"Tlembuk" kisah tentang Lily, seorang perempuan muda yang bekerja di pasar malam Kedung Mulyo. Di tengah kesepian dan kesulitan hidup setelah kehilangan ayah dan merawat ibunya yang sakit, Lily menjalani hari-harinya dengan penuh harapan dan keputusasaan. Dalam pertemuannya dengan Rojali, seorang pelanggan setia, ia berbagi cerita tentang kehidupannya yang sulit, berjuang mencari cahaya di balik lorong gelap kehidupannya. Dengan latar belakang pasar malam yang ramai, "Tlembuk" mengeksplorasi tema perjuangan, harapan, dan pencarian jati diri di tengah tekanan hidup yang menghimpit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Ketegangan Baru
Setelah pertemuan seru di taman rekreasi, Raka meninggalkan lokasi dengan langkah cepat. Jantungnya berdegup kencang dan kepalanya dipenuhi pikiran tentang Tika.
"Gila, itu cewek seksi amat ya, matanya genit banget, aaahhh aku jadi gila nanti," Raka bergumam pada diri sendiri, merasakan gelombang semangat yang tak biasa. Senyuman Tika terbayang jelas di benaknya, dan ia tak bisa menahan rasa tertarik yang semakin menggebu.
Namun, satu hal yang belum ia sadari: Tika dan gerombolan sahabatnya itu adalah bagian dari komunitas “tlembuk” yang selama ini ia dengar dalam obrolan rekan-rekannya. Raka hanya berpikir bahwa mereka adalah sekumpulan gadis muda yang sedang bersenang-senang di taman.
“Gimana kalau mereka tahu aku kerja di sini? Apakah mereka akan menganggapku biasa saja?” Raka meragukan dirinya sendiri, membayangkan reaksi mereka jika mengetahui status pekerjaannya.
Di sisi lain, Tika dan teman-temannya juga pulang dengan perasaan berbunga-bunga. Tika merasa bersemangat dan berpikir tentang bagaimana ia bisa bertemu Raka lagi. “Eh, tadi Raka itu ganteng banget, ya!” Tika tidak bisa menahan diri untuk berbagi perasaan dengan Dinda dan Lily.
“Iya, dia baik banget! Kamu harus cari cara untuk bertemu dia lagi,” Dinda menyemangati Tika.
“Tapi, kita kan tidak bisa terlalu dekat sama dia. Dia kerja di taman, sedangkan kita... yah, kamu tahu lah,” Lily menambahkan dengan nada menggoda, merujuk pada identitas mereka sebagai tlembuk.
Tika menyadari hal itu. “Iya, sih. Tapi dia tidak tahu kalau kita itu tlembuk, kan?” Tika berusaha meyakinkan diri. “Mungkin kita bisa jadi teman biasa saja dulu.”
Lily dan Dinda saling bertukar pandang, saling mengenali keinginan Tika yang sebenarnya lebih dari sekadar pertemanan.
“Mungkin kita bisa bikin rencana untuk bertemu dia lagi. Kita bisa datang ke taman lagi besok!” Dinda mengusulkan, penuh semangat.
“Bagus juga! Kita bisa cari cara untuk menarik perhatian dia lagi,” Lily menyetujui rencana itu.
Raka, yang masih di perjalanan pulang, terus memikirkan Tika. Dia merasa ada sesuatu yang berbeda dengan gadis itu. “Dia terlihat ceria dan penuh percaya diri. Sepertinya dia tahu apa yang dia inginkan,” pikir Raka. “Tapi yang bikin aku penasaran, apa yang dia dan teman-temannya lakukan di taman? Kenapa mereka berkumpul di sana?”
Raka berusaha menepis rasa cemasnya. Dia merasa terpesona, tetapi sekaligus bingung. Dia ingin tahu lebih banyak tentang Tika dan temannya, tetapi dia juga merasa sedikit ragu.
