Raika, telah lama hidup dalam kesendirian sejak kematian ayahnya. Dunia yang berada diambang kehancuran memaksanya untuk bertahan hidup hanya dengan satu-satunya warisan dari sang ayah; sebuah sniper, yang menjadi sahabat setianya dalam berburu.
Cerita ini mengisahkan: Perjalanan Raika bertahan hidup di kehancuran dunia dengan malam yang tak kunjung selesai. Setelah bertemu seseorang ia kembali memiliki ambisi untuk membunuh semua Wanters, yang telah ada selama ratusan tahun.
Menjanjikan: Sebuah novel penuhi aksi, perbedaan status, hukum rimba, ketidak adilan, dan pasca-apocalipse.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahril saepul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 Kegilaan.
Tanganku bergetar dengan sendirinya meski tengkurap di atas batu. Aku tidak sendirian; ada beberapa penembak lain tidak jauh dari tempatku berada. Eldritch telah menyiapkan Beasthearts-nya yang seperti meriam. Semua orang telah berpencar di tempat masing-masing sesuai dengan Beasthearts yang mereka gunakan.
Seorang pria berdiri di atas mobil terbang di ketinggian, ia berteriak. "Bersiaplah kalian para bajingan! Hidup kalian ada di tanganku. Jika kalian ingin tetap hidup," ia memegang handphone di tangan, suaranya berubah pelan, "Maka berusahalah, he-he."
CLIK.
Beasthearts mulai menyala, Oaris membentuk garis-garis merah yang menyelimuti meriam. Pancaran merah keluar dari ledakannya, menghantam kuat ke arah kristal. Tidak lama kemudian, suara berdengung menghiasi seluruh area, angin kencang berhembus ke segala arah, menandakan sesuatu telah terbangun. Mataku terbelalak saat melihat berir kuning mengitari luasnya lapangan, membuat semua orang di dalam tidak bisa keluar.
Teriakan mereka menyadarkanku yang sedang terfokus pada berir tersebut. Wanters telah menghilang dari Kristal.
Dalam keadaan bingung, kami dikejutkan oleh Wanters yang tiba-tiba jatuh dari udara; cahaya emas menggelegar seperti petir di seluruh tubuhnya, dalam sekejap membunuh semua orang yang berada di dekatnya.
Mereka yang selamat mulai bergerak ke arah Wanters. Namun, mereka mati hanya dalam hitungan detik akibat serangan dari mulutnya---seperti laser berwarna emas. Meriam diaktifkan kembali mengarah ke arahnya, saat peluru dilontarkan.
Aku tidak bisa berpikir jernih saat tubuh besarnya menghilang tanpa jejak.
Mendadak ia muncul dari tempat meriam, membunuh semua orang yang ada di sana.
Situasi sudah mulai tak terkendali. Tubuhku bergerak sendiri, berlari sekuat tenaga menuju ujung berir berharap bisa keluar dari area ini. Namun, langkahku terhenti ketika tubuh seseorang hancur saat melewatinya. Batu terbang tepat di samping kananku, menewaskan beberapa orang dalam sekejap.
Aku berpaling ke belakang, menatap lurus ke arah Wanters yang sedang mencincang-cincang mereka dengan brutal.
Apakah ini akhirku? ... Jika Ayah masih hidup, apa yang akan ia lakukan di situasi seperti ini.
Menggenggam erat sniper. Aku tidak akan sebodoh dirimu yang melakukan segalanya secara nekat, tetapi hanya sedikit saja, mungkin, tidak apa-apa.
Menarik napas dalam-dalam, secara perlahan mempercepat langkah, mengaktifkan Oaris untuk bersiap menyerang. Jika aku ceroboh maka ini adalah akhir, tidak ada tempat bersembunyi, tidak ada tameng, tidak ada pertolongan. Pandanganku tertuju pada meriam yang mungkin masih bisa digunakan. Namun, setelah sampai dan memeriksanya, beberapa komponen sudah tidak berfungsi akibat serangan sebelumnya.
Seorang lelaki berlari mendekatiku, ia berkata "Serahkan ini padaku, tolong alihkan perhatiannya selama 15 menit," suruhnya dengan napas tersengal-sengal.
Tanpa pikir panjang aku mempercayakan meriam padanya.
15 menit ya, semoga bisa lebih cepat lagi.
Berharap meriam itu bisa menjadi kunci untuk membunuhnya. Aku menghentikan langkah, membidik, dan menembaknya beberapa kali. Namun, setiap serangan yang mengenainya hampir tidak berefek apa-apa.
Mungkin, keberuntungan tidak berpihak padaku, guncangan terasa semakin dekat. Yah, aku tau apa yang aku lihat, ia mengalihkan pandangan kearahku.
