Ruby Lauren dan Dominic Larsen terjebak dalam pernikahan yang tidak mereka inginkan.
Apakah mereka akan berakhir dengan perpisahan? Atau sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenaBintang , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Racun
"Nyonya, ada undangan makan malam dari mansion utama keluarga Larsen. Kenapa Anda belum bersiap-siap?" tanya Amora.
Ruby mengerutkan keningnya. "Undangan apa? Aku tidak tahu."
Amora menghela nafasnya. "Apa Tuan Dominic tidak mengatakan bahwa malam ini kalian harus ke mansion utama?"
Ruby menggelengkan kepalanya. "Tidak ada, aku sama sekali tidak tahu tentang undangan makan malam ini."
Amora mengangguk. "Baiklah, Nyonya. Anda sebaiknya bersiap-siap. Tuan Dominic pasti sudah menunggu."
Ruby hanya mengangguk, gegas dia kembali ke kamarnya dan bersiap mengganti pakaiannya. Sebelumnya, Ruby akan ke ruang makan untuk makan malam, sebab dia sungguh tidak tahu tentang undangan yang Amora katakan.
"Dominic sangat keterlaluan! Dia bahkan marah sekali ketika aku memasuki ruangan yang dia anggap ruangan rahasianya!" Ruby masih mengingat kejadian di ruangan yang penuh buku itu. Amora dan pelayan lainnya sudah menjelaskan bahwa di mansion itu, Ruby tidak boleh sembarangan memasuki ruangan milik Dominic, namun wanita itu tidak mau mendengarnya, akhirnya dia mendapatkan amarah dari Dominic.
...----------------...
Selesai mengganti pakaiannya dengan gaun biru gelap yang terlihat mewah, Ruby segera keluar dari kamarnya dan menuju mobil yang ada di halaman. Robin membukakan pintu untuknya.
Namun, saat Ruby akan masuk ke dalam mobil, dia melihat Dominic sedang duduk menunggu sambil menghisap sebatang rokok.
"Jangan terus menatapku!" ucap Dominic. Tatapannya tajam ke arah Ruby.
Ruby menelan ludah kasar. "Kau tidak mengatakan padaku tentang undangan malam ini."
"Aku memang tidak ingin mengajakmu ke mansion utama," sahut Dominic.
"Lalu kenapa kau masih menunggu di sini?" Ruby terlihat begitu jengkel dengan pria di sebelahnya.
Dominic tidak menjawab, dia hanya memberi perintah kepada Robin untuk segera melajukan mobil dan pergi ke mansion utama keluarga Larsen.
"Baik, Tuan," sahut Robin, mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Di dalam mobil, Ruby dan Dominic hanya terduduk diam. Tidak ada pembicaraan apa pun di dalam mobil itu. Namun, sesekali Dominic melirik ke arah Ruby. Entah apa yang Dominic pikirkan tentang wanita itu.
...----------------...
Mansion utama keluarga Larsen.
Ruby dan Dominic turun dari mobil setelah Robin membukakan pintu mobil untuk mereka.
'Tiba-tiba aku merasa sangat gugup. Aku baru kali ini datang ke tempat yang seperti ini. Saat pernikahan, mereka semua terlihat dingin. Semoga saja kali ini mereka tidak banyak bicara denganku.' batin Ruby.
Saat pasangan pengantin baru itu berjalan memasuki ruang tamu mansion utama keluarga Larsen, hening seketika menyambut mereka. Tidak ada senyuman atau ucapan selamat datang yang biasa terdengar dalam sebuah reuni keluarga. Di ruangan itu hanya ada saudaranya Dominic, sedangkan kedua orang tua pria itu tidak kelihatan ada di sana.
Dominic, dengan langkah santai, berjalan di depan Ruby melewati ruangan itu, sementara tatapan datar menghujam dari wajah-wajah yang ada di sana. Bahkan, pelayan pun tidak ada yang menyapa Dominic.
Kedua kakak Dominic, Dylan dan Bryan, mereka juga tidak mengangkat kepala untuk menyapa adik mereka yang baru saja tiba. Ruby bisa merasakan dinginnya atmosfer, sebuah kebekuan yang mungkin sudah lama mencekam hubungan di antara mereka.
'Mereka benar-benar acuh kepada Dominic. Aku jadi penasaran, apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa mereka semua seperti ini padanya?' batin Ruby.
Ruby memandang wajah Dominic sejenak. Meski Dominic berusaha terlihat acuh, Ruby tahu pria itu pasti terluka. Dia bisa melihat bagaimana Dominic sesekali menelan ludah, menandakan betapa tidak nyamannya dia berada di sana.
Ruby, merasa tidak tega melihat suaminya seperti itu, namun tak ada yang bisa dia lakukan, sebab Dominic juga tidak mau bicara dengannya.
Ruby menghela nafasnya. Dia wanita yang selalu merasa tidak tega jika melihat seseorang diabaikan.
Ruby lalu berjalan mendekat dan berhenti di sebelah suaminya yang dingin itu. "Dominic," bisik Ruby pelan, mencoba mencairkan kebekuan. "Kau baik-baik saja? Aku ada di sini untukmu."
Mendengar bisikan itu, Dominic langsung menoleh ke arah Ruby. Dia menatap wanita itu dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Jangan berpura-pura baik padaku. Kau dikirim oleh mereka! Kau pasti seorang penjahat!" balas Dominic berbisik.
Ruby memutar malas kedua bola matanya. Sungguh pria di sebelahnya itu sulit sekali diluluhkan. "Aku tidak tahu dikirim oleh siapa! Aku hanya menerima perjodohan dan terjebak dengan pria arogan sepertimu! Aku juga tidak tahu apakah aku penjahat atau bukan!"
