Keluarga Untuk Safina
🌻🌻🌻
Pernah terpikir menikah dengan seorang duda ketika diri belum pernah menikah sebelumnya, alias perawan? Sungguh diluar ekspektasi, pria lajang yang tampan dengan perekonomian mapan yang didambakan dan ditunggu-tunggu malah tidak didapatkan meskipun sudah menjaga dan berusaha mempercantik diri luar juga dalam selama ini. Nyatanya, Tuhan menuliskan cerita ekstrim dalam kisahku karena dinikahi oleh seorang duda.
Bukan duda biasa, pria usia 35 tahun itu memiliki anak. Tidak cukup satu, tapi empat anak dengan jarak usia mereka beberapa tahun saja.
Mengapa aku setuju dinikahi olehnya? Mungkinkah karena tampan dan kaya raya?
Benar, pria itu cukup tampan, tubuhnya masih tampak bagus, keren. Tetapi, perekonomian tidak sekaya itu. Namun, bisa dibilang sudah cukup untuk menghidupi keluarganya tanpa ada kekurangan, bisa digolongkan sederhana, tidak kaya dan tidak miskin.
Pertanyaan belum terjawab. Mengapa aku mau dinikahi olehnya?
Bukan karena tampan, karena anak bungsunya. Gadis kecil itu menempel seperti magnet sejak kami bertemu pertama kalinya di sebuah wahana trampolin di salah satu mall. Semua berawal dari ….
***
DUA MINGGU LALU ….
Seorang gadis kecil usia lima tahun berlari ke arahku yang kebetulan melewati area trampolin karena ingin menemui sahabatku yang anaknya tengah bermain di wahana yang sama. Gadis kecil berambut sebahu itu memelukku, memanggilku dengan sebutan “Ibu.”
Beberapa orang memperhatikan kami, tetapi dengan ekspresi biasa saja. Mungkin mereka mengira aku adalah ibu anak itu.
“Ibu …!” panggilnya dengan rengekan, menyedihkan untuk dilihat yang menarik ekspresi wajah prihatin tergambar di wajahku.
Tubuhku merendah, berusaha menghibur agar tangisnya berhenti. Kemudian, mempertanyakan keberadaan kedua orang tuanya, teurtama ibu yang mungkin tengah dicari-cari olehnya. Namun, gadis manis itu diam dan kembali memelukku sambil memanggilku dengan sebutan itu berkali-kali.
“Delia!” panggil bocah laki-laki yang berdiri di tepi trampolin.
Bocah laki-laki itu tampak jauh lebih tua dari gadis itu. Bocah itu dalam seragam olahraga sekolah dasar itu berlari menghampiri kami, menarik gadis kecil itu dariku yang tidak mau lepas.
“Bukan Ibu. Dia bukan Ibu,” ucap bocah laki-laki itu dengan ekspresi tampak kesal karena tidak mau meninggalkanku.
Cara bocah laki-laki itu bersikap dan berbicara, mungkin mereka adik-kakak, begitulah dugaan awalku. Rasa iba muncul di jiwaku saat melihat sikap gadis kecil itu.
“Dek …!” panggilku sambil berdiri.
Karena usiaku masih 23 tahun membuatku merasa belum cocok dipanggil Tante oleh mereka, apalagi aku belum menikah. “Kakak bukan ibumu. Lihat baik-baik. Tidak sama seperti ibumu, kan?” Gadis kecil itu hanya diam mencibir dalam tangisnya.
“Hmm … orang tua kalian di mana? Ibu kalian di mana? Biar Kakak antar kalian bertemu mereka.” Aku bertanya kepada kakak gadis kecil itu.
“Kami tidak punya Ibu,” ketus bocah laki-laki itu, berbicara dengan nada terdengar tidak sopan di telingaku. “Kita cari Ayah. Ayo!” Bocah itu menarik tangan gadis kecil itu yang tidak berhasil diajaknya sejak tadi, pelukan gadis itu erat di tubuhku. “Delia!” bentak bocah laki-laki itu sampai adiknya menangis.
Beberapa orang memperhatikan kami, kali ini sorot mata mereka sedikit dalam tidak seperti sebelumnya yang tampak abai. Kurendahkan kembali tubuhku, membujuk gadis kecil itu untuk menghentikan tangisnya dengan kata-kata yang akhirnya membuatku bisa membawanya keluar dari mall, mengikuti bocah laki-laki tadi yang memanduku setelah menyebutkan keberadaan ayah mereka. Sebelumnya aku bertanya kepada bocah laki-laki itu mengenai keberadaan ayah mereka.
