"Papa tidak setuju jika kamu menikah dengannya Lea! Usianya saja berbeda jauh denganmu, lagipula, orang macam apa dia tidak jelas bobot bebetnya."
"Lea dan paman Saga saling mencintai Pa... Dia yang selama ini ada untuk Lea, sedangkan Papa dan Mama, kemana selama ini?."
Jatuh cinta berbeda usia? Siapa takut!!!
Tidak ada yang tau tentang siapa yang akan menjadi jodoh seseorang, dimana akan bertemu, dalam situasi apa dan bagaimanapun caranya.
Semua sudah di tentukan oleh sang pemilik takdir yang sudah di gariskan jauh sebelum manusia di lahirkan.
Ikuti ceritanya yuk di novel yang berjudul,
I Love You, Paman
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 3 - Azalea & Saga
Di dalam mobil, Lea perlahan mulai siuman. Matanya yang besar dan lemah terbuka, lalu ia melihat ke sekitar dengan bingung. "Mama... Papa...," gumamnya pelan dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Saga mendengar gumaman Lea dan menoleh sejenak dengan tatapan dinginnya lalu fokus lagi ke depan. Lea menatap wajah Saga yang kasar dan penampilannya yang lusuh sehingga membuat Lea merasa takut karena mengira itu penculik lagi.
Namun, ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang membuatnya merasa sedikit tenang. Ia menggenggam jaket yang menutupi tubuhnya dan merasakan kehangatan yang menenangkan.
Sementara, Saga terus mengemudi hingga akhirnya menemukan sebuah pos polisi di tepi jalan. Ia berhenti di depan pos tersebut dan menyuruh Lea turun dari mobilnya.
"Turun," ucap Saga. "Masuklah ke sana dan minta pertolongan pada mereka," lanjutnya acuh tanpa menoleh ke arah Lea. "Dan ambil ini," ujarnya sambil memberikan sebungkus roti.
Lea mengambil roti tersebut dengan ragu, lalu menoleh ke arah kantor polisi dengan tatapan bingung. "Paman, aku mau pulang ke Mama...," rengek Lea sambil menatap Saga dengan nanar.
"Mereka akan membawamu kepada orang tuamu, sekarang turunlah," ujar Saga datar dengan wajah dingin.
"Paman...." Lea tidak bisa berkata apa-apa lagi. Lalu dia bangkit dan turun dari truk yang terasa tinggi baginya.
Setelah Lea turun dari mobil, Saga menyalakan mesin mobil kembali dan melaju, meninggalkan Lea yang menatap mobilnya pergi.
Saga memantau Lea dari kaca spion, melihat gadis kecil itu yang masih menatap kepergiannya. Beberapa saat kemudian, Lea beranjak menuju pos polisi yang ditunjukkan oleh Saga.
Lalu, Saga menghentikan laju mobilnya di kejauhan dan memperhatikan apa yang terjadi pada Lea selanjutnya melalui kaca spion.
Yang terjadi ternyata pos tersebut kosong dan tidak ada satu orang pun di sana. Lea terduduk di depan pos yang terkunci itu dan mulai memakan roti pemberian Saga.
Sambil terus mengunyah, Lea menyadari bahwa mobil Saga masih terhenti di dekat sana. Dengan langkah kecil, ia berjalan menghampiri mobil Saga dan berdiri di samping mobil tua itu.
Saga tetap berada di dalam mobil dan tidak menampakkan wajahnya atau membukakan pintu untuk Lea. Gadis kecil itu hanya menunggu dengan harapan pintu itu akan terbuka sambil mengunyah sisa roti.
Hari pun mulai gelap dan suara binatang malam mulai terdengar. Harapan Lea satu-satunya adalah Saga, meskipun pria itu terlihat acuh dan tidak peduli padanya.
Tiba-tiba, pintu mobil pun terbuka. "Masuklah," kata Saga dengan suara rendah.
Lea tersenyum dan berusaha naik kembali ke mobil dengan semangat. Ia berpikir, meskipun Saga terlihat dingin, pria itu sebenarnya baik karena sudah memberinya makan.
Saga menatap Lea sejenak, lalu menghela napas panjang. "Gadis kecil ini benar-benar membuatku repot," gumamnya, nyaris tidak terdengar. Lalu ia menutup pintu dan mulai mengemudi lagi.
Lea duduk dengan tenang di kursi penumpang dan merasa sedikit lebih aman meski keadaannya masih belum pasti. "Paman, terima kasih," ucap Lea pelan.
Saga tidak menjawab ucapan terima kasih Lea, ia hanya terus mengemudi dan berpikir tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya pada anak kecil di sampingnya itu.
***
Kini, tibalah mereka di depan sebuah rumah sederhana yang agak jauh dari tetangga. Saga turun dari mobil tanpa memperhatikan Lea yang menatapnya dan mengira akan dibukakan pintu seperti yang selalu dilakukan ayahnya.
Namun, tidak demikian, melihat Saga yang akan memasuki rumah, Lea pun memanggilnya. "Paman, pintu mobilnya susah dibuka," ujarnya dengan suara khas anak kecil.
