Lilyana Belvania, gadis kecil berusia 7 tahun, memiliki persahabatan erat dengan Melisa, tetangganya. Sering bermain bersama di rumah Melisa, Lily diam-diam kagum pada Ezra, kakak Melisa yang lebih tua. Ketika keluarga Melisa pindah ke luar pulau, Lily sedih kehilangan sahabat dan Ezra. Bertahun-tahun kemudian, saat Lily pindah ke Jakarta untuk kuliah, ia bertemu kembali dengan Melisa di tempat yang tak terduga. Pertemuan ini membangkitkan kenangan lama apakah Lily juga akan dipertemukan kembali dengan Ezra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perpisahan
Suara tepuk tangan riuh memenuhi ruangan ketika kepala sekolah memanggil nama setiap siswa untuk menerima ijazah. Ketika nama Lily disebut, ia berdiri dengan bangga. Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju panggung, menerima sertifikat kelulusannya dari kepala sekolah sambil tersenyum lebar. Saat itu, ia merasa semua perjuangan dan usaha selama ini akhirnya terbayar.
Setelah semua nama dipanggil, acara kelulusan berlanjut dengan berbagai pidato dari guru dan perwakilan siswa. Namun, pikiran Lily terus melayang pada kenyataan bahwa ia akan meninggalkan banyak hal di sini—teman-teman, kenangan masa SMA, dan terutama kota ini yang selama bertahun-tahun menjadi bagian dari hidupnya. Meski ada semangat baru menyambut kehidupan di Jakarta, perasaan untuk berpisah dari Surabaya tetap membebani hatinya.
Setelah upacara selesai, Lily keluar dari aula bersama teman-temannya. Mereka tertawa, berfoto bersama, dan saling bercanda, seolah ingin mengabadikan setiap momen terakhir bersama. Salah satu teman terdekatnya, Alya, merangkul bahunya erat.
"Lily, aku masih nggak percaya kamu bakal pindah ke Jakarta," ucap Alya dengan nada sedikit sedih. "Kita udah bertahun-tahun bareng, dan sekarang kamu beneran pergi."
Lily tersenyum tipis, meski hatinya ikut berat. "Aku juga nggak percaya, Alya. Rasanya aneh banget harus ninggalin semua di sini. Tapi ini mimpi aku, dan aku harus kejar itu."
Alya mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. "Aku paham, Lil. Kamu pasti akan sukses di sana. Tapi kita semua bakal kangen banget sama kamu."
Lily memeluk Alya erat-erat, merasakan getaran emosi yang sama. "Aku juga akan kangen kalian semua. Tapi kita nggak benar-benar berpisah, kan? Sekarang ada internet, kita bisa video call kapan saja. Aku pasti sering cerita tentang kehidupan di Jakarta."
Setelah berpelukan dengan Alya, Lily menemui teman-teman lainnya. Satu per satu, ia berpamitan dengan senyum dan pelukan hangat. Meski mereka semua mencoba tertawa dan bersikap riang, ada rasa sedih yang tak bisa disembunyikan. Ini bukan hanya sekadar kelulusan dari sekolah, tetapi juga perpisahan dari sebuah kehidupan yang sudah sangat familiar.
Di sudut aula, Lily melihat Dita dan Siska, dua temannya yang selalu ada di sampingnya selama masa SMA. Mereka bertiga sering menghabiskan waktu bersama, belajar untuk ujian, atau sekadar nongkrong di kafe setelah pulang sekolah. Kini, saat-saat itu hanya akan menjadi kenangan.
"Lily," panggil Dita dengan suara pelan. "Kamu beneran pindah ya? Serius nih?"
Lily mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, Dit. Aku nggak nyangka bakal secepat ini, tapi keluarga aku udah siap untuk pindah. Jakarta, di sini aku datang!"
Siska, yang biasanya cerewet, hanya bisa tersenyum sambil menahan air mata. "Kita bakal kangen suara cempreng kamu tiap pagi di kelas."
Tawa Lily pecah mendengar komentar itu. Ia merangkul kedua temannya sekaligus. "Aku juga bakal kangen kalian. Tapi ini bukan akhir dari persahabatan kita, kan? Kita pasti akan ketemu lagi suatu hari nanti."
Sisa hari itu dihabiskan dengan banyak tawa, tangisan, dan foto-foto kenangan. Lily berusaha menyerap setiap momen, mengingatkan dirinya bahwa meski ia akan meninggalkan Surabaya, tempat ini akan selalu menjadi bagian dari siapa dirinya. Dalam hati, ia berjanji akan kembali suatu hari, meski untuk sementara waktu, hidupnya akan dimulai di tempat yang baru.
