Please, Zielle. Jangan kepikiran itu sekarang!
Gue pura-pura cek keadaan Asta, merapikan selimutnya biar kelihatan sibuk. Tiba-tiba, Anan muncul dari sisi lain kasur. Gue lihat dia sambil mengeluarkan sepatu.
"Lo lagi ngapain, sih?" tanya gue, tapi dia diam saja, malah lanjut melepas sepatu terus mulai buka kancing kemejanya. "Anan!"
"Lo kira gue bakal pulang dalam keadaan kayak begini?" Dia pasang muka memelas, bikin napas gue hampir berhenti. "Lagian, enggak baik buat lo tidur sendirian sama cowok."
"Oh, jadi baiknya gue tidur sama dua cowok sekaligus, gitu?"
Anan mengabaikan omongan gue dan melepas kemejanya.
Ya ampun, Pangeran, tolonglah!
Pipi gue langsung panas, merah kayak tomat. Ternyata dia punya tato lain di bagian bawah perut dan di sisi kiri dadanya. Tangan dia mulai ke arah kancing celananya.
"Stop! Jangan! Kalau lo lepas celana, lo tidur di lantai!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Susah Ditebak
...Anan Batari...
...✦•┈๑⋅⋯ ⋯⋅๑┈•✦...
Perjalanan di mobil ini ternyata lebih menyebalkan dari yang gue kira, dan gue benar-benar enggak siap.
Gue berdehem sebelum ngomong, "Lo mau gue anterin ke rumah lo atau rumah teman lo?" sambil menggenggam kuat setir mobil pas belok di tikungan.
Zielle duduk di kursi depan, tangannya mendekam di pangkuan.
Dia lagi gugup apa bagaimana, sih?
"Ke rumah teman gue," jawabnya, terus dia kasih alamat. Habis itu, hening. Sudah kayak enggak ada yang mau ngomong.
Gue merasa enggak nyaman sama keheningan ini, jadi gue putar radio. Lagu bahasa Inggris mulai kedengaran, dan liriknya bikin Zielle senyum tipis.
... 🎶 🎵 🎶 🎵...
...I know how to love......
...Why can't that be enough?...
Gue mulai nyanyi, ya iseng-iseng saja, biar suasana enggak canggung. Lagi pula, gue mulai nge-fans sama lagu-lagunya Mckenna Grace. Salah satunya, lagu ini.
..."In the back of my mind,...
...it's still November And I can see us there together in the blue light......
...Whispering the sweet lies......
...Now I'm here, is the salt in my wounds...
...Just the salt from my tears...
...I let you see me cry..."...
“Gila, Anan Batari ternyata bisa nyanyi,” goda dia sambil dengarkan lagunya. “Harusnya gue rekam terus gue upload, pasti rame yang nge-like.”
Gue senyum lebar. “Lo cuma bakal bikin gue makin terkenal di kalangan cewek-cewek. Lo mau gitu?”
“Terkenal di kalangan cewek-cewek? Pfft, please, deh, lo juga enggak seganteng itu kali.”
“Hah, enggak seganteng itu? Itu bukan kata-kata yang lo ucapin pagi tadi.” Gue menyengir sambil melirik dia. “Perlu gue ulang apa aja yang lo ucapin ke gue sambil mendesah?”
Gue lihat dia langsung merah, tapi dia malah senyum.
Nah, ini baru enak, dia kelihatan lebih santai sekarang.
“Gak perlu.”
Gue ulur tangan, terus gue taruh di paha dia. “Tadi pagi, itu cara yang indah buat mengawali hari.”
“Mesum!!”
Gue pencet pelan pahanya, iseng. “Tapi lo suka, kan?”
“Karena... ya, gue gak kuat sama ego lo,” jawabnya sambil pura-pura jutek. “Kegedean banget punya lo, sumpah.”
“Kayaknya itu juga yang lo bilang pagi tadi.”
Dia langsung mencolek bahu gue dengan kencang. “Woy! Berhenti mikir yang jorok-jorok!”
Gue ketawa. Suasana jadi lebih cair sekarang, tapi tiba-tiba saja momen itu terputus gara-gara nada dering di HP gue.
Gue lihat layar, nama Anggi nongol di situ. Gue pencet tombol 'angkat' karena HP gue sudah sinkron sama sistem audio mobil. Suara Anggi langsung kedengaran jelas di kabin. Gue, sih santai saja, karena enggak ada apa pun yang gue sembunyikan.
...☎️...
^^^“Halo?”^^^
“Eh, lagi ngapain, bro?”
Anggi tanya sambil kayak lagi mengunyah sesuatu.
^^^“Lagi otw rumah. Emang kenapa?”^^^
“Gue kira lo masih di tempat Tom. Barang gue ketinggalan di sana kemarin. Mau minta tolong bawain sekalian.”
^^^“Udah cabut gue.”^^^
Anggi mengeluh pelan di seberang telepon.
“Ya udah, deh. Eh, jadi nonton bioskop gak nanti?”
