NovelToon NovelToon
Keluarga Untuk Safina

Keluarga Untuk Safina

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Menikah Karena Anak / Ibu Tiri / Istri ideal
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: Windersone

Secara kebetulan aku bertemu dengan keluarga kecil itu, hadir sebagai seorang istri terutama ibu pengganti untuk anak pria itu yang berstatus duda saat menikahiku.

Sungguh berat ujiannya menghadapi mereka, bukan hanya satu, tapi empat. Namun, karena anak bungsunya yang paling menempel padaku, membuatku terpaksa bersabar. Mungkinkah aku akan mendapatkan cintanya mereka semua? Termasuk Ayah mereka?

Kami menikah tanpa cinta, hanya karena Delia, anak bungsu pria itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Windersone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bisakah Kamu Menjadi Ibunya?

🌻🌻🌻

Motor si tukang ojek berhenti di depan sebuah rumah sakit umum. Usai memberikan selembar uang pecahan lima puluh ribu, aku berlari memasuki pekarangan rumah sakit dan dikejar oleh tukang ojek itu sambil memanggilku dengan sapaan, “Mbak.”

Beberapa orang yang masih ada di rumah sakit memperhatikan kami.

“Iya, Pak?”

Sungguh memalukan, aku baru sadar kalau helm milik penumpang bapak itu masih terpasang di kepalaku. Kulepas helm itu sambil tersenyum cengengesan dan memberikannya, di mana mataku bermain memperhatikan sekeliling.

“Maaf, Pak. Saya lupa,” ucapku.

“Saya paham. Hati-hati,” balas Bapak itu yang memahami situasiku.

Ketika Bapak itu kembali ke motornya, perjalanan dengan keterburu-buruan itu masih berlanjut menuju gedung rumah sakit, berhenti sejenak di lobi untuk menemui resepsionis karena ingin menanyakan letak kamar orang yang ingin aku kunjungi. Jadi, keterburu-buruanku itu karena ingin mengunjungi seseorang.

“Kamar Mawar nomor 03 di lantai dua,” ucap perawat setelah aku menyebut nama orang yang aku tanyakan.

Siapakah? Nanti kalian tahu.

Kakiku lanjut berjalan menuju lift. Keluar dari lift, mataku melihat angka di depan pintu. Kumasuki kamar yang ada angka tiga di depan pintunya itu dan terdiam setelah menemuka keberadaan pria yang aku temui siang tadi, yang belum aku ketahui namanya itu tengah duduk di bangku besuk, di mana di atas ranjang terdapat Delia, anak yang memanggilku sebagai ibunya. Suara pintu yang aku sepertinya mengambil perhatiannya, mungkin sedikit kaget. Melihat wujudku tampak membuatnya sedikit tercengang kaget.

“Safina!” panggil seorang pria yang berdiri di sudut kanan kamar itu.

Sebenarnya kedatanganku ke rumah sakit ingin menjenguk anak Bella. Ibu dari anak itu mendesakku untuk datang ke rumah sakit dan aku tahu apa yang akan terjadi setelah berada di hadapannya nanti, semua kecemasan dan kekhawatiran terhadap kondisi anaknya yang saat ini tengah demam tinggi pasti akan dibagi denganku, menjadikanku kadang curhatnya. Namun, tidak disangka, aku akan bertemu dengan pria itu dan anaknya.

“Sini!” panggil pria itu, lagi.

Pria tersebut suami Bella yang juga teman dekatku. Pria itu tampak kesal dan bisa aku baca rasa kesal itu karena kicauan dari mulut sang istri yang terlalu cerewet. Wanita bermulut ember itu tengah menyalahkan sang suami karena gila kerja.

Aku menganggukkan kepala dan langkahku normal tidak seperti sebelumnya berjalan menuju ke arah mereka. Ternyata kamar itu bukan kamar VIP, itu kamar biasa di mana terdapat beberapa ranjang pasien di sana dan kebetulan penghuninya hanya mereka berdua, anak Bella dan anak pria itu.

“Fina …!” Bella berdiri dari bangku besuk dan memelukku, menangis seperti anak kecil. “Gara-gara es krim tadi siang, Tito demam,” ucap Bella seperti orang kekanak-kanakan.

“Jadi, kamu kasih Tito es krim? Tadi saat aku bertanya, kenapa berbohong? Salah sendiri malah menyalahkanku yang gila kerja. Aku kerja juga untuk memenuhi banyak tuntutanmu itu,” balas Raden, suaminya yang tadi menghubungiku.

Tangis Bella berhenti sejenak sambil melepaskan pelukan dariku, mungkin sadar telah keceplosan.

“Maaf,” ucap Bella dengan suara mendem.

“Sudah …! Kalian sudah punya anak, jangan bertingkah kekanak-kanakan. Sekarang kondisi Tito, bagaimana?” Ku perhatian anak usia tiga tahun yang terbaring dalam keadaan tidur di atas ranjang rumah sakit itu.

“Dokter sudah memberikannya obat. Keliatannya obatnya bereaksi,” jelas Raden.

Kutempelkan telapak tangan kanan di dahi bocah laki-laki itu dan aku bisa merasakan suhu tubuhnya yang memang panas, tetapi terlihat sudah berkeringat. Mungkin itu efek obat yang sudah berjalan.

“Ayah! Bagaimana kondisi Delia?” tanya seseorang yang terdengar dari sebelah dan membuatku melangkah mundur, melihat siapa orang yang bertanya. Tirai pembatas membuatku tidak bisa melihatnya secara langsung.

