(Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata juga mental yang kuat untuk marah-marah!)
Sheila, seorang gadis culun harus rela dinikahi secara diam-diam oleh seorang dokter yang merupakan tunangan mendiang kakaknya.
Penampilannya yang culun dan kampungan membuatnya mendapat pembullyan dari orang-orang di sekitarnya, sehingga menimbulkan kebencian di hatinya.
Hingga suatu hari, Sheila si gadis culun kembali untuk membalas orang-orang yang telah menyakitinya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diusir!
Sheila baru saja terbangun dari pingsannya. Langsung teringat pada kondisinya sekarang yang sedang berbadan dua. Gadis itu mencoba bangkit dari posisi berbaringnya.
Sekarang aku pasti akan dikeluarkan dari sekolah.
Di sudut sana, dua orang wanita yang bertugas di ruang UKS menatapnya iba. Salah satu dari wanita itu mendekati Sheila dan mengusap rambut panjang gadis malang itu. "Kau sudah merasa lebih baik?" Sheila hanya menjawab dengan anggukan kepala. "Baiklah, sekarang ayo kita ke ruangan kepala sekolah. Bapak kepala sekolah sudah menunggumu."
Sheila beranjak dari tempat pembaringan itu, kemudian memakai kembali sepatunya. Gadis itu ditemani oleh dua orang guru itu menuju ruangan kepala sekolah.
Sementara di luar sana, beberapa siswa yang melihat Sheila berjalan menuju ruangan kepala sekolah, terlihat saling bisik-berbisik. Adapula yang sengaja mengeraskan suaranya dan mengatakan sesuatu yang membuat Sheila menjatuhkan air matanya.
Berita tentang kehamilan Sheila dengan sangat cepat beredar di sekolah dan membuat kehebohan. Gadis pendiam itu hanya dapat menundukkan kepalanya, mendengar cacian demi cacian yang diarahkan padanya.
"Sepertinya dia itu simpanan om-om, ya. Dan sekarang dia sudah dibuang oleh om-om itu." Salah seorang siswa seolah sengaja mengeraskan suaranya.
"Dia kan sebelumnya sering diantar dengan mobil mewah ke sekolah. Tapi akhir-akhir ini dia datang dan pulang dengan bus. Sepertinya om-omnya sudah meninggalkannya," imbuh seorang siswa lain.
"Iya, aku juga pernah melihatnya diantar dengan mobil mewah beberapa kali."
Ingin rasanya Sheila meneriaki anak-anak yang sedang membicarakan dirinya itu. Dan menjelaskan bahwa orang yang selalu mengantarnya ke sekolah tidak lain adalah suaminya. Namun, gadis itu hanya dapat berpasrah. Percuma saja membela diri, karena tidak akan ada yang percaya. Sheila mempercepat langkah kakinya menuju ruangan kepala sekolah.
Di dalam sana, Sheila berlutut memohon agar diberi kesempatan untuk menyelesaikan ujian akhir yang tinggal beberapa hari lagi. Namun, tidak ada kesempatan. Berita sudah tersebar dan para guru mendesak agar Sheila dikeluarkan dari sekolah.
Dan, setelah melalui pemeriksaan dan juga dapat dewan sekolah, maka hari itu juga mereka memutuskan mengeluarkan gadis itu dari sekolah.
Sheila melangkah tanpa arah. Tatapannya lurus ke depan sana, tetapi pikirannya melayang ke tempat yang jauh di sana. Entah bagaimana caranya memberitahu Marchel tentang apa yang terjadi padanya. Sang suami pergi ke sebuah daerah pedalaman yang sedang terisolasi. Bahkan tidak ada jaringan telekomunikasi di sana, sehingga tak bisa dihubungi.
Dengan sebuah amplop di tangannya yang merupakan surat panggilan dari pihak sekolah untuk wali murid. Kepada siapa Sheila akan memberikan surat itu. Pada ibu mertua tidak mungkin. Wanita itu hanya akan mengusirnya dari rumah jika tahu apa yang terjadi.
Sekarang aku benar-benar sendiri. Tidak ada lagi yang peduli padaku. Kak Marchel, dia pergi tanpa memberi kabar setelah kepergiannya. Sekarang, aku harus bagaimana. Aku akan dikeluarkan dari sekolah dengan tidak hormat karena aku sudah mencoreng nama baik sekolah.
Teringat kembali seluruh siswa di sekolah menghinanya dengan teriakan gadis simpanan om-om. Sungguh semua bagai tuduhan yang sangat keji. Belum lagi Maya yang terlihat sangat puas. Dengan kata-kata yang teramat kasar, gadis jahat itu menuding Sheila merayu seorang pria di klub, saat dirinya dan teman-temannya mengajak ke sana malam itu.
Tanpa terasa, Sheila telah tiba di depan rumah. Gadis itu menatap gerbang besar dengan perasaan takut. Entah akan seperti apa reaksi sang mertua yang sudah pasti tidak akan mempercayainya.
Dengan langkah kaki meragu, Sheila memasuki rumah itu. Sungguh di luar dugaan, sang mertua ternyata sudah menunggunya sejak tadi.
Tanpa diketahui oleh Sheila, pihak sekolah telah mengabarkan apa yang terjadi pada Sheila, wanita paruh itu seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya. Kebenciannya pada Sheila semakin menjadi-jadi.