Saat Raka sampai di rumah, dia langsung mengakses grup WhatsApp teman-temannya. “Guys, kalian tahu nggak ada event di taman hari ini? Banyak cewek-cewek cakep!” tulisnya di grup.
Teman-temannya langsung menjawab. “Event apa tuh? Kenapa baru sekarang bilang?” salah satu dari mereka menanggapi.
“Ya, aku baru tahu tadi. Cuma ngelihat sekelompok cewek yang asyik banget, terus ada satu yang bikin aku terpesona,” Raka membalas dengan semangat.
“Ceritain dong! Siapa namanya? Gimana bentuknya?” teman-temannya meminta tahu.
Raka mulai menceritakan tentang Tika, menggambarkan matanya yang genit dan senyumnya yang menggoda. Teman-temannya mendengarkan dengan penuh perhatian, bahkan beberapa dari mereka berencana untuk datang ke taman keesokan harinya juga.
Sementara itu, Tika dan teman-temannya bersiap-siap untuk pergi ke taman lagi keesokan harinya. Mereka merencanakan untuk terlihat menarik dan ceria agar bisa menarik perhatian Raka.
“Pokoknya, kita harus tampil maksimal ya!” Lily mengingatkan. “Siap-siap untuk bikin Raka jatuh hati!”
“Benar! Aku mau tunjukkan kalau kita bukan sembarang cewek!” Tika berkata penuh semangat.
Hari itu berjalan cepat. Setelah berencana dan mempersiapkan diri, mereka semua bergegas ke taman rekreasi. Tika merasakan getaran antisipasi di dalam dirinya. Dia berharap bisa melihat Raka lagi, dan mungkin, memulai sesuatu yang baru.
Sementara itu, Raka pun tidak sabar menunggu hari itu. Dia berharap untuk bertemu kembali dengan Tika dan mendalami siapa sebenarnya gadis yang telah mencuri perhatiannya. Dan dengan ketidaktahuan satu sama lain tentang identitas asli masing-masing, pertemuan ini menjadi semakin menarik.
Setelah mengucapkan selamat tinggal paDa Tika dan teman-temannya, Raka berjalan menjauh dari kerumunan dengan jantung berdegup kencang. “Gila, itu cewek seksi amat ya,” gumamnya sambil mengingat senyum manis Tika yang menghiasi wajahnya. “Matanya genit banget. Aaaahhh, aku jadi gila nanti!” Dia menggaruk-garuk kepalanya, bingung dengan perasaannya sendiri.
Raka adalah seorang petugas taman yang terbiasa dengan keramaian dan berbagai pengunjung, namun kali ini dia merasakan ketertarikan yang berbeda. Tika bukan hanya sekadar pengunjung biasa. Ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak bisa mengalihkan pandangannya dari gadis itu. Mungkin itu aura percaya dirinya atau senyumnya yang menawan, yang membuat Raka terpesona.
Namun, Raka belum menyadari bahwa Tika dan gerombolannya adalah bagian dari kelompok “tlembuk.” Kata itu mungkin terdengar asing baginya, namun bagi Tika dan teman-temannya, istilah itu adalah simbol kebebasan dan kehidupan yang mereka pilih. Mereka adalah cewek-cewek yang tidak takut mengekspresikan diri, meski dengan cara yang mungkin dianggap kontroversial oleh orang lain.
Meninggalkan taman, Raka merenungkan pengalamannya. Dia merasa seolah ada sesuatu yang menarik dirinya untuk mengenal Tika lebih dalam. “Aku harus mencari tahu lebih banyak tentang dia,” ucapnya sambil bertekad. “Tapi aku harus hati-hati. Nggak mau ketemu dengan masalah.”
Di sisi lain, Tika dan teman-temannya sedang berada dalam suasana ceria. Mereka bercanda dan tertawa, menceritakan kembali momen-momen lucu selama di taman. Tika merasa lega dan bahagia, terutama saat mengingat interaksinya dengan Raka. Namun, dia juga merasa sedikit cemas. “Bagaimana kalau dia tahu tentang kami?” pikirnya. “Apa dia akan tetap tertarik atau malah menjauh?”
