NovelToon NovelToon
Istri Yang Tak Di Anggap

Istri Yang Tak Di Anggap

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:7.3k
Nilai: 5
Nama Author: laras noviyanti

Candra seorang istri yang penurunan tapi selama menjalani pernikahannya dengan Arman.

Tak sekali pun Arman menganggap nya ada, Bahkan Candra mengetahui jika Arman tak pernah mencintainya.

Lalu untuk apa Arman menikahinya ..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon laras noviyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch 3

Candra berdiri di depan cermin, tangan terlipat di dada. Wajahnya memantulkan keraguan, tapi matanya bersinar dengan tekad. Di luar, angin berhembus kencang, seolah mengantarkan pesannya.

"Arman!" panggilnya, suaranya tegas, memecah keheningan di rumah kecil mereka.

Arman, yang tengah asyik menatap layar ponsel, mengalihkan pandangannya. "Ada apa?"

Candra memutar tubuhnya dan menatap suaminya. "Kita perlu bicara."

"Selalu ada yang perlu dibicarakan," jawab Arman dengan nada sinis, kembali tersekap dalam dunia digitalnya.

"Ini penting!" Candra menarik napas, berusaha mengontrol emosi. "Aku merasa seperti hantu di rumah ini."

Arman menghentikan sesaat, menatapnya dengan separuh perhatian. "Hantu? Apa yang kau maksud?"

Candra menggigit bibir, berusaha menahan rasa kecewa. "Kau tak pernah menganggapku. Aku di sini, hidup bersamamu, tapi kau seperti tidak melihat kehadiranku."

Arman terdiam, dan mata Candra mencari jawaban dalam ekspresi wajahnya. Tidak ada yang muncul.

“Kau tidak mengerti.” Arman berdiri, merapatkan tubuhnya. “Kita sudah menikah. Kita menjalani hidup yang baik.”

“Bagaimana bisa baik jika aku tidak merasa dicintai?” Candra melangkah mendekat, menantang Arman dengan tatapan tajam.

Dia tertegun, seolah mendengar kata-kata itu untuk pertama kalinya. “Aku melakukan segalanya untuk kita. Aku bekerja keras, bukan itu yang seharusnya kau syukuri?”

“Bekerja keras? Untuk siapa? Untuk apa? Jika kau hanya menganggapku sebagai pelengkap hidupmu!”

Candra merasakan detak jantungnya berdegup kencang. Dia melanjutkan, “Aku sudah tidak tahan, Arman. Aku ingin kita bicara serius.”

Arman mendengus, menyandarkan punggungnya di dinding. "Serius? Tunggu, Candra. Apa ini tentang perceraian?"

Candra terdiam sejenak. “Aku ingin bercerai.”

Raut wajah Arman berubah. “Apa? Kau bercanda, kan?”

“Tidak. Aku tidak bercanda. Aku sudah memikirkannya lama. Kita tidak cocok. Aku tidak bahagia.”

Arman menggaruk kepalanya, terkejut. “Jadi, semua ini hanya karena perasaanmu? Cuma itu?”

“Perasaanku? Ini bukan hanya perasaanku! Ini tentang kita. Tentang hidup yang kita jalani.”

“Tetapi kita bisa memperbaiki ini,” Arman mencoba bertahan.

“Perbaiki? Bagaimana caranya? Setiap kali aku meminta perhatianmu, kau hanya mengabaikanku,” Candra menepis harapan yang mulai menyusut.

“Kau harus tahu, aku tidak mengabaikanmu. Aku hanya sibuk.” Arman menambahkan nada defensif.

“Sibuk? Itu alasan yang buruk, Arman! Aku butuh cinta, butuh perhatian! Siapa yang akan memberikannya jika bukan suamiku?”

“Semua orang di luar sana juga sibuk,” jawab Arman, suara mulai meninggi. “Kami tidak mungkin selalu bersama.”

