Terdengar Musik yang terus di putar dengan kencang di sebuah bar hotel, disertai dengan banyaknya wanita cantik yang menikmati serta berjoget dengan riang. Malam yang penuh dengan kegembiraan, yang tak lain adalah sebuah pesta bujang seorang gadis yang akan segera menikah dengan pujaan hatinya. Ia bernama Dara Adrianna Fauza, gadis cantik dan manis, anak sulung seorang pengusaha sukses.
"Dar, gue ngak nyangka banget Lo bakalan nikah. Selamat ya bestie?" Ucap salah seorang gadis yang merupakan teman SMA dara.
"Iya. Makasih yah bestie. Gue doain semoga Lo cepet nyusul yah? Biar gantian, gue yang di undang." Ucap Dara sambil tersenyum.
Dara yang merasa haus pun segera mengambil sebuah jus untuk di minum, ia pun meminumnya.
Pesta terus berjalan dengan lancar, semua teman dara menikmati pesta dengan bahagia. Seketika dara yang sedang bersama dengan teman-temannya pun menjadi pusing. Mata menjadi sangat berat, pandangannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab
"Tidak. Itu kalung yang indah" ucap Dara.
Dara lega setelah Brama mengalihkan membicarakan aturan perusahaan dan pekerjaan yang akan Dara lakukan. Dara hanya mengangguk-angguk dengan pikiran kosong. Hingga dirinya tersentak tatkala Brama menyodorkan kontrak kerja padanya.
"Ingat baik-baik, jika kamu keluar sebelum waktunya, kamu harus membayar denda. Baca dan pahami sebelum menandatangani" ucap Brama menjelaskan.
Dara menelan ludah dengan susah payah. Dia tak pernah mengira jika calon atasannya adalah pria yang telah menghancurkan masa depannya. Akan tetapi, Dara juga tak bisa menyerah sekarang. Aleta sudah susah payah mencarikan Dara pekerjaan. Selain itu, Aleta juga membantu untuk mengubah nama belakang pada semua dokumen milik Dara dengan nama keluarga ibunya. Dara tak mau mengecewakan orang-orang yang banyak menolongnya.
Lagi pula, mencari pekerjaan juga tidaklah mudah. Dara tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan padanya hanya karena pria dihadapannya. Yang paling penting, Dara perlu mengambil kalungnya kembali. Dara tak rela jika kalung peninggalan ibunya jatuh di tangan pria itu. Dengan coretan mantap, Dara membubuhkan tanda tangan dikertas kontak kerja itu.
"Terima kasih karena sudah menerima saya bekerja di perusahaan ini, Tuan Brama Pranaja." Ucap Dara sambil menunduk untuk menghindari menatap mata Brama.
"Kamu bisa mulai kerja sekarang" ucap Brama.
"Gilang, tunjukkan meja kerjanya" ucap Brama memerintah Gilang.
Dara terus mengamati kalungnya sekali lagi sebelum keluar dari ruangan itu membuat Brama curiga. Kalung tersebut memang indah, wanita mana pun pasti ingin memilikinya. Akan tetapi, reaksi Dara terlalu berlebihan untuk wanita yang hanya ingin memiliki perhiasan yang hanya ada dua di negaranya. Dan mata itu, Brama seperti pernah melihatnya. Rasanya begitu familiar dan menghangatkan dada tatkala menatap mata indah itu. Tapi dimana dia melihatnya?
***
Satu hari berlalu tanpa kendala. Brama tak meninggalkan ruangan kerjanya barang sekali. Bahkan makan siang pun diantar oleh Gilang ke dalam ruangannya. Dara menjadi semakin gelisah karena sejak tadi dia menunggu Brama pergi walau sebentar saja. Tentunya, Dara ingin sekali mengambil benda berharga miliknya kembali.
