Ranti terpaksa harus mengakhiri pernikahannya dengan lelaki yang ia cintai. Niat baiknya yang ingin menolong keponakannya berbuntut peperangan dalam rumah tangganya.
Lalu bagaimana akhir dari cerita ini?
Yuk kita simak ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3. Baju Merah Muda Part 2
Bab 3. Baju Merah Muda Part 2
POV Sri
Meski kagum melihat penampilan anakku, namun aku cukup terkejut dengan baju yang Menur kenakan. Pasalnya, baru saja baju merah muda menjadi pembicaraan ku dengan Bu Wati. Bu Wati menyatakan kalau anaknya Jelita kehilangan baju kesayangan yang berwarna merah muda. Dan tepat di hadapanku ini, anakku sedang memakai baju berwarna merah muda.
Apa aku terlalu berpikiran buruk tentang anakku, dan menduga tanpa bukti nyata. Namun aku sendiri yakin, aku tidak pernah mencuci pakaian itu atau pun membelikannya untuk anakku.
"Nduk, Ibu baru kali ini melihat mu memakai baju itu?" Tanyaku dengan hati-hati.
"Hah, Ibu saja yang tidak memperhatikan!"
"Tapi Ibu tidak merasa pernah membelikan baju ini."
"Apa baju-baju yang aku punya harus selalu Ibu yang belikan?!"
"Lah kalau bukan Ibu, lantas siapa yang membelikannya untukmu Nduk?"
"Ibu lupa aku punya teman-teman yang baik, yang bisa memberikan ku pakaian bagus, yang tidak mungkin mampu Ibu belikan?!"
Deg,
Lagi-lagi ucapan putriku yang keluar begitu saja dari bibirnya membuatku merasa sedih mendengarnya.
Bukan aku tidak sanggup membelikannya baju bagus yang bermerek itu, aku bisa saja membelikannya dua atau tiga baju bagus itu. Namun ada kebutuhan yang lebih penting dari sekedar baju bermerek yang menurutku sangat tidak cocok dengan gaya kehidupan kami sehari-hari yang bisa di katakan pas-pasan ini.
Aku ingin sekali menyenangkan hati putriku, tapi bukan dengan cara memanjakannya dengan barang-barang mewah yang sama sekali tidak akan mendidik dirinya menjadi anak yang selalu bersyukur dengan apa yang sudah dimiliki. Tapi mungkin ada yang kurang dalam pengajaran ku mendidik anak, sehingga Menur bersikap seperti ini.
"Nduk, Ibu tidak pernah mengajarkanmu untuk meminta-minta selagi kita masih mampu. Bersyukurlah dengan apa yang sudah kita punya, karena di luar sana masih banyak orang-orang yang hidupnya..."
"Halah!! Selalu itu dan itu saja yang Ibu katakan! Aku bosan!!"
"Menur!"
"Apa?! Ibu mau marah?! Apa Ibu pikir selama ini aku cukup bahagia?!"
"Kenapa kamu bicara seperti itu Menur? Apa Ibu membuatmu tidak bahagia?"
"Apa Ibu masih ingin bertanya lagi?! Peka dong Bu!!"
Sesak, sungguh sesak rasanya hingga aku berulang kali membuang napas berat untuk tetap mencoba bersikap tenang menghadapi putriku ini. Aku tidak ingin melukainya, apalagi baru saja ia mengatakan tidak bahagia bersamaku selama ini.
Sabar, aku harus lebih bersabar lagi...
"Maafkan Ibu, jika kamu merasa begitu. Coba cerita kepada Ibu seperti dulu. Bicarakan apa saja yang kamu inginkan atau ada masalah yang sulit untuk kamu hadapi."
"Percuma! Karena Ibu tidak akan bisa menjawab dan memberikan solusi untukku!"
Aku terdiam. Apakah mungkin maksud dari ucapan anakku ini bersangkutan soal Ayah kandungnya?
Lagi-lagi aku menghela napas berat.
"Maaf Nak. Bukan Ibu tidak mau cerita kepadamu, hanya saja Ibu belum sanggup untuk bercerita dan Ibu rasa pun belum waktunya."
"Mau sampai kapan Bu? Apa tunggu aku mati baru timbul penyesalan?!"
"Astagfirullah.. Menur!!"
"Kenapa Bu? Benar kan?!"
"Cukup Menur!! Jangan uji kesabaran Ibu?!"
"Hah!! Lagi-lagi kesabaran, lagi-lagi kesabaran! Terus Ibu ingin aku bersabar seperti Ibu?! Maaf tapi aku bukan Ibu!"
"Menur! Menur...!! Mau kemana kamu?!"
