Jadikan Aku Selingkuhan Mu Ya... OM!
Bab 1. Melanjutkan Pendidikan
POV Author
*Novel ini hanya karangan imajinasi Author saja. Apabila terdapat kesamaan nama, tempat maupun kisah yang mirip dengan kehidupan sehari-hari itu terjadi tanpa adanya unsur kesengajaan. Mohon bijak untuk memberikan komentar, terima kasih 🙏😊
"Bu, aku ingin kuliah."
Sri menoleh pada anaknya, lalu kembali fokus menyetrika kemeja yang sudah ada terbentang di hadapannya.
"Opo ndak cari kerja dulu Nduk, biar bisa sambil kuliah?"
"Ibu tidak punya biaya?"
Sri mematikan setrikanya, lalu menoleh pada putri satu-satunya.
"Ibu hanya punya tabungan sedikit. Tapi mungkin tidak cukup membiayai kuliah mu sepenuhnya."
"Ck!"
Menur cemberut mendengar jawaban sang ibu.
"Bagaimana pun caranya, aku ingin kuliah Bu. Aku malu sama teman-teman ku. Kami sudah janji mau kuliah di kampus yang sama."
"Memangnya universitas opo toh Nduk?"
"Di kota besar pokoknya Bu, aku janjian masuk kuliah disana."
Sri menghela napas.
"Kita ini kemampuannya terbatas loh Nduk. Apa tidak bisa, kamu kuliah di tempat yang lebih terjangkau saja?"
"Ck, Ibu gimana sih?! Bukannya dukung malah bikin bad mood saja!"
"Ibu selalu mendukung yang berguna dan baik untuk hidupmu Nduk. Tapi ibu juga tidak bisa memaksa diri dengan kemampuan ekonomi kita yang terbatas ini."
"Ibu kan bisa pinjam sama Pakde Dirman Bu?!"
Sekali lagi Sri menghela napas berat, mengingat putrinya itu begitu sulit mengerti keadaan mereka.
"Hutang kita sudah banyak sama Pakde mu. Ibu malu dan sungkan, juga tidak ingin merepotkan Pakde mu terus. Dia punya keluarga juga yang harus dia nafkahi Nduk. Ibu tidak ingin menjadi benalu sehingga Pakdemu lalai terhadap tanggung jawabnya pada keluarganya." Sri mencoba menjelaskan.
"Kalau begitu, Ibu tinggal cari keluarga Bapak kan? Dan minta tolong sama mereka?!"
"Cukup Nduk! Sudah berapa kali Ibu bilang, jangan bahas soal Bapak mu dan keluarganya."
"Lagi-lagi Ibu selalu begini! Kenapa aku tidak boleh tahu soal Bapak dan keluarganya?! Aku jadi curiga sama Ibu. Jangan-jangan Ibu ini...."
"Cukup Menur!! Jangan uji batas kesabaran Ibu mu ini!"
Sri sedikit menaikkan nada bicaranya karena Menur sang anak terus memancing emosinya.
"Haaah..."
Menur membuang napas kasar, lalu tanpa pamit berlalu dari hadapan sang Ibu.
Sepeninggal sang anak, Sri pun menghela napas berat. Ada alasan tersendiri mengapa ia tidak ingin sang anak tahu soal keluarga suaminya. Sri belum mampu membuka luka lamanya.
Sementara itu, Menur bersiap untuk pergi bertemu teman-temannya. Pembicaraan dengan sang Ibu tadi membuatnya kesal sehingga ia harus melampiaskan amarahnya.
Ya, Menur masih muda dan baru akan menginjak usia dewasa. Namun sikapnya belum menunjukan bahwa ia mulai dewasa. Menur masih labil, masih ingin mengikuti kata hati dan dorongan dari teman-temannya tanpa berpikir baik buruk serta resiko maupun kendala yang akan di hadapi kedepannya. Pikirannya hanya kesenangan yang ada. Karena bagi Menur, ia berada dalam keluarga yang tidak utuh, ia merasa tidak bahagia dan kurang mendapatkan kasih sayang yang lengkap.
Sri tertegun melihat penampilan Menur dengan pakaian modis yang rasanya Sri tidak pernah membelikan anaknya itu pakaian yang terlihat mahal seperti itu. Tapi Menur begitu terlihat santai memakainya.
"Nur, itu baju siapa? Kamu dapat dari mana?"
"Baju ku lah Bu! Teman-teman yang memberikannya padaku, karena sudah pasti Ibu tidak akan mampu membelikan pakaian bagus ini buatku."
Sri menekan dadanya yang terasa sesak oleh ucapan sang anak yang keluar begitu saja tanpa beban.
