Demi kehidupan keluarganya yang layak, Vania menerima permintaan sang Ayah untuk bersedia menikah dengan putra dari bosnya.
David, pria matang berusia 32 tahun terpaksa menyetujui permintaan sang Ibunda untuk menikah kedua kalinya dengan wanita pilihan Ibunda-Larissa.
Tak ada sedikit cinta dari David untuk Vania. Hingga suatu saat Vania mengetahui fakta mengejutkan dan mengancam rumah tangga mereka berdua. Dan disaat bersamaan, David juga mengetahui kebenaran yang membuatnya sakit hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PutrieRose, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17 KEANEHAN 2
"Ayah gak masuk dulu?" tanya Vania saat tiba di rumah milik David. Temmy tak ikut turun, saat ia sudah berada di luar mobil.
"Ayah harus segera berangkat. Tuan Marshel sudah menunggu. Jaga diri baik-baik, Nak," ucapnya dan berlalu pergi.
"Nyonya ....." Rara dan Andin tiba-tiba datang dengan hebohnya. Wajah mereka terlihat berseri-seri.
Vania menatap mereka bergantian. "Kemana saja kalian? Katanya ditugaskan untuk menemani aku, menjaga aku dan melindungi aku. Tapi nyatanya kalian menghilang beberapa hari kemarin," cerocosnya.
"Maaf, Nyonya. Kami hanya seorang pelayan biasa. Kami bekerja juga sesuai perintah dari majikan. Kami—"
"Oh, jadi aku bukan majikan kalian?" Vania jalan dengan sengaja menabrak keduanya dengan tatapan sinis. Harinya sudah melelahkan dan juga menyebalkan.
"Aku lelah seperti boneka!" jeritnya dalam hati.
Sudah dipaksa menikah dengan laki-laki yang belum ia kenal. Hidup di dalam sangkar emas tapi tidak boleh keluar. Tidak bisa menikmati bulan madu. Memergoki suaminya yang disinyalir memiliki wanita lain.
"Arrrrgggghhhhhhh!" Vania mengerang, ia benar-benar lelah.
"Nyonya, maafkan kami." Andin dan Rara tiba-tiba bersujud. Mereka duduk di lantai dengan wajah bersalahnya.
Ia menatap kedua pelayan tersebut yang sebenarnya sudah dianggapnya sebagai teman. Tapi entah apa yang terjadi, kenapa tiba-tiba mereka kemarin menghilang disaat ia sedang dikurung di kamar mewah ini. Ia jadi curiga akan sesuatu.
"Siapa yang menyuruh kalian kemarin pergi dari sini? Tuan David? Papa Marshel? Mama Rissa?"
"Tidak tahu, Nyonya. Kami hanya dapat perintah lewat pesan. Nomernya pun tidak kami simpan, karna memang seperti itu peraturan di sini. Kami hanya menerima pesan dan menjalankan perintah."
"Aneh! Memang aneh! Di sini memang aneh!" Vania berjalan mondar-mandir. Ia harus memecahkan teka-teki soal keanehan di sini.
Jendela yang semula dipalang menggunakan kayu, kini sudah bersih. Jendelanya kembali seperti semula. Saat ia mengecek, tak ada yang berubah dari jendela tersebut. Masih utuh dan tak ada yang diganti.
Ia ingin menanyakan pada Andin dan Rara tapi tak jadi. Percuma, ia pasti tak menerima sebuah jawaban.
"Nyonya, Anda mau makan apa? Atau ingin apa? Nanti kami buatkan."
Vania hanya menggelengkan kepala. Ia malah menyuruh mereka untuk keluar dari kamarnya.
"Aku lelah, aku ingin beristirahat," usirnya dan lekas menutup pintu.
"Tak ada yang bisa aku percaya di sini! Semuanya aneh!"
***
Pantulan cermin besar menampakkan wajah tuanya. Kulitnya yang dulu sehalus kain mahal, kini tampak ada beberapa kerutan. Tubuhnya juga sering ringkih dan gampang lelah.
"Sudah lama aku gak ke salon dan spa. Boleh juga kesana dengan Vania," ucapnya saat muncul ide cemerlang tersebut.
Tas mewah yang bermerk menjadi andalannya. Di lemari kaca miliknya, terdapat jejeran tas mahal koleksinya.
Sepatu hak tinggi juga masih menjadi favoritnya. Suara heels yang terdengar sangat menggema. Hak tingginya berpadu pada lantai keramik berwarna putih.
"Nyonya cantik sekali. Mau kemana Anda?" tanya seorang pelayan senior yang sudah lama tak melihat Larissa dandan seperti ini.
"Aku mau pergi dengan menantu cantikku. Aku belum pernah mengajaknya pergi bersama," jawabnya.
.
.
