Elina Raffaela Escobar, seorang gadis cantik dari keluarga broken home, terpaksa menanggung beban hidup yang berat. Setelah merasakan pengkhianatan dari orang-orang terdekatnya, ia menemukan dirinya terjebak dalam kekacauan emosi.
Dalam sebuah pertemuan tak terduga, Elina bertemu dengan Adrian Volkov Salvatrucha, seorang CEO tampan dan misterius yang hidup di dunia gelap mafia.
Saat cinta mereka tumbuh, Elina terseret dalam intrik dan rahasia yang mengancam keselamatannya. Kehidupan mereka semakin rumit dengan kedatangan tunangan Adrian, yang menambah ketegangan dalam hubungan mereka.
Dengan berbagai konflik yang muncul, Elina harus memilih antara cinta dan keselamatan, sambil berhadapan dengan bayang-bayang masa lalu yang terus menghantuinya.
Di tengah semua ketegangan ini, siapa sebenarnya Adrian, dan apakah Elina mampu bertahan dalam cinta yang penuh risiko, atau justru terjebak dalam permainan berbahaya yang lebih besar dari dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lmeilan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Pagi Hari pun tiba rasanya Elina sedikit enggan terbangun, dia merasa badannya sangat kelelahan dan matanya terasa sembab, namun dia harus dapat bangkit dan menjalani aktivitas nya seperti biasa, Elina terbangun dan bergegas bersiap siap untuk pergi ke kampus.
Elina Raffaela Escobar melajukan motornya yang berwarna biru tua, Mio butut yang sering dijadikan andalannya untuk berangkat kuliah. Suara mesin yang bergetar keras seakan mencerminkan kegundahan hatinya. Setiap detik terasa lambat, memikirkan beban yang harus dipikulnya. Di tengah perjalanan, ia teringat bagaimana orangtuanya menghabiskan uangnya untuk berjudi, mengabaikan harapannya untuk membayar perlengkapan nya berkuliah seperti halnya buku kuliah yang tidak Elina mengerti mengapa bisa semahal itu hanya untuk membeli buku.
Elina seketika teringat dengan percakapan dengan ibunya .
“Kenapa sih, Ma? Uang itu kan buat kuliah, Elina perlu bayar buku Kuliah dan banyak perlengkapan lain!” gumamnya, menahan air mata yang ingin jatuh.
"Sudahlah, nanti urusan buku itu, mama lebih memerlukan uang ini untuk membayar utang ayahmu" bentak Ibu Elina
"t-tapi ma" ucap Elina sambil menahan tangis yang sudah sulit untung dibendung lagi
Elina tidak pernah membayangkan akan serumit itu hidupnya, menghadapi Keluarga yang selalu dalam masalah hutang dan judi, dan juga menghadapi fakta perselingkuhan pacar dan sahabatnya sendiri.
**Kembali ke Elina**
Sesampainya di kampus, Elina melangkah cepat menuju kelas. Ia ingin menghindari tatapan teman-temannya, terutama Clara dan Galang. Keduanya adalah bagian dari masa lalu yang sangat menyakitkan. Elina memilih duduk di sudut ruangan, berharap bisa menyendiri. Namun, tak lama kemudian, Galang terlihat mendekat, senyum lebar menghiasi wajahnya.
“Hey, Lin! Kenapa kamu menghindar?” Galang bertanya, nada suaranya ceria seolah tak terjadi apa-apa.
Elina menghela napas panjang. “Kamar 203,” jawabnya singkat, tanpa menatap Galang.
“Eh? Apa maksudnya?” Galang tampak bingung.
“Cukup, Galang. Kau pura pura bodoh, sekarang kita tidak ada hubungan lagi. Kita putus Gaoang” jawab Elina tegas.
Namun, Galang terus berusaha mendekat. “Lin, kita harus bicara. Aku—”
“Aku bilang cukup!” Elina berbalik dan pergi, merasa air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Galang terdiam, bingung dengan apa yang harus ia katakan.
