Pernikahan yang sudah didepan mata harus batal sepihak karena calon suaminya ternyata sudah menghamili wanita lain, yang merupakan adiknya sendiri, Fauzana harus hidup dalam kesedihan setelah pengkhianatan Erik.
Berharap dukungan keluarga, Fauzana seolah tidak dipedulikan, semua hanya memperdulikan adiknya yang sudah merusak pesta pernikahannya, Apakah yang akan Fauzana lakukan setelah kejadian ini?
Akankah dia bisa kuat menerima takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Enam
Ana akhirnya memutuskan pulang kampung. Bersyukur juga dia bisa menenangkan Chelsea. Bocah itu tak merengek lagi minta ikut karena dijanjikan akan bertemu lagi besok dan seterusnya setelah pulang sekolah.
Rakha memberikan cuti seminggu. Kebetulan Ana memang telah satu tahun bekerja di perusahaannya.
Ana termenung dalam bus yang membawanya pulang. Satu tahun sudah dia meninggalkan kampung halamannya. Hari raya saja dia tak pulang.
Ketika hampir sampai di kampung, gadis itu menarik napas dalam untuk menenangkan gejolak dalam dadanya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dia gugup, walau telah satu tahun berlalu luka itu belum sembuh dengan sempurna.
Ana memang memberikan nomornya pada salah satu tetangga. Tujuannya memang untuk bertanya tentang ayah. Walau sebesar apa pun kecewanya pada sang ayah, tapi tak bisa menutupi rasa cintanya.
Sampai di terminal, Ana langsung menuju rumah dengan menggunakan ojek. Dia hanya membawa tas kecil dengan beberapa helai pakaian. Ana berencana tak akan lama di kampung.
Saat sampai di depan rumah, kembali dia menarik napas berat. Ana berjalan menuju pintu. Rumah terlihat sangat sunyi.
Ana mengetuk pintu rumah dengan perlahan, terdengar suara sahutan seorang pria. Dia hafal betul jika itu suara Erik.
"Siapa ...," ucap Erik. Saat dia membuka pintu, tampak pria itu sangat terkejut melihat siapa yang datang. Ana berusaha tersenyum. Erik tampak terdiam melihat perubahan penampilan Ana saat ini yang jauh berubah.
"Selamat Sore, Mas. Aku datang untuk menanyakan di mana ayah di rawat?" tanya Ana dengan suara pelan.
Tetangga yang menghubungi Ana tak mengatakan di rumah sakit mana ayahnya di rawat, karena dia hanya tahu ayah Ana sempat pingsan dan dengar dari Ayu kalau ayahnya kritis.
"Ana, apa kabarmu?" Bukannya menjawab pertanyaan Ana, Erik justru balik bertanya.
"Seperti yang kamu lihat, aku sehat dan baik-baik saja. Apakah aku boleh tau dimana ayah di rawat?" Ana kembali bertanya.
"Masuklah, Ana. Ini'kan rumahmu. Kita bicara di dalam rumah saja," ujar Erik.
Belum sempat Ana menjawab terdengar suara Ayu dari dalam rumah.
"Siapa yang datang, Mas?" tanya Ayu.
Ana melihat Ayu yang muncul dari dapur dengan menggendong bayi. Dadanya terasa sesak mengingat jika mantan kekasihnya itu telah berhubungan badan dengan adik tirinya sebelum mereka menikah. Sejauh itu hubungan keduanya dan dia yang bodoh tak mengetahui.
Ketika Ayu sampai di ambang pintu, dia berdiri di samping suaminya. Menatap Ana tanpa kedip. Sorot matanya tak bersahabat.
"Kenapa kau datang lagi?" tanya Ayu dengan ketus.
"Aku datang hanya untuk melihat ayah. Di mana ayah di rawat?" Kembali Ana bertanya.
"Kalau mau melihat ayah, kenapa harus datang ke rumah ini. Bisa langsung ke rumah sakit. Bilang saja kau ingin bertemu Erik. Apa masih ada cintamu untuk suamiku?" tanya Ayu dengan suara ketus.
Ana tersenyum mendengar ucapan adik tirinya itu. Bisa-bisanya dia berkata begitu. Sejak mengetahui pengkhianat mereka rasa cintanya telah hilang.
"Ayu, jangan takut. Sedikit pun tak ada rasaku untuk suamimu lagi. Aku tak tau di mana ayah di rawat. Makanya aku datang untuk bertanya. Katakan saja di mana ayah di rawat, Aku akan segera pergi," jawab Ana.
Ayu tertawa sumbang mendengar ucapan dari kakaknya. Sepertinya tak percaya dengan perkataannya.
"Jangan bohong, aku melihat masih ada cinta di mata kamu untuk suamiku," ucap Ayu.
"Ayu, sudahlah. Ana datang baik-baik. Kenapa kau ajak bertengkar. Bukannya di persilakan masuk, malah diajak berantem," ucap Erik.
Ana tampak tak terima mendengar ucapan suaminya yang membela kakaknya itu. Suaranya langsung meninggi.
"Aku tau kau masih mencintainya. Tapi kau harus ingat aku ini istrimu dan dia hanya masa lalu mu. Ada anakmu dari rahimku. Kanapa masih saja membela dia seolah dia wanita paling baik dan suci. Apa aku salah jika cemburu dengan wanita yang diakui suamiku jika masih mencintainya!" seru Ayu dengan lantang. Membuat anak dalam gendongannya menangis.
Ayu lalu memberikan anaknya pada Erik. Padahal bocah itu sedang menangis, bukannya di diamkan dan di bujuk. Ana melihatnya jadi kasihan. Apa lagi tubuh bayi itu sangat kurus dan wajahnya pucat. Ingin rasanya meraih dan menggendongnya tapi takut nanti Ayu makin salah paham.
"Mas, katakan saja di mana ayahku di rawat?" tanya Ana. Tak ingin lama-lama di sini.
Erik lalu menyebutkan rumah sakit dan ruang tempat ayahnya di rawat. Ana langsung berjalan menuju jalan raya untuk mencari ojek. Pria itu hanya bisa menatap kepergian wanita yang masih dia cintai itu. Karena ada Chika dalam gendongannya yang sedang menangis.
Sampai di rumah sakit, Ana langsung menuju ruang perawatan ayahnya. Dia ingin bertemu dengan pria yang dulu sangat menyayangi dirinya.
Ana melihat ibu tirinya menunggu di depan ruang ayah. Mungkin baru habis melihat ayah di dalam ruangan.
"Ibu, Selamat Malam!" sapa Ana.
Ana sampai di rumah sakit memang telah menjelang malam. Jam telah menunjukan pukul setengah tujuh. Wanita itu menatapnya tanpa kedip.
"Akhirnya kau datang juga. Bukankah kau berkata tak akan mau kembali lagi apa pun yang akan terjadi?' tanya Ibu tiri Ana.
"Bu, aku ingin bertemu ayah. Bagaimana pun dia tetap ayah kandungku," ucap Ana dengan suara pelan mencoba menahan amarah.
"Setelah ayahmu mau mati, baru kau datang dan mengatakan jika dia tetap ayahmu!" seru Ibu Rida.
"Bu, kenapa berkata begitu. Maaf, aku datang untuk menjenguk ayah bukan untuk bertengkar," ucap Ana.
Ana lalu berjalan menuju seorang perawat yang berjaga di depan ruang ICU itu. Tak menunggu jawaban dari ibu tirinya. Dia hanya ingin bertemu dengan sang ayah.
Kawin..... kawin.... kawin.... kawin...