Aku benci ini," Quella frustasi dalam kesendirian dan kebingungan, dia harus menghadapi kenyataan bahwa dia sendirian, tanpa Yuren untuk membantunya.
°°°°°
Lain halnya dengan Quella, Xaver sedari tadi mengikuti langkah kaki dari Owira. Hingga mereka berhenti di sebuah pintu yang menjulang tinggi. Xaver memperhatikan sekitarnya, merasa bahwa tempat ini sepertinya ruangan kerja.
Owira membuka pintu, mempersilahkan agar Xaver masuk terlebih dahulu. Mata birunya melihat ruangan yang begitu feminim sekali, nuansanya serba warna pastel, cerah dan imut. Pandangan Xaver tertarik pada satu benda, yaitu sebuah papan nama di atas meja yang bertuliskan. "Quella Grizelle," Xaver menyentuh papan itu.
"Ini ruang kerja Quella, namun ini bukan ruang kerja utama. Mungkin kamu bertanya-tanya, mengapa oma membawamu ketempat ini?" Owira berkata yang setelahnya duduk di sofa.
Xaver mengikuti lagi Owira, ia ikut duduk di sofa yang lain. Mereka saling berhadapan, dan menatap serius satu sama lain. Walaupun Xaver sesekali melihat sekeliling ruang kerja yang dirinya ketahui milik Quella.
"Xaver terimakasih atas bantuan yang kamu berikan. Queez Hotel sangatlah berarti bagi diriku, yah walaupun terasa egois membiarkan Quella mengobarkan keinginannya yang lain," Owira memulai pembicaraan.
"Quella itu penurut, walaupun terkadang dirinya sangat keras kepala namun percayalah, Quella sangatlah berhati lembut. Mungkin semua orang mengenalnya sebagai wanita yang berkepribadian buruk dan sombong, tapi Xaver, itu karena Quella hanya merasa dirinya jika lemah akan mudah tertindas," Owira menceritakan apa yang ada di kepalanya.
"Oma harap kamu bisa menjaganya dengan baik, Quella manja sekali karena diriku yang terlalu memanjakannya. Bahkan keinginan dari Quella aku usahakan terkabul, hal itu juga yang menyebabkan Quella bersikap sedikit sombong. Quella juga sebenarnya mudah sekali menangis, terkadang amat mudah putus asa," lanjut Owira kembali.
Xaver menyimak semuanya, hingga rasa penasaran membuatnya bersuara. "Kenapa oma menceritakan hal ini?" Xaver bertanya setelah lama diam hanya mendengarkan.
Owira tersenyum menanggapi ucapan itu. "Karena oma tau, kamu mencintai cucu oma sangat dalam," jelas Owira sambil mempertahankan senyumnya.
Tidak merespon apapun karena pertanyaan itu. Hingga pesan dari Owira selanjutnya, membuat Xaver sedikit terkejut. "Oma menyerahkan Queez Hotel padamu, bangkitlah kembali Hotel ini. Karena sampai kapanpun Quella tidak akan pernah bisa untuk membuat Hotel ini bangkit," ucap Owira yang telah memprediksi semuanya. Sikap Quella yang terlalu labil dan belum bisa menahan emosi, akan sangat merugikan untuk membangkitkan Queez Hotel.
"Bukankah itu akan membuat Quella semakin membenci ku," ucap Xaver yang tau jalan itu bukan hal yang baik, untuk hubungannya kedepan.
Owira menganggukkan kepalanya setuju, Quella tentu akan sangat marah. Apabila hotel ini bukan lagi Quella yang mengelolanya. "Yah, tapi apa kamu ingin melihat Quella terpuruk? Menyaksikan Queez Hotel yang sebenarnya tidak akan tertolong, dan hidupku yang sebe...." jelas Owira dirinya ingin Xaver mengambil alih, dan membuat Queez Hotel kembali.
"Cukup jangan di teruskan," Xaver menghentikan pembicaraan Owira. Diam sejenak, memikirkan langkah-langkah yang akan dihadapinya. "Baik aku terima," ucap Xaver cepat, yang kemudian berdiri tanpa menunggu balasan apapun, dirinya melangkahkan kakinya menuju pintu keluar.
Owira menghembuskan napasnya pelan, menyentuh dadanya yang terasa sakit. "Uhuk... Uhuk... Uhuk....," Owira terbatuk-batuk pelan. "Oma harap kamu menemukan kebahagiaan mu sendiri Quella," dalam keadaan seperti ini pun Owira masih memikirkan Quella cucu kesayangan itu.
•••••
TBC
JANGAN LUPA FOLLOW