Sri memang tidak akan sanggup membelikan pakaian sebagus itu. Apalagi ia hanya seorang penjual kue di pagi hari, dan mengambil upahan menyetrika di siang hari sampai sore hari. Namun begitu, Sri berusaha keras menghidupi anaknya seorang diri. Menabung setiap hari meski tidak seberapa, dan makan ala kadarnya agar sang anak bisa makan enak tidak susah seperti dirinya.
Cara Sri mungkin masih ada kekurangan dalam membesarkan anaknya. Namun Sri juga tidak lupa mendidik Menur dengan didikan agama, etika yang baik, serta disiplin dan tanggung jawab. Namun entah salahnya dimana hingga Menur dari hari ke hari terus menjadi anak yang melawan dan memberontak. Terkadang Sri cukup kebingungan dengan sikap Menur.
"Terus kamu mau kemana Menur?"
"Ya pergilah Bu, masa sudah dandan cantik gini diam di rumah. Sudah lah Bu, jangan banyak tanya."
"Kamu kok ngomong begitu Menur?! Kamu anak Ibu satu-satunya, jadi wajar kalau Ibu bertanya kamu mau kemana."
"Ibu tidak perlu mikirin aku mau kemana. Ibu nabung saja yang banyak. Pokoknya aku mau kuliah di tempat yang aku inginkan, titik!"
Setelah berkata demikian, Menur melangkah pergi tanpa memikirkan perasaan Ibunya yang sedih akan ucapannya itu.
Sri tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia hanya bisa memandangi punggung sang putri yang kian menjauh.
Kenapa kamu sekarang berubah jauh seperti ini Nduk? Padahal dulu kamu anak yang penurut dan periang. Kamu tidak mudah mengeluh dan selalu tersenyum. Apa ibu telah salah mengira selama ini kalau kamu anak yang manis?
Setetes bulir bening mengalir di pipi Sri. Lekas ia tepiskan dan mencoba menyabarkan hati dan berbesar hati untuk memaafkan kelakuan sang putri.
Sri kembali menghidupkan setrika listriknya dan mulai kembali merapikan pakaian yang sudah terbentang di atas meja yang sudah beralaskan kain.
Sementara itu, Menur yang sudah janjian di jemput temannya pun pergi menuju tempat tongkrongan mereka.
Ada beberapa teman perempuan juga laki-laki yang telah menunggunya di sebuah kafe yang menjadi tempat tongkrongan anak-anak gaul kata mereka.
"Hei Cantik, aku kira kamu tidak jadi datang."
"Jadi dong. Sudah janjian masa aku tidak datang sih?!"
Menur duduk di kursi yang telah di sediakan oleh teman-temannya. Menur yang berparas cantik selalu mengundang ke kaguman teman-temannya untuk selalu melirik kepadanya.
"Can, ini tugas punya ku dan ini Sisil."
Salah seorang teman Menur mengeluarkan dua buah buku dan di letakkan di atas meja. Menur tersenyum lalu meraih kedua buku itu dan di masukan ke dalam tasnya. Bagi Menur itu adalah job yang selalu ia nantikan. Kekurangan ekonomi memaksa Menur menjual otaknya kepada teman-temannya dengan upah barang-barang bagus yang tentunya tidak sanggup di berikan oleh ibunya.
Menur yang paling pintar di antara teman-temannya tidak kecewa di manfaatkan oleh mereka. Karena ia pun memanfaatkan teman-teman itu untuk bisa makan enak dan memiliki barang-barang yang bagus.
Menur bosan hidup susah. Ia ingin hidup nyaman dengan cara tidak perlu bekerja keras dengan menggunakan banyak tenaga. Menur sedang mengumpulkan uang untuk mencari informasi keberadaan keluarga sang Ayah. Menur hanya tahu sang Ayah telah tiada tanpa tahu bagaimana wujudnya ketika masih hidup.
Bukan hal yang mudah bagi Menur menjalani kehidupan dari hari ke hari tanpa sosok sang Ayah. Terkadang ia iri melihat teman-temannya yang di jemput Ayah mereka, atau bertemu keluarga komplit yang sedang menikmati waktu kebersamaan mereka. Menur iri akan momen seperti itu yang tidak pernah ia rasakan sejak ia mengenal arti Ayah bagi seorang anak.
Bersambung...
Jangan lupa like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
ㅤㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤ𝐀⃝🥀✰͜͡v᭄ㅤ❣️
awal yang bikin kesell
2024-11-03
0
@Risa Virgo Always Beautiful
Menur mending kamu ngga usah kuliah kasihan ibu kamu
2024-10-04
0
boyZa-¹
calon anak durhaka/Casual/
2024-10-03
1