Dinda, yang memperhatikan ekspresi Tika, tidak bisa menahan tawa. “Tika, kamu kelihatan kayak orang jatuh cinta! Kapan kita mau ngasih tau Raka siapa kita sebenarnya?”
“Ah, itu dia! Mungkin kita bisa pura-pura biasa dulu,” balas Tika, menyembunyikan perasaannya di balik senyum. “Kita tunggu waktu yang tepat.”
Lily, yang mendengarkan percakapan mereka, ikut mengangguk setuju. “Iya, kita harus hati-hati. Kita tahu apa yang kita jalani, tapi belum tentu orang lain bisa mengerti. Kita jangan langsung membuka identitas kita sebagai tlembuk.”
Mereka bertiga melanjutkan perbincangan sambil berjalan menuju tempat nongkrong favorit mereka. Meski Tika merasa senang bisa berinteraksi dengan Raka, dia juga tahu bahwa ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Terkadang, dunia yang mereka jalani penuh dengan penilaian dan ekspektasi dari orang lain.
“Eh, bagaimana kalau kita bikin rencana untuk ketemu Raka lagi?” saran Dinda dengan semangat. “Mungkin kita bisa mengajak dia hangout bareng kita. Biar dia tahu kita juga seru!”
“Bisa juga! Tapi kita harus pastikan dia nggak langsung tahu tentang kita,” jawab Tika. “Kita coba cari kesempatan.”
Setelah beberapa saat berkeliling dan berbincang, mereka akhirnya sampai di kafe kecil di dekat alun-alun. Suasana kafe itu santai, dengan banyak pengunjung yang sedang menikmati makanan dan minuman. Tika dan teman-temannya memilih meja di sudut yang lebih privat, jauh dari keramaian.
“Mau pesan apa?” tanya Lily, melihat menu di meja.
“Aku mau cappuccino,” jawab Dinda.
Tika tersenyum, merasakan kedekatan antara mereka semakin erat. “Aku juga. Ayo kita pesan dan ngobrol lebih seru.”
Sambil menunggu pesanan, mereka membahas berbagai hal—mulai dari pengalaman mereka di taman, sampai rencana masa depan. Namun, Tika tidak bisa menghilangkan pikiran tentang Raka. “Kalau Raka tahu tentang kita, bagaimana ya?” pikirnya.
“Eh, Tika, kita harus rencanakan meetup sama dia, biar dia bisa lebih kenal kita!” Dinda kembali mengusulkan. “Kita atur aja supaya ketemunya ramai-ramai. Mungkin kita bisa bikin acara di kafe ini.”
“Bisa juga! Tapi jangan sampai tercium baunya kalau kita adalah tlembuk,” Tika memperingatkan. “Kita harus tetap menjadi diri kita sendiri.”
Dengan semangat baru, mereka mulai merencanakan pertemuan berikutnya dengan Raka. Meski ada keraguan di hati Tika, dia tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk membuka lembaran baru dalam hidupnya—terutama jika itu melibatkan seseorang seperti Raka.
Sementara itu, Raka di rumah masih memikirkan Tika. Dia teringat akan senyum dan tawa gadis itu. “Kalau dia saja bisa jadi teman baik, kenapa tidak?” gumamnya. “Aku harus berusaha lebih untuk mengenalnya.”
Saat malam mulai tiba, Tika dan teman-temannya melanjutkan obrolan, tidak menyadari bahwa langkah mereka berikutnya bisa membawa perubahan besar dalam hidup mereka. Dan Raka, dengan penuh harapan dan semangat, siap untuk menjelajahi dunia yang baru, di mana Tika dan gerombolannya bisa menjadi bagian dari kehidupannya yang lebih berwarna.