Menjadi pedagang antar dua dunia? Apakah itu memungkinkan?
Setelah kepergian kakeknya, Sagara mewarisi sebuah rumah mewah tiga lantai yang dikelilingi halaman luas. Awalnya, Sagara berencana menjual rumah itu agar dapat membeli tempat tinggal yang lebih kecil dan memanfaatkan sisa uangnya untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, saat seorang calon pembeli datang, Sagara tiba-tiba mengurungkan niatnya. Sebab, dia telah menemukan sesuatu yang mengejutkan di belakang rumah tersebut, sesuatu yang mengubah pandangannya sepenuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kata Pandu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 35 : Sulit Untuk Melupakan
Kereta kuda melaju perlahan di jalan berbatu yang mulai terasa dingin oleh embun malam. Langit masih pekat, hanya bulan yang samar memancar di balik awan. Sagara duduk di dalam kereta, bersandar di dindingnya dengan mata setengah terpejam, tubuhnya terasa pegal. Sementara Fransiskus dan Diego, serta Maho duduk diam di posisi mereka masing-masing, tak ada yang berani membuka percakapan. Pikiran Sagara begitu kusut setelah malam panjang di pesta dansa, namun ia terlalu lelah untuk membahas apa yang terjadi. Setiap kenangan yang terlintas di benaknya seolah memukulnya bertubi-tubi, membuat kepalanya semakin berat.
Begitu kereta sampai di pelataran kediaman keluarga Morgans, Sagara turun perlahan, kakinya terasa berat menyentuh tanah dingin. Diego dan Fransiskus mengikuti di belakangnya dengan tenang, namun keduanya bisa merasakan aura suram yang menyelimuti tuannya. Tanpa banyak bicara, mereka berjalan melintasi halaman besar yang sunyi, menuju mansion yang megah.
Di depan pintu kamarnya, Sagara menghentikan langkahnya. Ia menoleh sekilas kepada Fransiskus dan Diego, lalu dengan suara rendah namun tegas, ia berkata, “Aku ingin sendiri malam ini. Kita bicarakan semuanya besok. Sekarang kalian beristirahatlah.”
Fransiskus mengangguk dalam diam, lalu memberi salam hormat. "Baik, Tuan. Selamat malam."
Diego hanya menunduk hormat sebelum keduanya berbalik, meninggalkan Sagara yang mulai membuka pintu kamarnya. Suara derak pintu terdengar menggema di lorong, seolah menjadi pertanda akhir dari malam panjang yang melelahkan.
Begitu pintu terkunci, Sagara menghela napas panjang. Tangannya dengan malas melepas pakaian yang melekat di tubuhnya. Kemeja mahal itu terlepas dari tubuhnya, jatuh ke lantai, diikuti dengan rompi dan ikat pinggangnya. Kini hanya tersisa pakaian dalam, tubuhnya seolah tak mampu lagi menahan beban hari itu. Ia berjalan pelan menuju ranjangnya yang luas dan nyaman. Kemudian dia naik dan tidur terlentang dengan perasaan nyaman. Matanya melirik sekilas pada langit-langit ruangan yang gelap, hanya diterangi sedikit oleh cahaya bulan yang menyelinap melalui jendela.
Sagara berusaha merilekskan pikirannya. Namun, seberapa pun ia mencoba mengalihkan pikirannya, bayangan kejadian di pesta tadi malam terus menghantuinya. Perkataan sang Pangeran Ketiga yang tajam dan menusuk, sikap dingin para tamu, dan terutama kehadiran Kate, wanita yang berhasil mencuri hatinya—semua itu berputar di kepalanya. Ia memejamkan mata, berharap rasa kantuk bisa segera meredam gelombang pikiran yang membuncah.
"Aku harus melupakan ini ... setidaknya untuk malam ini," gumamnya pelan. Ia menarik selimut, merasakan kehangatan yang sedikit menenangkan tubuhnya yang lelah. Perlahan-lahan, Sagara terlelap, tenggelam dalam tidurnya yang penuh gelisah.
Keesokan harinya, sinar matahari yang menembus tirai jendela membuat Sagara tersentak bangun. Tubuhnya terasa berat, seolah otot-ototnya menolak untuk bergerak. Matanya mengerjap melihat jam di dinding yang menunjukkan pukul delapan pagi. Kesiangan, pikirnya Sagara menghela napas, menyadari bahwa semalam ia tertidur terlalu pulas karena kelelahan, sehingga tidak menyadari waktu telah berjalan jauh meninggalkannya.