"bugh" Elina berlari meninggalkan kelas
"Lin, kau kenapa" Ucap Arni yang tidak sengaja bertabrakan dengan Elina di depan kelas
"Ar" Ucap Elina langsung memeluk Arni
"Kau kenapa Menangis Lin, sudah sudah ayo sini ceritaa" ucap Arni sambil menarik tangan Elina dan menuntunnya pergi ke kantin di kampus itu
"Lin...aku tau kamu pasti sangat sangat kecewa, marah dan sedih dengan apa yang Clara dan Galang udh lakuin" ucap Arni sambil memeluk Elina yang menangis terisak di sampingnya
"a-aku ga nyangka Ar, aku salah apa sama mereka, kenapa Ar kenapa harus Clara dan Galang, kenapa?" jawab Elina sambil menangis
"sudah Lin, bukannya aku sudah pernah mengatakan kepadamu" ucap Arni menenangkan
"aku tau kita sudah bersahabat lama Lin, tapi bukan berarti persahabatan lama itu menjamin bahwa dia tidak akan mengkhianati sahabatnya sendiri, dan kau tau Clara seperti apa, ingat Lin sebelum kamu jadian sama Galang, Clara sudah lebih dulu menyukai Galang, a-aku juga kecewa dengan Clara dan Galang, tapi kita tidak bisa terus seperti ini Lin, kamu juga harus berpikir untuk dirimu dan masa depanmu, kamu harus bangkit" ucap Arni menasehati Elina
Elina melepas pelukan Arni dan menatap Arni.
"Kamu betul Ar.. Aku ga bisa larut dalam kesedihan seperti ini..a-aku harus bangkit.." jawab Elina sambil menghapus air matanya
"kamu yakin Lin" ucap Arni
"lah gimanasih kan kamu yang suruh harus bangkit semangat lagi, gimanasihhh" ucap Elina sambil kembali memasang wajah bersedih.
"hahaha.. Bercanda Lin.. ya kamu harus bangkit tunjukkan semangatmu Elina Raffaela Escobar" ucap Arni sambil menunjukkan pose orang berotot.
"hahaha... Terimakasih Ar, kamu memang sahabatku yang mengerti aku" jawab Elina sambil tertawa kecil dan memeluk Arni
"sudah sudah ga perlu mikirin mereka lagi,, Lin bukannya kamu harus bekerja selesai perkuliahan" ucap Arni mengingatkan
"Oh..Ya Tuhan aku hampir lupa, aku duluan ya Ar, makasih banyak banyak ya Ar, wupyu sahabat" ucap Arni sambil menirukan gaya Sarange dan bergegas pergi.
Meninggalkan kantin, Elina bergegas melajukan motor butut kesayangannya menuju hotel tempatnya bekerja. Setiap detiknya terasa berat, seolah semua masalah di dunia ini bertumpuk di pundaknya. Dalam perjalanan, dia teringat pada neneknya, Amber Raffaela, yang sekarang berada di panti jompo.
**Flasback**
ingatan masa lalu sejenak menyapa pikiran Elina. Ia teringat Neneknya, seseorang yang selalu ada untuknya, memberikan kasih sayang yang tulus. Ingatan tentang nenek yang membawanya ke taman, mengajarinya tentang hidup, dan menghiburnya saat merasakan kesedihan.
“Lin, ingat ya, hidup ini indah. Kita harus selalu berjuang,” kata neneknya dengan senyum hangat, matanya berbinar saat Elina masih kecil.
Namun, semua itu berakhir ketika orangtuanya memutuskan untuk menitipkan neneknya di panti jompo. “Kami sudah tidak bisa mengurusnya lagi, Elina,” kata ibunya dengan dingin. “Kau lupa, utang kita banyak, belum biaya sekolah kalian, kakakmu dan adikmu, kami tidak mau repot dengan adanya nenekmu.”
Elina tak terima. “Tapi, Ma! Nenek itu satu-satunya keluarga yang kita punya!”
"biaya sekolah? Biaya sekolah apa yang mama maksud, bahkan Elina bisa bersekolah karena beasiswa yang Elina dapatkan" ucap Elina dalam hati merasa kecewa pada ibunya.
**Kembali ke kenyataan**
Elina merasakan hatinya bergetar. Sesampainya di hotel, dia disambut oleh Desi, rekan kerjanya yang cerewet namun selalu bisa diandalkan.
“Eh, Elina! Kenapa mukamu kayak habis nangis?” Desi bertanya sambil mengatur perlengkapan pembersih.
“Gak apa-apa, Des. Cuma capek,” jawab Elina sambil tersenyum paksa.