Setelah melihat kalung itu, pikiran Dara menjadi semakin gelisah. Dara sampai mengerjakan tugasnya dengan lambat karena sering melamun dan memikirkan kalung yang di pegang oleh Brama adalah miliknya atau bukan. Dara ingin memastikannya lagi, bahwa benda yang selama ini dia cari-cari ada di depan mata, tetapi Dara tak dapat walau hanya memegangnya saja.
Kesempatan yang di nantikan Dara pun akhirnya tiba. Pintu ruangan Brama terbuka, pria itu melangkah keluar meninggalkan ruangannya, melewati meja kerja Dara tanpa melihat kearahnya. Setelah memastikan Brama masuk ke dalam elevator, juga tak ada orang lain di sana, Dara bergegas masuk ke dalam ruang kerja Brama. Jantungnya berdetak sangat kencang tatkala kedua tangannya mulai membuka laci untuk mencari kalungnya. Telapak tangan Dara sangat gemetaran dan berkeringat karena mengobrak-abrik satu persatu laci meja kerja Brama. Hingga akhirnya, matanya menemukan benda mengkilat itu di laci bawah. Dara menutup mulut dengan telapak tangan dan hampir menangis haru kala melihat kalung tersebut. Ternyata benar kalung itu miliknya, mata kalung yang berbentuk bulan sabit.
"Ini kalung aku!"ucap Dara merasa senang.
Namun, Dara segera sadar jika dirinya harus keluar dari sana secepatnya. Saat Dara hendak berdiri untuk keluar, kepalanya tiba-tiba terasa pusing. Ketika Dara hendak melangkah, Brama telah berdiri dihadapannya dengan kedua tangan bersarang di sakit celana.
"Apa yang kamu lakukan?" Tanya Brama dengan nada dingin.
Dara bergegas menyembunyikan kalung yang ia pegang, wajahnya memucat dan keringat bercucuran akibat ketakutan yang begitu hebat.
"S-saya ...." Suara Dara tersekat dalam tenggorokan dan tak mampu melanjutkan ucapan.
Brama mengayunkan langkah lebar mendekati Dara. Tangannya menarik tangan kanan Dara yang memegangi kalung itu dengan kasar. Dara meringis kesakitan merasakan cengkraman Brama yang begitu kuat dipergelangan tangannya.
"Apa ini?" Tanya Brama sambil menatap lurus pada Dara.
Dara menggeleng-geleng cepat dan tak mampu menjawab. Jika Dara mengatakan bahwa dirinya pemilik kalung itu, apakah yang akan Brama lakukan padanya? Dara tak ingin Brama melecehkan dirinya seperti malam itu. Namun, jika Dara tak mengatakannya, dia takut akan kehilangan pekerjaan yang baru saja didapatkannya.
"Apa yang harus aku lakukan? Aku ngak mungkin kehilangan kalung ini lagi" batin Dara.
"Kamu mau mencuri kalung ini?" Bentak Brama.
Dara tersentak dan sontak meneteskan air mata. Bukan hanya karena rasa sakit di pergelangan tangannya, tetapi kata-kata Brama sangat menyakitkan hati. Mencuri? Bagaimana mungkin Dara mencuri benda miliknya sendiri?
"Apa kamu bekerja disini hanya untuk mencuri?" Tanya Brama dengan tatapan kesal.
"Nona Dara, saya akan melaporkan kamu ke polisi" tegas Brama seraya menarik Dara menuju pintu.
Dara hanya bisa menggeleng sambil menangis terisak.
"Tidak! Lepaskan saya" teriak Dara.
"Saya sama sekali ngak mencuri " ucap Dara lagi
Ucapan Dara membuat Brama menghentikan langkahnya.
"Ngak mencuri? Kalau ngak mencuri, apa kalung ini milik kamu?" Tanya Brama.
Pertanyaan Brama membuat Dara terdiam. Haruskah Dara mengatakan kebenarannya?
"Saya...!" Baru saja Dara ingin mengatakan sesuatu, pening yang sangat mendadak menyerang kepalanya.
"Ugh..." Dara pun terjatuh.