Gadis yang aku lihat di depan gerbang rumah pria itu berdiri di sana bersama remaja laki-laki yang juga aku lihat bersamanya tadi. Kemudian, ibu pria itu baru memasuki kamar bersama bocah laki-laki yang kesal kepasa adiknya itu. Wanita itu kebetulan menoleh ke sisi kanan, menemukan wujudku uang membuatnya berekspresi yang sama seperti aku menatap anaknya tadi.

Perlahan kakiku melangkah menghampiri mereka, mendekati keluarga kecil itu.

“Delia kenapa?” tanyaku sambil memandangi gadis kecil itu terbaring tampak lemah di atas ranjang sambil memanggil ibu yang membuatku tiba-tiba merasa bersalah.

“Sejak kamu pergi, Delia begini. Dokter bilang tifus,” terang wanita itu.

Cukup mengangetkan. Tidak disangka akan berakhir seperti ini.

Kudekati gadis itu dan membelai rambutnya. Tingkahku malah membuatnya membuka mata, membuat gadis itu bereaksi cepat duduk dari posisinya dan memelukku dan di situ aku bisa merasakan kelemahan tubuhnya.

“Ibu,” panggil gadis itu sambil menangis.

Wajah mereka yang ada di dekatku aku perhatikan, bisa aku baca setiap ekspresi yang tergambar dari wajah mereka. Mulai dari ayah anak itu yang diam tertunduk dalam beban pikirannya.

“Ini demi Delia, bisakah kamu menjadi ibunya?” tanya pria itu sambil mendongak pandangan ke arahku.

Ekspresi itu terlihat tampak dirinya terpaksa mengutarakan kalimat itu dengan raut wajah berharap juga tergambar. Ekspresi sedih juga ada, khawatir, cemas, tampak semua sudah tercampur yang aku rasa mengobrak-abrik perasaannya.

Pertanyaan itu benar-benar tidak bisa aku jawab. Jadi, aku hanya diam dan memperhatikan anak itu. Sebagai seorang guru bimbingan konseling, ilmu psikologi telah aku pelajari di bangku kuliah, perasaan pria itu bisa aku mengerti.

“Kamu mau menikah denganku demi anakku? Aku berjanji akan melakukan semua yang kamu perintahkan. Kamu mau uang tunjangan berapa setiap bulannya? Aku usahakan untuk mencarinya,” ucap pria itu yang tampak ragu.

“Ayah …!” panggil gadis yang tadi aku temui di depan gerbang rumahnya.

Ekspresi gadis itu menunjukkan rasa tidak suka, begitu juga dengan remaja laki-laki yang berdiri di sampingnya. Mereka mungkin keberatan dengan pernikahan itu. Dan, itu malah semakin membuatku jadi kacau setelah sempat sedikit mulai berpikir untuk menerima pernikahan itu. Sudah bisa kubayangkan kedepannya, pasti tidak akan nyaman berada di keluarga yang menerima keberadaanku hanya karena keterpaksaan, begitu juga sebaliknya.

“Diam,” tegur wanita usia lima puluhan itu kepada gadis tersebut.

Tunggu, gadis itu memanggilnya dengan sebutan ayah. Apakah gadis itu juga anak pria itu?

“Kakak benar, Nek,” tambah remaja laki-laki yang berdiri di samping gadis itu.

Kakak? Nenek? Mungkinkah remaja laki-laki itu juga anaknya? Bukan hanya dua anak, tapi empat anak? Melihat penampilan pria itu yang tampak masih mudah membuatku jadi penasaran dengan usianya. Mungkinkah pernikahan bersama mendiang istrinya terjadi ketika umurnya masih belasan tahun? Hal itu membuatku yakin untuk tidak menerima pernikahan itu. Namun ….

“Ibu …!”

Rengekan gadis itu kembali meruntuhkan perasaan yakinku karena kasihan.

“Kamu mau menikah sama duda?” bisik Bella yang tidak tahu sejak kapan sudah berdiri di sampingku. “Dia teman kerja Mas Raden, posisinya juga masih karyawan biasa.”

Di mana masa depan indah yang aku impikan selama ini jika aku menerima pernikahan itu? Bukankah aku malah menggiring diriku ke dalam jurang kegelapan?

“Ibu, jangan tinggalkan aku.”

Gadis kecil itu kembali menarik tekadku untuk tidak menerima lamaran tersebut. Hati ini entah mengapa begitu lemah menghadapinya.

1
Darni Jambi
bagus,mendidik
Ig: Mywindersone: Terima kasih.
🥰🥰
total 1 replies
LISA
ya nih penasaran jg..koq bisa yg menculik itu mengkambinghitamkan Fina..pdhl Fina yg sudah menolong Shani..
LISA
Moga dgn kejadian itu Shani sadar dan tidak memusuhi Fina lg jg mau menerima Fina sebagai Mamanya
Darni Jambi
upnya yg rutin kak,
Darni Jambi
kok ngak up2 to mbk ditungguin, bagus critanya
LISA
Ya nih Kak
LISA
Pasti ibunya anak²
LISA
Ya Kak..Fina bijak bgt..salut deh sama Fina..istri yg pengertian
LISA
Pasti ke rmhnya Delia
LISA
Aq mampir Kak
Rina Nurvitasari
semangat terus thor
Rina Nurvitasari
mampir dulu thor semoga ceritanya menarik dan bikin penasaran...

semangat terus rhor💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!