Setelah beberapa saat hanya duduk di tepi ranjang, Sagara akhirnya bangkit. Dengan langkah yang masih berat, ia berjalan menuju kamar mandi, melepas pakaian dalamnya, lalu memposisikan diri di bawah pancuran air. Saat air dingin mulai mengalir membasahi tubuhnya, sensasi segar perlahan meresap, mengurangi sedikit beban yang menekan tubuhnya. Namun, di balik kesegaran itu, pikirannya kembali mengembara pada kejadian malam sebelumnya. Pertemuan pertamanya dengan Kate. Wajahnya, senyumnya yang memikat, dan tatapan matanya yang seolah mampu menembus pertahanan hati Sagara, muncul begitu jelas di benaknya.
Saat Sagara membersihkan tubuhnya, mengusap-usap tubuhnya dengan kain bersamaan dengan air yang terus mengalir deras di punggungnya, tubuh bagian bawahnya tiba-tiba terasa menegang. Bayangan Kate yang begitu menggoda menghantamnya tanpa peringatan. Wanita itu—dengan gaunnya yang anggun dan langkah kakinya yang memikat di lantai dansa—telah menarik perhatiannya lebih dari yang ingin diakui. Sagara mengerutkan kening, berusaha mengusir bayangan tersebut, tetapi rasa hangat yang menjalar di tubuhnya justru membuatnya semakin sulit untuk melupakannya.
Sagara mengepalkan tangannya, membiarkan air dingin terus membasahi dirinya, seolah mencoba mendinginkan gelora panas yang tak terduga itu. Ia berusaha meyakinkan dirinya untuk berhenti memikirkan wanita itu. Kate adalah masa lalu, seseorang yang seharusnya tak lagi memengaruhi pikirannya. Namun kenyataannya, keberadaannya masih begitu kuat, terutama setelah dirinya meninggal kesan buruk di saat mereka berpisah. Membekas dan sulit terlupakan. Sagara merasakan ketidaknyamanan yang bercampur dengan kebingungan, mencoba meredakan detak jantungnya yang semakin tak teratur. Hasratnya sebagai seorang pria muda, sulit untuk ditekan olehnya, terlebih ini pertama kalinya Sagara merasakan jatuh cinta sebegitu dalamnya dengan seorang wanita.
Setelah beberapa saat berdiri diam, Sagara akhirnya menghela napas panjang. "Ah, sudahlah," desisnya pelan. Sagara pun memejamkan matanya dan berusaha menuntaskan hasratnya secepat mungkin. Kemudian ia menutup pancuran dan pergi mengeringkan tubuhnya, berusaha mengabaikan perasaan aneh yang muncul setiap kali mengingat Kate. Meski pikirannya terus mengembara, ia tahu ada hal-hal lain yang lebih mendesak untuk dipikirkan olehnya sekarang.
Sagara melangkah keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang bersih, tetapi pikirannya masih dihantui oleh bayangan yang sulit ia usir. Setelah mengeringkan diri, ia memilih pakaian dan mengenakannya perlahan. Di depan cermin, ia merapikan tali bajunya dengan teliti, tapi ketika melihat wajahnya sendiri yang terlihat pucat, Sagara malah tidak menyadarinya.
Saat Sagara tengah sibuk mempersiapkan diri, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu, memecah keheningan yang menyelimuti ruangan.
"Tuan, sarapan sudah siap," ucap Diego terdengar dari arah luar.
“Baiklah, aku akan segera ke sana,” balas Sagara pendek. Ia menarik napas panjang, lalu membuka pintu kamarnya. Diego berdiri di sana dengan postur tegap, siap mendampingi tuannya. Mereka berjalan bersama menuju ruang makan.
Saat Sagara memasuki ruang makan, matanya menangkap meja panjang yang telah dihiasi dengan hidangan yang tampak menggiurkan. Beberapa pelayan berdiri di sisi ruangan, menunggu dengan penuh hormat. Setelah ia mengambil posisi duduk, salah satu dari mereka segera maju untuk menuangkan minuman ke dalam gelas Sagara.