"Nona Dara!" Ucap Brama tampak kaget.
Namun, Dara tak mampu untuk bahkan membalas ucapan Brama. Pandangannya yang buram oleh air mata semakin menggelap. Kepalanya seperti tertusuk ribuan jarum. Hingga akhirnya kegelapan menyelimuti kesadarannya, bersamaan dengan tubuhnya yang lunglai.
"Nona Dara!" Ucap Brama terus membangunkan Dara.
Brama langsung menggendong Dara dan membaringkannya diatas sofa. Dia segera mengeluarkan ponsel dan menelpon seseorang.
"Panggil dokter ke ruangan saya sekarang!" Ucap Brama di telepon.
Setelah mematikan panggilan, Dara melirik kalung di tangan Dara dan berusaha mengambilnya kembali. Namun, kepalan tangan Dara masih menegang, seakan-akan tak Sudi melepaskan kalung itu.
"Kenapa dia sangat menginginkan kalung ini? Apa kalung ini punya dia?" Batin Brama yang kebingungan.
Beberapa saat kemudian, dokter perusahaan datang bersama Gilang. Dokter itu segera melakukan pemeriksaan lengkap terhadap Dara.
"Bagaiman dokter?" Tanya Brama saat melihat sang dokter merapikan peralatannya.
"Nona ini, sedang hamil, tuan" ucap sang dokter.
"Apa? Hamil?" Ucap Brama kaget.
Dua jam kemudian, Dara pun sadar.
"Gimana? Udah sadar?" Tanya Brama dengan nada dingin.
Pertanyaan itu membuat Dara tersentak dan langsung menoleh ke kanan, pada sosok Brama Brama yang terduduk di sofa selagi menatapnya tajam.
"Apa yang terjadi?"batin Dara dengan bingung seraya mencoba mengingat semuanya.
Dara ingat setelah dirinya mengantar Brama dan Gilang pergi, dia masuk ke ruangan pria itu. Kemudian, Dara pun lanjut mengambil kalungnya dari laci.
"Kalungnya?" Batin Dara dan langsung menunduk, menyadari kalung miliknya tidak lagi di tangannya.
"Mencari ini?" Tanya Brama.
Pertanyaan itu membuat Dara mengangkat pandangan ke arah Brama. Pria itu tengah menunjukkan kalung peninggalan ibu Dara di tangannya.
"Berapa banyak uang yang kamu inginkan sehingga kamu nekat mencuri kalung ini dari saya?"tanya Brama dengan pandangan dingin.
"Saya ngak mencuri " ucap Dara tegas.
Balasan Dara membuat Dara menaikkan alis kanannya.
"Ngak mencuri? Lalu, apa kalung ini punya kamu?" Tanya Brama.
Pertanyaan itu membuat Dara mengerutkan kening. Haruskah dia mengaku?
"Tidak"ucap Dara.
"Mirip. Itu hanya mirip dengan kalung saya yang hilang. Sebenarnya saya berniat mengembalikannya tadi sebelum tuan datang" ucap Dara.
"Ternyata kamu bukan hanya pencuri, tapi juga penipu ulung" ucap Brama.
Hinaan Brama membuat ekspresi Dara berubah keru.
"Apa?" Ucap Dara.
"Lupakan soal kalung. Tapi dalam biodata kamu, tertulis jika kamu belum berkeluarga. Kenapa kamu berbohong?"tanya Brama dengan mata memicing dan aura yang berubah dingin. Tuduhan Brama membuat Dara menatapnya kosong.
"Berkeluarga? Apa maksud tuan?" Tanya Dara.
Wajah kosong Dara membuat Brama kehilangan kesabaran, mengira gadis itu berpura-pura.
"Berhenti kamu berpura-pura. Untuk apa kamu menyembunyikan kenyataan kalau kamu sudah menikah?" Ucap Brama kesal.
"Apa? Menikah? Saya belum menikah" ucap Dara dengan lantang.
Brama menyodorkan sebuah surat ke hadapan Dara.