Menur terus melangkah pergi meski aku terus memanggilnya dan bertanya kepadanya. Namun putriku ku itu mengacuhkan aku, seolah-olah ia tidak mendengarkan ucapanku.
Hatiku sesak, perasaan ku cemas. Aku takut perubahan sikap anakku ini akan terus menjadi-jadi.
Aku terduduk lemah, di kursi yang menghadap meja makan. Sudah hilang selera ku untuk mengisi perut ini meski sudah terasa perih.
Lekas ku bangkit untuk melanjutkan saja pekerjaan menyetrika ku yang tadi aku tunda. Agar aku lebih banyak memiliki waktu luang dan bisa mengerjakan pekerjaan yang lain lagi.
Meski pikiran ku kemana-mana dan hati ini juga tidak tenang karena perdebatan dengan Menur tidak berakhir dengan baik, namun aku mencoba menyelesaikan pekerjaanku dengan sebaik-baiknya.
"Tok... Tok... Tok...!"
"Sri...! Sri...!"
"Seperti suara Bu Wita. Ada apa ya?"
Suara ketukan di pintu yang memanggil namaku berkali-kali menghentikan kegiatan menyetrika ku. Ku matikan dulu setrika listrik, agar tidak merusak pakaian pelangganku, lalu meletakkannya di tempat yang aman. Kemudian aku beranjak dari duduk ku untuk menghampiri tamu ku yang masih terus memanggil di depan pintu.
"Sri...! Sri...!"
"Ada apa Bu Wita?" Tanyaku yang kebingungan akan kedatangan Bu Wita yang sepertinya sedang di liputi emosi. Di lihat dari sorot matanya, Bu Wita terlihat marah kepadaku.
"Kowe iki piye toh?!"
"Loh, kenapa memangnya Bu?"
"Anakku ngerti anakmu nganggo klambine, opo kowe ora iso ndidik anakmu?!" (Anakku melihat anakmu memakai bajunya. Apa kamu tidak bisa mendidik anakmu?!)
Aku sudah menduga hal ini pasti akan terjadi. Aku masih belum bisa memastikan, apakah baju yang di pakai Menur tadi milik anak Bu Wita atau bukan. Karena pembicaraan kami tadi tidak menemukan titik akhir yang baik. Sepertinya hanya permintaan maaf saja yang bisa aku ucapkan untuk meredam amarah Bu Wita.
"Maaf Bu Wita, saya akan menasehati lagi Menur jika dia berbuat salah. Tetapi tadi, saya sempat bertanya kepada Menur soal baju merah muda yang ia kenakan. Dan katanya, baju itu diberikan oleh temannya."
"Terus kowe percoyo karo anakmu?! Teman mana yang mau memberikan pakaian seharga 250 ribu secara cuma-cuma heh?! Pokok e..., kowe mesti ganti rugi! Dan aku tidak mau lagi menggunakan jasamu. Mana pakaian-pakaian tadi?! Bisa habis di gondol maling kalau terlalu lama berada di rumah mu!!"
Sakit sekali mendengar tuduhan yang belum benar akan kenyataannya. Namun karena aku juga tidak bisa membuktikan terlibat atau tidaknya Menur pada perkara ini, aku pun terpaksa mengorek tabunganku untuk mengganti kerugian yang di sebutkan oleh Bu Wita tadi. Dan juga mengembalikan pakaian-pakaian miliknya yang belum hampir separuh aku setrika.
"Sekali lagi, saya mohon maaf Bu Wita."
"Huh, susah kalau di lingkungan ini sudah ada bibit maling!" Sarkas Bu Wita sambil mengambil keranjang pakaian dan juga uang 250 ribu dari tangan ku. Matanya menatap sinis kepadaku dengan bibir mengerucut tinggi.
Aku membuang napas berat. Berkurang sudah, satu tetangga yang menggunakan jasa ku untuk menyetrika pakaian mereka. Padahal aku sedang butuh uang banyak untuk mewujudkan keinginan Menur yang ingin melanjutkan pendidikanya ke tahap yang lebih tinggi. Namun sepertinya aku harus lebih berusaha lagi untuk mencari pelanggan baru yang mau menggunakan jasaku.
Aku menutup pintu dengan lemah. Tubuhku semakin lemah karena aku belum menyentuh nasi sama sekali sejak pagi hari hingga hampir menjelang Ashar ini. Aku pun beranjak ke dapur untuk mengisi perut ku yang sudah perih sejak tadi. Walau tidak berselera, namun aku harus bertenaga untuk melakukan pekerjaan lain yang masih tertunda
Bersambung...
Jangan lupa like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
akut 🤦♀️🤣🤣
pake nanya lagi