“Apakah itu alasan untuk mengabaikan pernikahan kita?” Candra menatapnya, rasa sakit di dadanya semakin dalam.

Arman menghela napas berat. “Apa kau yakin mau mengambil langkah ini? Cerai berarti mengakhiri segalanya.”

“Tidak mungkin ada yang baik dalam pernikahan yang penuh dengan ketidakpastian seperti ini,” kata Candra, meraih tangan Arman.

Dia mencabut tangannya. “Candra, kita sudah di sini. Kita harus memikirkan kembali.”

“Berpikir. Selama ini aku berpikir. Dan aku rasa ini keputusan terbaik.” Candra merasa beban yang menimpanya mulai ringan.

“Jika kau pergi, apa yang akan kau lakukan?” Suara Arman terdengar rapuh.

“Aku akan memulai hidupku sendiri. Tanpa beban. Tanpa mengandalkan siapa pun.” Candra menjawab dengan tegas, menyusuri jalur keinginannya.

Arman terperangah. “Kau benar-benar yakin dengan keputusan ini?”

“Ya. Ini bukan langkah yang mudah, tapi aku rasa ini yang terbaik. Bagaimana aku bisa bertahan dalam hubungan ini jika aku merasa sendirian?”

Insting Arman mencoba mengatur kata-katanya. “Candra, kita bisa mencoba memberi satu sama lain lebih banyak. Kita bisa…”

“Cukup! Aku sudah tidak ingin mendengar kata 'kita' jika itu hanya untuk menyakiti diri sendiri lebih jauh. Aku ingin mencintai dan dicintai dengan tulus.”

“Ini semua terasa terlalu cepat,” keluh Arman, suaranya serak.

“Semua terasa lambat untukku, Arman. Ketika harapanku sirna, aku sudah siap merelakan.”

Arman terdiam, berpikir sejenak. “Dan jika semua ini salah? Bagaimana jika kau menyesal?”

“Jika aku menyesal, itu adalah konsekuensiku sendiri. Tapi selamanya terjebak dalam ketidakbahagiaan? Itu jauh lebih menakutkan.”

Arman melangkah pergi, menghampiri jendela. Tangan Candra gemetar.

“Aku tidak tahu harus berkata apa lagi,” ia akhirnya berucap dengan nada hampa.

Candra mengangguk, hatinya berdebar cepat. “Aku tidak butuh jawaban saat ini. Yang aku mau hanya kejelasan.”

Arman menjauh dari jendela, berjalan kembali ke arah Candra. “Kapan kau berencana melakukannya?”

“Saat sudah siap. Dalam waktu dekat.”

Nafas Arman seolah tertahan. “Kau jangan terburu-buru. Ini tentang masa depanmu.”

“Masa depanku bersamamu terasa tak ada,” Candra balas tegas.

“Jadi, ini selesai?” Arman tanya, tiap kata seakan terlepas berat.

“Ya. Cukup sampai di sini.”

Arman merunduk, wajahnya memucat. “Carilah waktu untuk berpikir kembali. Ini bukanlah permainan.”

“Aku bukan main-main, Arman. Aku lelah.”

Suara langkahnya menggema saat Candra beranjak menjauh. Kakinya terasa berat, tetapi ia tahu, keputusan ini adalah untuk hidup yang lebih baik.

Dari arah belakang, suara Arman terdengar perlahan. “Kau pasti tidak ingin semua ini berakhir gini.”

Candra berhenti, tanpa menoleh. “Seharusnya, kita tidak pernah memulai jika ini yang akan datang.”

Dengan langkah pasti, Candra melanjutkan perjalanan hidupnya, meninggalkan bayang-bayang yang pernah mengikatnya. Suara jendela yang tertutup melukiskan akhir dari sebuah kisah yang tak pernah sama.