"Lalu apa ini? Dokter mengatakan jika kamu positif hamil dan kamu bilang kamu belum menikah. Apa kamu hamil begitu saja? Tiba-tiba ada bayi di dalam perut kamu?" Ucap Brama semakin marah.
"Apa? Ini ngak mungkin" ucap Dara seraya berdiri tak terima karena dituduh seperti itu. Keterkejutan Dara membuat Brama mendengus.
"Jadi kamu ngak tau kalau kamu hamil? Atau berpura-pura ngak tau agar tidak disalahkan karena telah memanipulasi data pribadi kamu?" Cibir Brama.
Pelipis Dara kembali berdenyut hebat. Dia merasa sangat pusing.
"Jadi aku bener-bener hamil? Di perut aku ada anak pria ini?" Batin Dara seraya menatap tajam ke arah Brama.
Selagi Dara masih terkejut dengan kenyataan baru yang dia dapatkan, Brama sedang menerka-nerka kebenaran dari pernyataan Dara. Di satu sisi, Brama tak dapat menemukan kebohongan dari gelagat Dara. Namun disisi lain, Brama juga teringat perbuatan Dara yang diam-diam hampir mencuri kalungnya.
"Gadis ini benar-benar masalah " batin Brama.
"Keluar! Saya tidak ingin memiliki karyawan yang mengancam reputasi dan perusahaan saya" ucap Brama tegas.
Wajah Dara memucat mendengar ucapan pria itu. Dia tak bisa kehilangan pekerjaannya. Bukan hanya karena tidak yakin bisa mendapatkan pekerjaan lain, tapi Dara khawatir Aleta dan Rani akan kecewa padanya jika dirinya dipecat setelah bekerja hanya beberapa hari. Selain itu, Dara menundukkan pandangan pada perutnya yang masih rata. Kalau dirinya tidak ada pekerjaan, bagaimana dengan bayi ini?
Melihat Dara diam saja di tempat, Brama mengernyitkan dahi.
"Apa kamu tidak mendengar ucapan saya? Apa kamu!" Ucap Brama terhenti karena di potong Dara.
"Tuan, saya mohon, tolong jangan pecat saya. Saya tidak pernah berniat untuk membohongi anda, tuan. Saya bahkan tidak tau jika saya sedang hamil"ucap Dara dengan berlinang air mata sambil memohon kepada Brama.
"Tidak tahu?apa maksud gadis ini tidak tahu?"batin Brama.
Dara mengepalkan tangannya, kepalanya tertunduk sembari memohon sambil berpikir keras. Apa dia harus mengaku kepada Brama tentang bayi yang ada di dalam kandungannya adalah anak Brama? Akan tetapi ia takut, bagaimana kalau pria itu memang sering melakukannya dengan banyak wanita dan Dara hanya salah satu diantara mereka? Apakah Brama akan peduli padanya? Atau jangan-jangan, pria itu malah akan meminta Dara menggugurkan kandungannya? Tapi, bayi itu tidak bersalah!
Dengan semua ketakutan dan pikiran buruknya, Dara pun hanya bisa berkata.
"S-saya! Diperkosa, tuan" ucap Dara.
Hening. Tidak ada yang bersuara. Dara mengangkat pandangan, lalu melihat wajah Brama tampak kebingungan.
"Diperkosa?"ujar Brama.
Dara tidak berbohong, dirinya memang tidak berdaya di kala Brama merudapaksa dirinya. Hanya saja, pria itu tak mengenalinya atau bahkan tidak peduli. Dengan air mata yang mengalir turun menuruni wajahnya, Dara pun mulai bercerita.
"Ya, saya di perkosa dan itulah yang membuat saya diusir oleh keluarga saya. Saya kini tinggal di kediaman teman saya, tapi tidak bisa untuk waktu yang lama. Itulah alasan saya berusaha mencuri kalung itu untuk mendapatkan uang agar bisa bertahan hidup" ucap Dara.