Mereka sudah janjian disebuah tempat. Vania ternyata datang lebih dulu.
"Sayang, maaf menunggu lama." Ia memeluk menantunya dengan erat.
Vania merasa takjub dengan penampilan Larissa. Ternyata ibu mertuanya tidak ketinggalan fashion yang sedang trend.
"Kemarin kamu kan sudah bersenang-senang dengan David. Hari ini boleh dong bersenang-senang dengan Mama?" Larissa mencubit hidungnya pelan dan mengajaknya masuk ke sebuah tempat kecantikan. Di dalamnya sudah lengkap ada salon dan juga spa. Mereka ingin merubah penampilan dan juga merilekskan tubuh lalu pikiran.
"Kita potong rambut dulu ya. Rambut kamu sudah bagus hanya dirapikan sedikit saja." Vania memiliki rambut yang hitam pekat dan panjang. Model rambutnya yang hanya lurus saja sudah membuat wajahnya terlihat cantik dan lebih muda.
"Sayang, kamu memiliki ini?" tanya Larissa saat tak sengaja melihat liontin kalungnya. Ia merasa terkejut karna melihat liontin yang berbentuk anting itu.
"Ini anting aku saat masih bayi, Ma. Ibu memberikan ini kemarin saat aku menginap di rumah. Lalu aku jadiin liontin saja. Katanya ibu mendapatkannya susah sekali dan ini sangat berharga."
"Wow." Entah kenapa ekspresi wajah Larissa seperti itu. Ia terheran-heran dan merasa takjub.
"Kenapa, Ma?" tanya Vania.
"Tidak apa-apa, Sayang. Mama boleh ambil foto antingnya? Mama tertarik dengan modelnya. Barangkali di toko perhiasan langganan Mama ada yang jual mirip-mirip seperti ini."
Vania dengan senang hati mengangguk dan memperbolehkan ibu mertuanya untuk memotretnya.
"Ah tidak mungkin. Apa itu hanya barang tiruan?"
Mereka menghabiskan waktu berdua hingga sore menjelang. Tak terasa sudah berjam-jam mereka di sini.
"Vania sayang, hati-hati ya di jalan. Sampai berjumpa lagi nanti."
Mama Larissa begitu baik dengannya. Beliau seperti menganggap Vania seperti anaknya sendiri. Perlakuan Mama Larissa membuat Vania jatuh hati. Ia tak mungkin ingin kehilangan sosok ibu mertua sepertinya.
Sesampainya di rumah, suasana terasa sepi. Ia menuju ruang makan dan meminta segelas air dingin pada pelayannya.
"Nyonya, tuan David sudah pulang."
Ia terperangah, saat seorang pelayan memberitahu bahwa David sudah kembali.
Keduanya saling berpapasan. Kedua netra saling bertemu. Tapi Vania langsung melihat pada jari manis suaminya.
"Cincinnya tidak ada? Dia tidak memakai cincin apa pun."
Jari jemarinya kosong tak memakai apa pun. Belum sempat ia berbicara, David sudah melangkah pergi. Vania mengikutinya dari belakang.
"Di sini kamar kamu?" David berhenti, ia memandang ke belakang.
"Kenapa?" tanyanya.
"Tidak. Aku hanya bertanya, di sini kamar kamu?"
"Iya, kenapa? Ini rumahku. Aku bebas ingin tidur di kamar yang mana saja," jawabnya dengan angkuh.
Rasa penasaran Vania semakin besar, waktu itu ia tidak diizinkan masuk ke dalam kamar yang berada di lantai dua dengan alasan tak masuk akal. Dan ia masih ingat saat ia tiba-tiba tak sadarkan diri. Mulai dari situ ia benar-benar merasa aneh di sini.
"Aaaaaaaaa .........." Ia berteriak dan seketika berlari kencang menabrak tubuh suaminya dan mencoba masuk ke dalam kamar.
DUG.
Ternyata pintunya dikunci. Kakinya sampai membentur pintu sangat keras karna saat membuka knop pintu tak ada reaksi apa pun.
"Sial," gerutunya.
David malah tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Vania yang kocak.
"Aduh, perutku sakit," ucapnya karna tak bisa berhenti tertawa. "Kamu mau masuk?" David perlahan berjalan mendekat. Satu langkah demi langkah, jarak mereka semakin dekat.
KLEK.
David membuka pintu kamarnya tapi Vania masih berdiam diri di depan pintu. Wajahnya mendadak panik saat David mendekatkan wajahnya pada Vania. Hingga jarak wajah mereka hanya berjarak beberapa centi. Hembusan nafas David pun menerpa pada pipinya, membuat bulunya merinding.
"Kamu ingin menghabiskan malam mu di kamarku?" bisik David tepat di daun telinganya.