Kaki Candra membawanya keluar dari rumah. Setiap langkah bergetar di hatinya, tetapi satu perasaan kuat menyelimuti pikiran: pembebasan. Dia berjalan menyusuri jalan setapak, imajinasinya melayang jauh, jauh dari pernikahan yang penuh penantian dan kesedihan.

Di taman dekat rumah, angin dingin menyapa wajahnya. Candra berhenti sejenak, menghirup udara segar yang terasa menenangkan. Dia menatap daun-daun yang berguguran, mengingat momen-momen kecil di antara mereka yang sering merasa absen.

“Candra!” suara mantan teman sekaligus tetangga, Dira, memanggilnya. Wajah cerah Dira menghadirkan sedikit kebahagiaan dalam hati yang panas ini.

“Dira,” ia menyapa, paksaan senyuman menghias bibirnya.

“Kenapa tampak murung? Ada masalah?” Dira memperhatikan wajah Candra dengan seksama.

“Tidak, semua baik-baik saja,” jawabnya, namun suara itu terasa berat.

Dira terdiam, meneliti mata Candra. “Kau tahu, kadang kita harus berani mengambil keputusan yang sulit untuk diri sendiri.”

Candra menelan kata-kata itu, meresapi pemahaman yang mendalam. “Aku baru saja membuat keputusan yang... sulit.”

“Seperti apa?” Dira bertanya, antusias.

“Aku memutuskan untuk bercerai.” Dalam sekejap, bisikan angin menampung keputusannya.

Dira menatapnya lekat, terkejut. “Serius? Kenapa?”

Candra menghela napas, seolah menarik kembali semua beban yang terasa lebih ringan. “Aku sudah merasa sendirian terakhir ini. Arman tidak pernah menganggapku.”

“Kadang itu bukan salah kita,” Dira menjawab. “Tapi, apakah kau sudah berpikir matang?”

“Pikiranku sudah matang. Rasanya, aku tak akan menemukan kebahagiaan di situ,” ungkap Candra, dengan bimbang menyisakan secercah harapan.

Dira mendekat, memegang bahunya. “Jika ini yang kau rasa benar, aku akan mendukungmu. Kau pantas untuk bahagia.”

Candra tersenyum tipis. “Terima kasih, Dira. Ini bukan keputusan yang mudah, tetapi aku merasa lepas,” ia menghela napas, merasakan kelegaan.

Perbincangan di antara mereka terhenti sejenak, suara burung-burung menyanyikan lagu ceria. Dira menyenggol Candra dengan riang, “Ayo kita makan sesuatu. Ini akan mengalihkan pikiranmu.”

Candra mengangguk pelan, meski hatinya masih bergetar oleh keputusan yang baru ia ambil.

“Jadi, ke mana kita pergi?” tanya Candra, sedikit bersemangat.

“Tukang sate di pojok jalan. Sate mereka juara!” Dira berkata sambil melangkah, menarik Candra bersamanya.

Sepanjang jalan, Dira bercerita tentang kesibukannya yang baru.

“Kau tahu, kerja di kantor baru ini bikin aku lebih produktif. Banyak proyek menarik,” ujar Dira, senyumnya tak pernah pudar.

Candra hanya mengangguk, terdengar seperti melontarkan jawaban otomatis.

“Eh, jangan hanya focus di pernikahanmu!” tambah Dira, mengulurkan tangan untuk menepuk bahu Candra. “Hidup ini butuh keseimbangan.”

Kedua wanita itu sampai di warung sate, aroma bumbu rempah menggugah selera. Mereka memesan penyetan sate yang menggiurkan serta sepiring nasi hangat.

“Kau rasa, kau sudah siap untuk semua perubahan ini?” Dira bertanya

"Ya aku siap" jawab Candra.

...----------------...

1
murni l.toruan
Rumah tangga itu saling komunikasi dua arah, agar tidak ada kesalah pahaman. Kalau hanya nyaman berdiam diri, itu mah patung bergerak alias robot
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!