Gue merasa kalau Zielle jadi tegang di sebelah, tapi gue pikir lagi mungkin ini cuma perasaan gue saja.
^^^“Jadi... gue jemput lo jam tujuh.”^^^
“Oke, sampai nanti, ganteng.”
Anggi memang dari dulu suka panggil gue begitu, sudah biasa.
Keheningan balik lagi setelah telepon itu, dan gue cuma bisa ngedumel dalam hati. Telepon itu benar-benar merusak vibe asyik yang tadi sempat kita bangun.
“Siapa tadi?” Nada Zielle berubah jadi serius.
“Anggi.”
“Hmmm, ya,” katanya jutek dan tangannya enggak bisa diam di pangkuannya. “Lo bakal keluar bareng dia hari ini?”
Gue mengangguk sambil berhenti di lampu merah. “Iya, mau nonton sama anak-anak.”
Gue manfaatkan momen lampu merah buat menatap dia, tapi dia enggak balik lihat gue. Pandangannya ada di jendela samping, dan bibirnya rapat, sedikit maju menyalip ujung hidungnya.
Apa yang harus gue lakukan?
Apa yang harus gue bilang biar dia balik nyaman sama gue dan enggak kayak begini?
Apa dia enggak suka gue angkat telepon?
Jari-jari gue mengetuk setir, pelan sambil tunggu lampu hijau. Begitu hijau, gue sempat melihat dia lagi.
Lihat gue, Zielle!
Kasih senyuman itu ke gue, kasih tahu gue kalau semuanya baik-baik saja.
Tapi dia enggak melakukan itu, dan bikin gue makin stres. Gue enggak mau bikin kacau lagi, enggak mau merusak apa yang sudah gue bangun dengan susah payah, tapi sepertinya “mengacau” itu jadi keahlian gue belakangan ini.
“Gue juga ada janji, entar.” Dia tiba-tiba ngomong dengan nada yang aneh.
Apa dia kesal gue janjian sama teman-teman gue?
Tapi, dia juga ada janji.
Jangan-jangan sama si kaca-mata itu?
Zielle menatap gue sekilas, dan gue baru sadar kalau gue sudah diam saja selama beberapa detik. Kayaknya dia menunggu gue buat ngomong sesuatu.
Tapi, kalau gue tanya dia janjian sama siapa, kayaknya itu malah bikin makin kacau. Dan bilang gue percaya sama dia juga bisa jadi salah langkah.
Begitu gue parkir di depan rumahnya, dia cuma lihat gue sekilas sambil kasih senyum tipis, terus langsung turun dari mobil.
Enggak, ini enggak benar.
Gue panik, ikut turun, dan kejar dia. “Zielle.” Dia enggak menoleh. “Zielle!” Gue melangkah ke depannya biar bisa menghalangi jalannya. “Hei, ada apa, sih?”
“Enggak ada.” Tapi matanya melirik ke tempat lain, dia bohong.
“Gue enggak ngerti. Apa lagi yang gue lakuin?”
“Lupain aja, Anan.” Nada suaranya sekarang dingin banget, dan itu bikin gue takut.
Gue enggak paham, dan itu bikin gue bingung, gelisah, takut, karena gue pikir semuanya baik-baik saja. Gue kira tadi malam gue sudah menunjukkan betapa pentingnya dia buat gue.
“Zielle, lihat gue.” Akhirnya dia melihat, tapi sambil menyilangkan tangan di dadanya, dia jelas lagi marah dan gue benar-benar enggak mengerti kenapa.
Dia cemburu sama Anggi?
“Gue lagi berusaha, oke?” Gue luapkan semuanya dengan jujur. “Gue emang berantakan, tapi gue lagi coba buat perbaiki ini."
“Berusaha apaan, sih? Lo anter gue pulang terus janjian sama mantan lo?”
Gue buka mulut mau balas, tapi dia langsung potong. “Sama temen-temen lo, oke, fine, tapi lo enggak pernah ajak gue ke mana-mana, kan? Gue ini penting buat lo apa enggak? Gue enggak mau ngerti apa-apa. Gue cuma enggak mau lo nyakitin gue lagi.”
“Dan gue enggak mau nyakitin lo!” protes gue, tapi suara gue lemah banget.
Jelas gue enggak berhasil.
“Kalau gitu jawab gue sekarang, Anan. Apa yang lo rasain ke gue?”
Pertanyaannya bikin gue kaget. Mulut gue menganga, mau ngomong sesuatu, tapi enggak ada satu kata pun yang keluar, dan akhirnya gue tutup lagi.
Senyum sedih muncul di wajahnya. “Kalau lo udah bisa jawab pertanyaan itu, cari gue!” Nadanya tegas banget.
Setelah berkata begitu, dia lewat di samping gue. Meninggalkan gue di situ sendiri, berdiri kayak orang bego.
Dan...
Walaupun gue tahu jawabannya, gue tetap enggak bisa mengucapkan itu.