Para pelayan nampak sangat antusias menunggu tanggapan dari sang tuan. Mereka sudah berusaha maksimal dalam menyiapkannya bersama sang koki sejak dini pagi, berharap hidangannya dapat memuaskan sang tuan. Namun, meskipun hidangan di depan matanya tampak menggugah selera, Sagara memakannya dengan pelan, hampir tanpa ekspresi. Sangat berbanding terbalik dengan ekspektasi yang diharapkan oleh para pelayan. Rasa lelah dan pikiran yang berat membuat Sagara kehilangan nafsu makan. Para pelayan yang memperhatikan sang tuan dengan seksama merasa khawatir, namun mereka terlalu takut untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
Ketika Sagara selesai makan, Emma memberanikan diri untuk bertanya. “Tuan, apakah hidangan pagi ini kurang bisa dinikmati?” tanyanya lembut.
Sagara mengangkat pandangannya, mencoba tersenyum tipis. “Tidak, rasanya enak seperti biasanya ... aku hanya sedang tidak enak badan saja, tidak perlu terlalu dipikirkan.”
Emma mengerutkan kening, ekspresinya malah semakin khawatir. “Kalau begitu, apakah Tuan ingin saya memanggil dokter dari luar? Saya khawatir Tuan akan jatuh sakit.”
Sagara menggeleng pelan. “Tidak perlu, aku hanya merasa sedikit lelah. Hanya perlu istirahat sebentar, dan aku akan baik-baik saja.”
Setelah meneguk minumannya, Sagara bangkit dari kursi dan berjalan menuju halaman belakang, tempat biasa ia berlatih pedang. Diego mengikuti di belakangnya dengan setia, namun tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
“Tuan,” panggil Diego dengan suara lembut namun penuh perhatian, “Bagaimana jika Anda beristirahat saja hari ini? Tubuh Anda terlihat sangat lelah. Mungkin istirahat lebih baik daripada pergi latihan.”
Sagara menghentikan langkahnya sejenak, menoleh ke arah Diego. “Aku tahu kondisi tubuhku, Diego,” jawabnya tegas namun tidak keras. “Aku akan berhenti jika merasa tubuhku tak kuat lagi.”
Diego mengangguk pelan, tak ingin memperdebatkan keputusan tuannya. Keduanya pun tiba di tempat latihan, di mana Max dan Hendrikus sudah bersiap memimpin sesi latihan. Sagara mengambil pedang latihannya, mencoba memusatkan pikirannya. Namun, setelah hanya lima belas menit berlatih, tubuhnya mulai gemetar. Keringat dingin mengalir deras di tubuhnya, dan ia tahu bahwa tubuhnya benar-benar menolak untuk melanjutkan.
Sagara menyerah, menurunkan pedangnya dan menghela napas berat. Diego segera menghampirinya. “Tuan, mari kita kembali ke kamar. Anda butuh istirahat.”
Sagara mengangguk tanpa berkata apa-apa, rasa lelah dan pusing benar-benar menguasai dirinya. Dengan langkah gontai, ia kembali ke mansion, diiringi oleh Diego. Begitu tiba di kamarnya, Sagara langsung masuk dan menutup pintu. Diego berjaga di luar, waspada jika sang tuan membutuhkan sesuatu.
Setelah berendam air hangat sebentar untuk membersihkan tubuhnya yang penuh keringat, Sagara mengenakan pakaian ringan dan duduk di tepi ranjang. Kepalanya semakin berdenyut, dan tubuhnya menggigil. Ia tahu, penyakit ini akan mengganggunya lebih lama dari yang ia duga.
Dengan suara lemah, Sagara memanggil Diego. “Diego, panggilkan Fransiskus! Sepertinya ... aku benar-benar akan jatuh sakit.”
Diego yang mendengar suara Sagara dari tempatnya, segera bergerak, tak ingin membiarkan tuannya itu menderita lebih lama. Sagara terbaring di tempat tidurnya, menghela napas panjang. Semua rencana yang telah ia susun—terutama mengenai peresmian pembukaan kembali toko mewah keluarga Morgans di ibu kota—terpaksa dihentikan sementara karena kondisinya yang tiba-tiba memburuk. Sagara benar-benar tak menyangka bahwa dirinya akan jatuh sakit di situasi penting seperti sekarang ini.