“Kamu sakit, Elina?” Desi menatap Elina penuh pertanyaan.
Elina hanya menggeleng kepala. “Ngga kok Des, yuk kita mulai kerja aja.” ajak Elina menarik Desi bergegas masuk ke Pantry
"eh ada kalian, ayoo kita di minta untuk ikut pengarahan tu di Ruang Burgendi" ucap salah satu karyawan hotel.
Kami bersiap-siap mengganti pakaian dengan seragam hotel sesuai departemen tempat kami bekerja, dan bergegas pergi ke ruang pertemuan tersebut, Tak lama kemudian, manajer hotel mengumpulkan semua karyawan untuk briefing.
“Saya ingin memberitahukan kepada kalian semua bahwa Ada tamu VIP yang menginap di hotel ini, dia bukan orang sembarangan, dia CEO dari perusahaan terbesar di negara ini, dan sangat berpengaruh, saya harap tidak ada kesalahan apapun yang kalian lakukan, kalian mengerti??” kata manajer dengan suara tegas.
"mengerti" jawab karyawan serentak.
"siapa pun yang akan ditugaskan dalam membersihkan kamar VIP tersebut harus ekstra hati-hati. Karena Kamar yang harus dibersihkan adalah kamar 101, president suite, saya tidak ingin mendengar ada kesalahan sedikitpun.” ucap Manajer dengan suara tegas dan lantang.
"siap, mengerti Bu" kembali lagi jawab seluruh Karyawan serentak
Jantung Elina berdegup kencang. Kamar itu adalah yang termahal dan terindah di hotel, tetapi juga paling sulit dijangkau.
"semuanya bubar" perintah manajer.
Semua kembali bekerja sesuai job nya masing masing, saat Elina akan kembali melanjutkan pekerjaannya tiba tiba manajer nya memanggil.
"Elina!" panggil Manajer.
"I-iya Bu" jawab Elina gugup
"Kau mengerti kenapa saya memanggilmu "ucap Bu Diana manajer hotel tersebut.
"ke-kenapa Bu" jawab Elina gugup
"Saya dengar dari leadermu pekerjaan mu sangat bagus, jadi saya memutuskan kamu dan Desi yang akan membersihkan kamar 101, saya harap kamu tidak mengecewakan saya" ucap Bu Diana
"t-tapi...hmm Baiklah Bu, laksanakan" jawab Elina menyetujui perintah Manajernya saat melihat tatapan tajam manajer itu.
“Kita yang membersihkan?” tanya Desi dengan mata berbinar. Yah Desi sangat menginginkan memasuki kamar tersebut berbeda denganku.
“Ya, kita!” jawab Elina, berusaha menunjukkan semangat meskipun hatinya masih berat.
Saat memasuki kamar 101, aroma parfum yang sangat mahal menyambut mereka. Elina dan Desi saling pandang, terpesona oleh keindahan interior kamar yang megah. “Wow, ini seperti mimpi!” Desi berbisik.
Elina mengangguk sambil berusaha fokus pada tugasnya. Dia mulai membersihkan bagian meja dan saat ingin merapikan kasur, tiba-tiba handphone-nya berdering. Elina melihat nama yang tertera dan jantungnya serasa berhenti.
"Bu Sri" ucap Elina dalam hati merasa sedikit panik, itu adalah nomor pengurus dari panti jompo.
“Halo?” jawabnya dengan suara bergetar.
“Elinaa.. nenekmu terjatuh dan sekarang akan dibawa ke rumah sakit,” suara itu terdengar mendesak.
kabar tersebut menghantamnya seperti gelombang besar. “Apa? Nenek Kenapa? a-apa yang terjadi Bu?” Elina hampir berteriak, air mata mulai mengalir.
Elina kembali merasa hidupnya hancur, baru saja dia ingin bangkit dari keterpurukannya menghadapi penghianatan kekasih dan sahabatnya, berita duka pun datang membuat dunia seakan berhenti berputar
Elina menjatuhkan handphonenya, perlahan mundur dan Tanpa sengaja, Elina menjatuhkan botol parfum mahal di atas meja. Suara pecahan kaca menggema, dan saat itu juga, langkah kaki terdengar di belakangnya.