"Cepat kau kemari!" Ibu mengeraskan suaranya.
Takut-takut, Sheila mendekat pada ibu mertuanya itu.
PLAK!
Satu tamparan keras mendarat di wajahnya. Ibu kemudian menarik rambut Sheila dengan kasarnya.
"Ampun, Bu!" lirih Sheila.
"Katakan siapa ayah dari anak haram yang kau kandung itu! Tidak mungkin Marchel, kan? Karena Marchel tidak menyukaimu. Marchel tidak mungkin menyentuhmu kan?!"
"Kak Marchel, Bu! Anak yang ku kandung anak Kak Marchel." Sheila memberanikan diri menatap wajah mertuanya itu.
"Apa? Kau pikir aku akan percaya begitu?"
"Tapi benar, Bu!"
"Bagaimana mungkin Marchel? Marchel sudah dua pergi."
"Aku tidak bohong, Bu."
"Aku tidak akan pernah mempercayai pembohong sepertimu. Pergi kau dari rumah ini! Aku tidak mau ada orang kotor sepertimu di rumahku! Kemasi barang-barangmu sekarang juga dan segera keluar dari rumahku!"
Di balik sebuah pilar, Audry menatap Sheila dengan senyum kepuasan. Hasutannya kali ini berhasil.
Untung saja aku yang menjawab telepon dari pihak sekolah. Jadi aku bisa memanas-manasi ibu sebelum anak culun itu pulang. batin Audry.
"Tunggu apa lagi? Cepat keluar!" bentak ibu.
"Aku memang mau pergi dari rumah ini! Lebih aku tinggal sendiri daripada tinggal di sini! Kalian hanyalah sekumpulan orang jahat."
"Apa katamu? Jadi kau sudah mulai melawan ya?"
Sheila terdiam. Tangannya terkepal. Ingin rasanya berteriak, namun ditahannya. Lebih baik segera pergi dari rumah itu, pikirnya. Ia melirik tajam pada sosok Audry yang berada di sudut sana, lalu bergegas menuju kamarnya. Ia segera mengemasi pakaiannya dan memasukkan ke dalam koper.
Ya, lebih baik aku pergi dari sini. Aku masih punya rumah. Aku akan tinggal di sana saja.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Mungkin ungkapan itulah yang cocok untuk si malang Sheila.
****
Sementara itu, di sebuah rumah sakit sedang terjadi kepanikan manakala seorang pemuda berseragam sekolah yang menjadi korban kecelakaan baru saja tiba di rumah sakit.
Beberapa petugas medis sedang memberikan pertolongan pertama pada korban kecelakaan dan beberapa lainnya sedang mencatat data tentang pemuda itu.
"Namanya siapa?" tanya seorang Dokter.
Salah seorang perawat terlihat sedang memeriksa identitas pemuda itu. "Namanya Rayhan Anggara, usia 22tahun. Di sini ada kartu mahasiswa."
Dokter itu terlihat terkejut, identitas yang ditemukan cukup berbeda dengan sosok pemuda yang menggunakan seragam sekolah itu.
"Tapi kenapa dia berpakaian layaknya anak SMA? Dan seragamnya menunjukkan dia siswa dari SMA Pelita." Sang dokter terlihat bingung.
"Entahlah, Dokter. Tapi wajahnya sama dengan yang ada di kartu ini. Lihat!" Perawat itu memperlihatkan foto dalam kartu identitas Rayhan.
"Benar juga."
Seorang perawat lainnya mencoba mencari nomor telepon kerabat pemuda itu dari ponsel yang ditemukan di dalam saku jaketnya. Dan menemukan puluhan panggilan tak terjawab di sana.
Wanita itu kemudian menghubungi nomor yang tertulis nama ayah itu.
_
_
_
_
Pak Arman sedang duduk di singgasananya, ketika ponselnya berdering. Pria itu segera meraih ponsel dan meletakkan di telinganya. Dan, benda pipih itupun terjatuh begitu saja ke lantai setelah menerima panggilan darurat itu.
"Rayhan... Bagaimana ini bisa terjadi," gumamnya.
Pak Arman masih duduk di sana, mencoba mengatur napasnya yang terasa berat. Kabar kecelakaan yang menimpa Rayhan membuat dadanya terasa sesak.
Tidak lama kemudian, seorang asistennya masuk ke ruangan itu. Melihat tuannya sedang terlihat begitu khawatir membuat sang asisten itu segera mendekat.
"Ada apa, Pak?"
"Joe... Rey, dia mengalami kecelakaan. Tolong antar aku ke rumah sakit."
Joe, sang asisten terlihat begitu terkejut. Pria itu langsung membantu tuannya berdiri dan segera mengantarnya ke rumah sakit.
Dengan langkah tergesa-gesa, Pak Arman segera menuju ruang IGD dimana anak lelakinya sedang ditangani akibat kecelakaan yang dialaminya.
Seorang dokter yang baru saja keluar dari ruang IGD segera menghampiri pria paruh baya yang sedang terlihat sangat khawatir itu.
"Dokter, bagaimana keadaan Rayhan Anggara?" Joe bertanya mewakili Pak Arman.
"Mari kita bicara di ruangan saya," ajak sang dokter.
****