Merasa tidak ada lagi harapan untukku hidup, aku menatap kosong ke arah Wanters yang semakin mendekat. Ayah pernah bilang, jangan pernah melawan musuh yang lebih kuat jika kau tidak yakin bisa menghadapinya.
Apa benar begitu?
***
Kilasan:
"Raika, lihat benda itu," di atas bangunan. Menunjuk ke arah Wanters. Ia membidiknya dan menembak tepat pada mata biru di kepalanya, "mau sekuat apa pun mahkluk itu, kau masih dapat mengalahkannya."
***
Memegang erat sniper, aku menyalurkan sebagian Oaris ke tubuhku untuk menambah kemampuan fisik (Fury mode) sebagai gantinya, rasa terbakar akan dirasakan pengguna, suara jantung mengganggu pendengaran telinga, jika menggunakannya secara berlebihan bahkan bisa menyebabkan kematian.
Wanters mengeluarkan energi dari mulutnya, kemudian ia menembak tepat ke arahku---beruntung berkat peningkatan fisik, aku masih bisa menghindari serangannya, pandanganku tertuju pada celah yang memungkinkanku untuk naik ke atas tubuhnya, dengan cepat aku berlari hingga tanganku berhasil mencengkeram kulit tebal pada kakinya. Aku berusaha bertahan, karena ia memberontak mengincar orang lain yang masih selamat.
Dirasa ada kesempatan untukku naik, aku berlari di pinggir tubuhnya hingga berhasil sampai di bagian perut. Aku menoleh ke segala arah, mencari titik kelemahan dari Wanters Vicuris. Namun, hasilnya nihil.
Suara gempuran keras terdengar tidak jauh dari tempatku berada, lelaki itu berhasil mengaktifkannya. Aku mempererat genggamanku, dan fokus mencari bola mata yang seharusnya berada di atas.
Namun, lagi-lagi aku ceroboh ...
Saat hendak melanjutkan pencarian, tubuh besarnya menghilang dalam sekejap, membuatku terjatuh membentur tanah dengan keras. Pandanganku terasa kabur melihat Vicuris berada di tempat meriam, menghancurkannya berkeping-keping.
Dari 100 ribu orang yang mengikuti raid kini hanya tersisa beberapa orang saja, mereka hanya menunggu giliran mereka selanjutnya, dan aku juga seperti itu.
Menutup mata.
Ahh ... aku lupa, daripada mati konyol sepertinya, lebih baik mati dengan caraku sendiri ...
Perlahan bangun.
Meski aku akan mati di sini, paling tidak aku ingin menguji hasil latihanku selama ini. Aku mengaktifkan Fury mode, mengumpulkan Oaris pada sniper sambil bergegas ke arah Wanters. Saat Oaris terkumpul, satu tembakan kuat kulontarkan hingga pandangannya tertuju kembali ke arahku, ia mulai mendekat. Tanpa menghentikan langkah, aku mencari aba-aba untuk menghindar---dengan cepat aku menerobos hingga berada di bawah tubuhnya.
Sekilas aku menemukan inti kelemahnya tepat di bawah dagu.
Aku berbalik arah dan menembak inti lemah Wanters. Namun, itu masih belum cukup. Ia muncul tiba-tiba di udara, hendak menyerangku dengan laser.
Refleks aku menghentakkan kaki untuk menghindar selagi sempat. Seluruh tempat dipenuhi debu yang berterbangan, meski begitu aku menatap, berlari di atas tanah hancur nan rusak, aku melompat ke arah kaki bagian belakang dan mendorong kakiku sekuat tenaga---mementalkanku menuju inti dari Wanters yang hampir hancur. Peluru terakhir kutembakkan ...
CREK
Aku tidak percaya, dalam sekali tembak aku berhasil menghancurkan kristal hingga menembus inti kelemahannya. Namun, sesuatu melesat kemulutku, berstruktur keras, hingga tanpa sengaja menelannya.
Wanters mengamuk dan menghempaskanku---menyentuh tanah dengan kasar. Dalam posisi berbaring kulihat ia berhenti bergerak, secara perlahan terjatuh kemudian menjadi abu.
Aku terdiam sejenak, tidak percaya bahwa Vicuris telah mati. Namun, tubuhku mulai bergetar hebat, seolah-olah mau pecah. Rasa sakit menyebar ke seluruh tubuh, darah mulai merembes dari mataku, telingaku, hidungku, dan mulutku. Denyut nadiku menggila, terasa seperti akan meledak.
Arcis? Aku menelannya?
Tubuh merintih tidak terkendali, sendi-sendi mulai patah satu per satu dengan suara retakan yang mengerikan. Aku berteriak keras, namun suara itu tenggelam dalam kabut yang perlahan menutupi pandangan. Segalanya menjadi hitam.
End bab 3
gabung yu di Gc Bcm..
caranya Follow akun ak dl ya
untuk bisa aku undang
terima kasih.