" Mau gimanapun kamu istriku Jea," ucap Leandra
Seorang gadis berusia 22 tahun itu hanya bisa memberengut. Ucapan yang terdengar asal dan mengandung rasa kesal itu memang sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri.
Jeanica Anisffa Reswoyo, saat ini dirinya sudah berstatus sebagai istri. Dan suaminya adalah dosen dimana tempatnya berkuliah.
Meksipun begitu, tidak ada satu orang pun yang tahu dengan status mereka.
Jadi bagaimana Jea bisa menjadi istri rahasia dari sang dosen?
Lalu bagaimana lika-liku pernikahan rahasia yang dijalani Jea dan dosennya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Istri Rahasia 03
" Mari kita sambut, Profesor muda yang sudah banyak menerbitkan buku dan begitu digemari para wanita, Profesor Leandra Ranza Dwilaga."
Plok plok plok
Gemuruh tepuk tangan memenuhi auditorium sebuah universitas di Semarang. Lean dengan gayanya yang santai berjalan masuk dan duduk di depan. Semua mata melihatnya dengan tatapan takjub. Lean, menjadi sosok yang dikenal melalui prestasi dan juga ketampanannya tentunya.
Jika dulu papanya terkenal karena setengah artis, berbeda dengan Lean yang terkenal karena dia merupakan dosen yang cerdas dan berbakat. Lean tersenyum, mengawali kalimat dengan salam dan melakukan kegiatan bincang-bincang sebelum memberikan kuliah umum.
Semua memerhatikan dengan seksama. Tidak ada yang bicara sendiri, dan juga sibuk sendiri. Namun suasana menjadi riuh saat tiba di sesi tanya jawab.
Semuanya terjadi karena pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan tidak sesuai dengan tema yang saat ini sedang dibicarakan. Tema kali ini adalah ' Mengoptimalkan Kemampuan Generasi Muda Demi Membangun Bangsa'. Tapi dari semua pertanyaan tidak ada yang membahas tentang itu.
" Pak, apa Bapak sudah menikah?"
" Bapak berapa bersaudara?"
" Pak, kriteria calon istrinya seperti apa?"
Khas anak muda sekali pertanyaan mereka. Tapi Lean menanggapi dengan baik, dan menjawab semua pertanyaan mereka.
Mereka juga takjub saat mengetahui bahwa kakak Lean adalah seorang dokter. Sungguh sesuatu yang sulit ditembus, begitu lah celetukan-celetukan dari para peserta seminar.
Meskipun begitu juga tidak jarang yang melontarkan pernyataan yang lebih berbobot. Tentang menempuh pendidikan, tentang bagaimana memupuk rasa kepercayaan diri, tentang menggali potensi diri, dan lain sejenisnya.
Lean cukup puas dengan hari ini. Rasa lelahnya seolah terbayar dengan antusiasme peserta yang mengikuti acaranya. Ia benar-benar bersyukur.
" Terimakasih ya Pak Leandra atas waktunya. Wah saya benar-benar tidak menyangka Anda akan mengosongkan jadwal Anda ditengah kesibukan yang luar biasa."
" Waduh, tidak Pak. Saya malah sangat berterimakasih sudah diundang begini, karena saya juga bisa menambah wawasan dan pengalaman. Kalau begitu saya permisi ya Pak, terimakasih atas kesempatannya."
Lean segera pamit, ini sudah mendekati waktu luhur. Dia harus secepatnya kembai ke Jakarta agar tidak kemalaman di jalan.
Sebuah pujian terlontar dari orang-orang pihak universitas yang mengundangnya. Mereka tidak menyangka bahwa Lean ternyata sangat humble. Meskipun cerdas dan memiliki banyak prestasi, pria itu tetap rendah hati dan gaya bicaranya pun sopan.
" Orang pinter memang gitu, dia nggak merasa pinter dan malah selalu menganggap dirinya masih jauh dari kata pinter."
Begitulah ucapan salah satu dari mereka. Jaman yang sangat berkembang sekarang ini, sangat jarang ditemui orang yang cerdas dan berkedudukan tinggi tapi masih memiliki sikap yang humble. Meskipun tidak semua tapi kebanyakan mereka yang memiliki kedudukan bersikap congkak dan tak jarang merendahkan lawan bicaranya.
Brummmm
Lean melajukan kendaraannya. Tujuan utamanya adalah masjid, karena sudah masuk waktunya sholat, dan tujuan keduanya adalah mencari oleh-oleh untuk orang rumah beserta keluarga besarnya.