Namanya juga mobil tua, wajar jika pintu mobil terkadang macet, yang bahkan kapan saja bisa mati saat di pakai.
Saga, dengan sikap dinginnya, ia menghela napas dan membukakan pintu mobil untuk Lea tanpa bicara. Lea turun dari mobil dan mematung di depan rumah yang nampak asing baginya. Rumah kecil, agak gelap, berbeda dengan rumah tempat tinggalnya.
"Kalau kamu mau digigit nyamuk dan kedinginan, tetap berdiri di situ saja," ucap Saga dengan nada dingin.
Lea hanya menatapnya dengan tatapan takut dan bingung. Dia tidak berani melangkahkan kakinya masuk ke rumah. Dengan ragu, ia duduk di kursi yang terbuat dari kayu di teras rumah, berharap orang tuanya segera datang menjemputnya.
Waktu berlalu, dan Lea mulai merasa gelisah. Ia menatap ke arah jalan dan berharap melihat mobil orang tuanya datang untuk menjemputnya. Namun, harapannya mulai sirna ketika waktu terus berjalan dan tidak ada tanda-tanda kedatangan ayah dan ibunya.
"Mama... Papa... Huu Huu hu..." Lea mulai menangis sesenggukan lalu mengusap air matanya dengan punggung tangan kecilnya. Suara tangisannya terdengar menyayat hati mengisi keheningan malam.
Saga yang berada di dalam rumah mendengar tangisan Lea. Ia menatap ke arah jendela dan melihat gadis kecil itu duduk di kursi dengan air mata yang terus mengalir. Meski hatinya keras, ada sesuatu yang membuatnya berhenti sejenak.
Lalu ia keluar dan mendekati Lea, berdiri di depannya dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Hei, berhentilah menangis. Orang tuamu tidak akan datang menjemputmu sekarang."
Lea mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata lalu menatap Saga dengan tatapan ketakutan dan kebingungan. "Kenapa? Kenapa Mama dan Papa tidak datang?," tanyanya polos.
Saga menghela napas panjang, lalu berkata, "Mereka tidak tahu kamu di sini."
Lea pun semakin terisak sementara Saga masuk lagi ke rumah dengan membawa beberapa potong kayu bakar.
Sementara di dalam rumah, Saga sibuk memasak nasi untuk makan malam tanpa memedulikan tangisan Lea. Setelah makanannya matang, ia langsung duduk dan mulai makan dengan sama sekali tidak menghiraukan Lea yang masih menangis.
Krokokkkk...!
Aroma makanan yang lezat menusuk hidung Lea, membuat perutnya yang kosong meronta minta diisi. Dengan perlahan, Lea berjalan masuk ke rumah sambil memegangi perutnya yang lapar.
Lea mendekati Saga yang sedang menghabiskan makanannya. Tanpa bicara, ia memandangi pria itu dengan penuh harap, matanya terpaku pada setiap suap yang diambil Saga. Lidah kecilnya bergerak-gerak, tergiur oleh makanan di depan matanya.
Melihat demikian, akhirnya Saga menghentikan makannya sejenak dan memperhatikan Lea. Dengan isyarat tangan, ia mengajak Lea duduk bersamanya dan memberinya sepiring nasi.
"Nasi putih dan lauk pauk seadanya," pikir Lea seraya menatap makanan yang kini ada di depan matanya. Meski rasa laparnya sangat besar, karena kepolosannya, Lea tidak bisa menahan diri untuk bertanya, "Paman, apa ada ayam goreng?."
Saga menatap Lea dengan tatapan datar. "Tidak ada, makan saja yang ada. Kalau tidak mau, ya sudah," jawabnya ketus.
Lea menunduk karena merasa sedikit kecewa. Namun, karena lapar Lea pun terpaksa memakan makanan yang ada di depannya.
Ia menyuap nasi perlahan dan mencoba menikmati setiap gigitan meski jauh dari makanan yang biasa ia nikmati di rumah.
Saga memperhatikan Lea dari sudut matanya, hatinya merasa sedikit tergerak meski tidak menunjukkan perasaan itu.
Ia berpikir, mungkin gadis kecil ini terbiasa dengan kenyamanan dan makanan yang enak, namun di sini, di rumahnya yang sederhana, Lea harus belajar menerima keadaan yang jauh berbeda.
Tapi, sebenarnya, apa yang terjadi pada anak sekecil itu, pikirnya.
Malam itu, keduanya makan dalam diam. Setelah makan, Saga membereskan meja dan membawa Lea ke sebuah kamar kecil di sudut rumah.
"Kamu bisa tidur disini," katanya singkat. "Besok, kita akan cari jalan untuk menemukan orang tuamu."
Lea mengangguk pelan dan merasa sedikit lega. Ia berbaring di tempat tidur sederhana yang disediakan Saga, lalu menarik selimut lusuh ke atas tubuhnya yang kecil.
Saga menatap Lea sejenak sebelum keluar dari kamar, lalu mematikan lampu dan menutup pintu perlahan.
"Hidupku juga sudah susah, kenapa harus bertemu bocil sepertinya."
Bersambung...