Dominic tidak menjawabnya. Sedangkan anggota keluarga lain tengah berbisik-bisik melihat interaksi Ruby dengan Dominic.
Angelic, si bungsu di keluarga Larsen, dia adiknya Dominic. Wanita itu tiba-tiba mendekati Ruby dan merangkul lengannya.
"Selamat datang, Kakak ipar," sapa Angelic dengan ramah, senyumnya begitu lebar hingga matanya menyipit. Namun, satu hal yang dapat Ruby tangkap dari Angelic, adik Dominic itu adalah orang yang berbahaya.
'Orang yang tersenyum seperti ini adalah orang yang licik. Aku harus hati-hati, apalagi Robin mengatakan bahwa semua orang yang ada di sekitar Dominic adalah penjahat bertopeng.' batin Ruby.
"Kakak ipar, kenapa kau diam saja? Padahal aku menyapamu." Angelic memanyunkan bibirnya.
"Maaf, aku terlalu banyak pikiran," jawab Ruby, dia lalu tersenyum kepada Angelic.
Angelic menghela nafasnya. "Apakah Kak Dominic jahat padamu? Kau terlihat sangat tertekan sekali."
Ruby menatap ke arah Dominic. Pria itu kini sudah berdiri jauh darinya, namun memandang dengan tatapan yang sangat tajam.
Ruby menelan ludah kasar melihat tatapan tajam dari Dominic. "Emm, tidak, Dominic sangat baik padaku."
Angelic tertawa. "Baguslah jika dia baik padamu. Sekarang ayo kita ke ruang makan, kita akan makan malam bersama. Kami mengundang kalian untuk makan malam bersama."
Ruby mengangguk, dia lalu mengikuti Angelic ke ruang makan. Namun, saat melewati Dominic, Ruby menghentikan langkahnya.
"Ayo," ajaknya dengan suara pelan.
Dominic menatap datar, namun pada akhirnya dia mengikuti Ruby ke ruang makan. Sepanjang jalan di koridor menuju ruang makan, Dominic terus memperhatikan punggung istrinya itu.
'Kita lihat saja apa yang akan semua penjahat ini lakukan padaku!' batin Dominic.
**
Tiba di ruang makan, suasana terasa semakin menegangkan. Ruby duduk berhadapan dengan Brian, sementara Dominic berada di sebelahnya dengan wajah tanpa ekspresi. Bahkan, Dominic tidak menyapa kedua orang tuanya.
Kalya, ibunya Dominic tersenyum kepada Ruby. "Selamat datang di keluarga Larsen, menantuku."
Ruby mengangguk dengan canggung. "Terima kasih," ucapnya pelan.
Kalya hanya membalas dengan senyuman tipis, lalu dia meminta pelayan di sebelahnya untuk menyiapkan semua hidangan makan malam yang masih ada di dapur.
Sepanjang acara makan malam, Ruby merasa gugup. Dia menghela nafas dengan pelan, tangannya terasa dingin dan gemetar saat memotong daging di piringnya. Namun, tanpa dia sadari, Bryan yang ada di hadapannya, sesekali mencuri pandang ke arahnya.
Dominic memperhatikan tangan Ruby yang gemetar, namun dia acuh saja. Dominic bahkan tak akan peduli jika Ruby gugup sampai pingsan saat ini juga.
'Kapan makan malam ini akan berakhir? Aku tidak sanggup berada di sini dalam waktu yang lama.' batin Ruby.
Ruby mencoba melirik ke Paul, ayah mertuanya yang bahkan tidak menatapnya sejak tadi, seolah bagi Paul keberadaan Ruby tidak ada di sana.
'Undangan makan malam apa ini? Mereka mengundang, lalu ketika kami berada di sini, mereka semua seolah menganggap kami tidak ada! Sungguh keluarga yang sangat sialan!' gerutu Ruby dalam hati.
*
Ketika makan malam berakhir, Ruby bernafas dengan lega. Dia segera meninggalkan ruang makan, setelah melihat satu-persatu anggota keluarga Larsen meninggalkan ruangan itu.
Namun, tiba-tiba Angelic memanggilnya. Ruby terpaksa mendekat dan menanyakan tujuan Angelic memanggilnya.
"Ruby, bawa ini kembali ke mansion Kak Dominic, berikan kepada salah satu pelayan yang ada di sana," bisik Angelic, sambil meletakkan satu botol kaca berukuran kecil yang berisi cairan berwarna hijau.
"Apa ini?" tanya Ruby.
"Kau tidak perlu tahu, cukup bawa pulang dan berikan kepada pelayan!" jawab Angelic dengan penuh penekanan.
Ruby terpaksa mengangguk. "Baiklah, aku akan membawanya pulang dan berikan kepada pelayan di mansion."
Angelic tersenyum. "Terima kasih, Kakak Ipar. Senang bertemu denganmu, sepertinya kita harus sering bertemu dan belanja bersama."
"Ya, semoga saja semua itu bisa terwujud," sahut Ruby.
Setelah tidak ada lagi perbincangan, Angelic mengatakan bahwa dia akan kembali ke kamarnya. Angelic meminta Ruby menunggu Dominic di ruang tamu, sebab saat ini Dominic sedang berada di ruang kerja ayahnya.
Ruby lalu duduk di sofa ruang tamu. Dia terus memperhatikan botol kaca yang diberikan oleh Angelic. "Apa isinya? Aku penasaran sekali."
Ruby tidak menemukan adanya segel pada penutup botol. Dia melirik ke sekelilingnya dan memastikan tidak ada yang melihatnya, lalu dia segera membuka penutup botol itu dan mengendus isinya.
"Ini seperti aroma racun? Tidak mungkin ini racun sungguhan bukan?"
...****************...