Setiap melakukan perjalan keluar kota, Lean pasti pulang membawa buah tangan. Dan itu ia bagikan ke tempat paman serta bibi nya. Hubungan persaudaraan diantara mereka sangat dekat sehingga sudah jadi kebiasaan begitu. Bukan hanya Lean, tapi semua anak-anak dari paman dan bibinya pun melakukan hal yang sama. Bahkan yang sudah menikah seperti anak pertama Paman Radi, Uncle Dika dan Bibi Rinjani, semua melakukan hal yang sama.
" Yaa lupa, duit chas habis. Tinggal gocap doang."
Selepas sholat Lean memeriksa uang di dompetnya. Dan ternyata tidak ada uang tunai lebih di sana. Mau tidak mau Lean harus mencari ATM terlebih dulu untuk mengisi dompetnya. Sebenarnya dia bisa saja langsung menggunakan kartu, tapi bagaimanapun dia butuh memiliki uang tunai untuk keadaan darurat.
Lean menghabiskan banyak waktu lebih dari yang ia duga. Awalnya dia hanya ingin segera membeli oleh-oleh, mengambilnya dengan cepat dan segera kembali ke Jakarta. Tapi siapa duga, karena keasyikan memilih, waktu berlalu tanpa ia sadari.
" Laah dah Ashar," gumamnya lirih.
Lean menepuk keningnya sendiri setelah menyadari apa yang dilakukannya. Lebih cepat lagi Lean mengakhiri kegiatannya hunting oleh-oleh. Lalu ia kembali mencari masjid untuk menjalankan kewajiban sebagai umat muslim.
Tepat pukul 4 sore, Lean memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Ia melakukan mobilnya dengan kecepatan rata-rata, tidak cepat juga tidak lambat. Dan perjalanan pulangnya kali ini, Lean tidak melewati jalan tol melainkan lewat jalan Pantura.
Meskipun waktu tempuhnya akan sedikit lebih lama namun Lean ingin berkendara dengan sedikit santai dan tidak terburu-buru. Mengingat dirinya yang kurang istirahat itu makanya keputusan untuk tidak melewati jalan bebas hambatan pun diambilnya.
Setelah berjalan sekitar 2 jam, mata Lean terasa berat. Ia membuang nafasnya kasar terlebih ketika semakin sering dirinya menguap. Rasa lelah bercampur dengan kantuk memenuhi tubuh Lean saat ini. Tapi dia tidak bisa untuk berhenti untuk sekedar menginap barang semalam. Besok pagi dirinya sudah harus berada di kampus untuk melakukan bimbingan skripsi dan disertasi para mahasiswanya.
" Ughhh ya Allah, ini ngantuk banget sumpah," ucapnya lirih. Ia melirik jam ditangan. Langit sudah mulai gelap, dan adzan magrib tadi juga sudah berkumandang. Lean pun menepi, melihat sebuah masjid yang ada di samping jalan. Ia akhirnya memutuskan untuk istirahat sejenak.
Tapi tetap saja Lean tidak bisa tidur, padahal matanya terasa berat. Satu-satunya jalan yakni dia mencari kopi sekalian makan. Kafein pasti bisa sedikit membantunya untuk terjaga.
Dia tahu apa yang dilakukannya itu tidak benar. Seharusnya dia membawa satu orang, atau seharusnya hari sebelum pergi ke Semarang dia tidak menerima bimbingan. Namun semuanya itu tidak berguna sekarang, karena yang namanya menyesal pasti datang belakangan.
" Yok bisa yok, bismillah. Pelan-pelan aja lah ya."
Merasa dirinya cukup segar, Lean kembali melanjutkan perjalanan. Ia bersyukur matanya tidak lagi terasa berat, dan ia juga bisa menatap ke depan dengan benar.
Semuanya amat sangat lancar, bisa dibilang secara ajaib mata Lean benar-benar jernih dan ia bahkan tidak menguap sama sekali. Lean tersenyum, ia yakin ia bisa sampai di Jakarta sesuai waktu yang sudah ia perkirakan.
Namun yang namanya rencana manusia pasti tidak akan selalu berjalan mulus, karena Tuhan punya pengaturan-Nya sendiri. Apa yang diinginkan terkadang tidak sesuai dengan apa yang terjadi.
Ckiiiiit
Buruk
" Astaghfirullah," pekik Lean kuat ketika mobil besarnya menabrak sebuah mobil di depannya. Kecepatan mobil yang Lean kemudikan memang lebih cepat dari sebelumnya karena dia merasa dirinya sudah tidak mengantuk.
Namun siapa sangka di depannya ada mobil yang tiba-tiba muncul dari dari arah pertigaan. Lean yang tidak siap mengerem dan terkejut sehingga ia tidak bisa membuang kemudinya ke arah lain akhirnya menabrak mobil tersebut.
" Pak, Bapak!!!!"
TBC