“Ehm, apa yang kau lakukan?” suara berat itu membuat Elina terloncat kaget. Dia berbalik dan mendapati seorang pria tinggi dengan aura yang sangat menakutkan, seolah-olah dia bisa membaca pikirannya.
Melihat pria itu, Elina merasa panik. Dia tidak bisa berlama-lama di situ. “Ma-Maaf Tuan, saya harus pergi!” ujarnya terbata-bata sebelum bergegas keluar, air mata bercucuran.
“Wait!” pria itu memanggilnya, tetapi Elina sudah tak peduli. Dia melangkah cepat, berusaha menghapus rasa sakit yang menggerogoti hatinya.
Dalam perjalanan pulang, pikirannya melayang-layang antara rasa cemas tentang neneknya dan munculnya ingatan tentang pengkhianatan dua orang yang berarti dalam hidupnya seolah semuanya berputar dalam otaknya. Di tengah semua ini, Elina menyadari bahwa hidupnya semakin rumit.
Elina bergegas ke rumah memberitahukan orangtuanya dan bergegas ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah, suasana tegang menyambutnya. Ibu dan ayah tirinya sedang bertengkar, suara mereka terdengar sampai ke luar. “Kamu sudah habiskan semua uang untuk berjudi, Dodi!” suara ibunya penuh emosi.
Elina menahan napas, langkahnya terhenti. Dalam hati, dia hanya bisa berharap untuk menemukan jalan keluar dari semua masalah ini.
"Cukup" teriak Elina menghentikan keributan dirumah itu
"Ma, nenek Ma, Nenek jatuh dan masuk rumah sakit, tadi pengurus Panti telepon Elina ditempat kerja" ucap Elina sambil menangis terisak berharap Ibunya bisa mencari jalan keluar.
“Lin! Berhenti menangis” teriak ibunya, menyadarkannya dari Isak tangisnya.
“untuk apa kamu memberitahukan kepadaku, apakah dengan begitu nenekmu bisa diobati, aku tak punya uang, bahkan kau tau utang semakin menumpuk, biarkan saja nenekmu mati” ucap Ibu Elina tanpa rasa kasihan dan peduli.
"Ma?!... Kenapa Mama sejahat itu hah.. Mama ga sayang sama Nenek...Mama sudah gila karena laki laki itu" jawab Elina mengguncang tubuh Ibunya seakan tidak percaya apa yang ibunya katakan.
“Lebih baik kamu carikan uang untuk bayar utang!, agar masalah dikeluarga ini beres" ucap ibunya dengan suara keras, Elina tidak peduli lagi, Elina tidak mengerti jalan pikiran Ibunya. Rasa cemas sedikitpun tidak terlihat dalam diri ibunya.
Dengan cepat, Tanpa sepatah katapun hanya air mata yang terus mengalir, Elina masuk kedalam kamar membereskan pakaian nya kedalam tas yang ada dan membawa semua peralatan sekolahnya, ia bergegas pergi kerumah sakit membawa pakaian dan peralatan kuliahnya yang bisa ia bawa, tanpa ingin memikirkan lagi apa yang terjadi dirumah itu, rumah yang membawa derita baginya.
"kemana kamu Lin" teriak Ibunya.
Elina sudah tidak mempedulikan lagi apa keinginan ibunya. Ia bergegas mengendarai motor bututnya, menarik gas tanpa menoleh ke belakang. Jalanan malam itu terasa begitu sunyi, seolah ikut merasakan keresahan yang ada di dalam hatinya. Matanya tak berhenti mengeluarkan air mata. Bayangan neneknya yang terbaring lemah di rumah sakit terus menghantuinya.
"Ya Tuhan, kumohon jangan biarkan sesuatu yang buruk terjadi pada nenek," ucap Elina pelan dengan suara gemetar.
Elina menghapus air matanya yang terus mengalir. Ia tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana neneknya selalu menjadi pelindung bagi dirinya, satu-satunya yang selalu ada di sisinya saat hidup semakin keras. Di saat keluarganya sibuk dengan dunia mereka sendiri, neneklah yang memberinya pelukan hangat dan nasihat penuh kasih.
Tapi sekarang, orang yang paling berharga dalam hidupnya pun sedang berada dalam kondisi kritis, ditambah Elina juga terjebak dalam masalah keluarga yang tidak pernah memberinya kebahagiaan.