Bocah laki-laki itu berhenti di samping sebuah mobil hitam yang lumayan bagus dari bagian luar. Namun, itu pengeluaran mobil mode lama yang tampak selalu dirawat baik.
“Di mana Ayah kalian?” Hanya kekosongan yang aku temukan di mobil itu.
“Delia! Devan!” panggil seorang pria yang membuat kami menoleh ke belakang, menemukan wujud seorang pria dalam setelan kemeja biru dengan celana hitam panjang berlari kecil ke arah kami, tampak cemas.
Pria itu memeluk kedua anak itu. Wajah cemas takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kepada kedua anak itu tergambar jelas. Penilaian pertamaku dari pria itu cukup baik, sepertinya sifat penyayangnya kepada anak-anak itu cukup besar.
“Ayah sudah menyuruh kalian menunggu Ayah di sana, kenapa ke sini?” tanya pria itu.
“Maaf,” ucapku, mengalihkan perhatian pria itu dari kedua anaknya. “Tadi gadis cantik ini salah mengira saya ibunya. Jadi, saya bertanya kepada mereka mengenai orang tua mereka dan bocah ini bilang ayahnya ada di luar, jadi saya membawa mereka keluar,” terangku dengan senyuman.
“Begitu. Terima kasih,” ucapnya.
“Kalau begitu, saya pamit dulu.” Kepala aku anggukkan, lalu melanjutkan tujuan memasuki mall untuk bertemu sahabatku.
“Ibu …!” Gadis kecil itu mengejarku, memelukku dari belakang sampai langkahku terhenti di pintu mall.
“Delia …!”
Ayah anak itu menghampiri kami, berusaha menarik gadis kecil itu yang tidak mau lekang dari tubuhku sampai menangis tidak ingin berpisah dariku. Pria bertubuh tinggi dan putih itu berusaha membujuk dengan berbagai tawaran dari mainan sampai makanan favoritnya, tetapi hasilnya nihil. Gadis itu beranjak ke hadapanku, memintaku menggendongnya dan aku terpaksa mengikutinya karena merasa tidak nyaman dengan lingkungan sekitar di mana beberapa orang memperhatikan kami.
Kubawa anak itu keluar dari mall, berusaha membujuk untuk diam sambil menyeka air mata di pipinya dengan tangan kanan karena tangan kiri menggendongnya.
“Sudah … jangan menangis. Cantiknya jadi hilang,” ucapku sambil tersenyum.
“Dia bukan Ibu! Ibu sudah di surga,” ucap bocah laki-laki yang terlihat tidak suka dengan sikap gadis kecil itu sejak tadi.
Surga, berarti ibu mereka sudah meninggal. Cukup menaruh rasa iba di jiwaku mengetahui hal itu sampai gadis kecil ini bersedih. Mungkin kerinduan yang membuatnya sampai mengira aku adalah ibunya.
“Maaf,” ucap ayahnya sambil mengambil gadis bernam Delia itu dari gendonganku.
Delia masih saja tidak mau memisahkan dirinya dariku, gadis itu memeluk dengan kedua tangan menyilang di leherku. Kembali pria itu membujuk, begitu banyak tawaran yang dilontarkan sampai akhirnya ia berada di puncak kemarahan.
“Delia!” Gadis itu dibentak sampai membuatku kaget.
Volume tangis gadis itu bertambah.
“Jangan membentaknya. Itu tidak baik untuk mentalnya,” ucapku sambil mengelus punggung gadis itu.
Pria itu menarik napas dalam dan berusaha menenangkan perasaannya. Kemudian, pria itu menunjukkan senyuman ringan dan kembali membujuk.
“Kita kembali ke rumah, ya … Nenek pasti sudah menunggu kita. Nenek pasti sudah memasak banyak makanan kesukaan Delia,” ucap pria itu dengan lembut.
“Ibu juga ke rumah,” balas gadis itu.
Kembali pria itu menghela napas sambil memutar badan membelakangi keberadaan kami dengan kedua tangan berada di pinggangnya. Mungkin rasa bingung singgah di benaknya, bagaimana lagi cara untuk menghadapi kebingalan putrinya itu. Itu cukup membuatku merasa kasihan pada pria itu.
“Iya,” ucapku.
Pria itu memutar badan ke belakang dengan raut wajah kaget. Aku anggukkan kepala dengan menunjukkan gerakan mata, memberikan kode kepadanya agar menyetujui sesaat keinginan Delia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
LISA
Aq mampir Kak
2024-08-31
1
Rina Nurvitasari
mampir dulu thor semoga ceritanya menarik dan bikin penasaran...
semangat terus rhor💪
2024-08-22
2