Setelah semua teman-temannya mulai pulang satu per satu, Lily duduk di bangku taman sekolah yang sepi. Ia menatap gedung sekolah yang sudah menjadi bagian dari hidupnya selama tiga tahun terakhir. Tempat ini menyimpan banyak kenangan—pelajaran yang ia pelajari, guru-guru yang selalu membimbingnya, dan tentu saja, teman-teman yang telah menjadi keluarganya.
Di sela-sela lamunannya, ponsel Lily bergetar. Ia meraih ponselnya dan melihat pesan dari ibunya.
"Lily, sudah selesai? Kami sudah di depan gerbang sekolah. Mau jemput kamu pulang."
Lily tersenyum membaca pesan itu. Orang tuanya selalu ada untuk mendukungnya, dan sekarang mereka bahkan rela pindah ke Jakarta demi memastikan dirinya bisa meraih mimpinya dengan tenang.
Dengan langkah perlahan, Lily berjalan menuju gerbang sekolah. Di sana, ia melihat mobil keluarga yang sudah menunggunya. Ibunya, Bu Santi, duduk di kursi depan, melambaikan tangan dengan senyum lembut. Ayahnya, Pak Andi, berada di kursi pengemudi, menatapnya dengan bangga.
Lily masuk ke dalam mobil dan menghela napas panjang. "Sudah selesai, Bu, Pak. Rasanya aneh, tapi juga lega."
Bu Santi menoleh ke arah anaknya dengan senyum hangat. "Semua akan baik-baik saja, Nak. Ini hanya awal dari perjalanan barumu."
Pak Andi menepuk bahu Lily dari kursi depannya. "Ayah bangga padamu. Kamu sudah menyelesaikan sekolah dengan baik, dan sekarang kita akan memulai hidup baru di Jakarta."
Lily tersenyum dan mengangguk. "Iya, Pak. Aku juga nggak sabar untuk memulai semuanya di sana."
Mobil pun melaju perlahan meninggalkan gerbang sekolah, meninggalkan tempat yang penuh kenangan di belakang. Tapi bagi Lily, ini bukan perpisahan, melainkan awal dari babak baru yang penuh dengan tantangan dan kesempatan. Di dalam hatinya, meski perpisahan dengan teman-temannya terasa berat, ia tahu bahwa mereka akan selalu menjadi bagian dari hidupnya, dan mungkin suatu hari nanti, jalan mereka akan bersilangan kembali.
Dalam perjalanan menuju rumah, Lily tak bisa berhenti memikirkan masa depan yang menunggunya di Jakarta. Kota besar itu penuh dengan kemungkinan yang tak terduga, dan ia siap untuk menghadapi semuanya. Namun, ada satu hal yang ia tidak duga di kota itu, ia akan kembali dipertemukan dengan bagian dari masa lalunya yang selama ini hanya menjadi kenangan.
***
Hari kepindahan pun tiba. Sejak pagi, rumah Lily terasa lebih sepi dan sunyi dari biasanya. Hanya ada koper-koper yang tersusun rapi di depan pintu, menunggu untuk dibawa ke bandara. Barang-barang lain yang lebih besar—furnitur, peralatan rumah tangga, dan berbagai benda kenangan—akan dikirim menyusul dengan truk pengiriman yang akan tiba beberapa hari setelah mereka sampai di Jakarta.
Lily berdiri di depan pintu rumahnya di Surabaya, menatap setiap sudut yang pernah menjadi bagian dari kehidupannya. Ia menarik napas panjang, menyadari bahwa ini mungkin terakhir kalinya ia melihat tempat ini sebelum pindah ke kota yang sama sekali berbeda. Rumah yang penuh dengan kenangan masa kecilnya, di mana tawa, tangis, dan kebahagiaan pernah tercipta, kini akan ditinggalkan.
"Sudah siap, Lil?" tanya Pak Andi, ayahnya, yang sudah menunggu di dekat mobil.
Lily mengangguk pelan, lalu menghela napas. "Iya, Pak. Hanya merasa sedikit aneh. Rasanya masih belum siap ninggalin semua ini."
Bu Santi, yang juga sudah bersiap dengan tas jinjing di tangannya, tersenyum lembut. "Aku tahu perasaanmu, Nak. Tapi ini bukan perpisahan yang menyedihkan. Ini adalah langkah awal menuju masa depan yang baru, tempat di mana kamu akan mengejar mimpi-mimpimu."
Mendengar kata-kata ibunya, Lily merasa sedikit lebih tenang. Ia tersenyum tipis lalu melangkah ke mobil keluarga yang akan membawa mereka ke bandara.
Lily cpt move on syg, jgn brlarut larut dlm kesdihan bgkitlh fokus dgn kuliamu. aku do'akn smoga secepatnya tuhan mngirim laki" yg mncintai kmu dgn tulus. up lgi thor byk" 😍💪