Di masa lalu... orang tua Sherli pernah berurusan dengan yang namanya polisi hingga harus berada di pengadilan. Sejak saat itu Sherli antipati dengan polisi tetapi di masa sekarang Sherli harus berhadapan dan ditolong seorang polisi yang bernama Kres Wijaya di kantor polisi. Apakah dengan adanya peristiwa tersebut penilaian Sherli tentang seorang polisi berubah atau justru gigih dengan penilaian sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phine Femelia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dikejar Penjahat
Hari sudah berganti. Sherli masih bingung mau pergi ke tempat mana karena memang tidak tahu tujuan. Sherli juga tidak tahu saat itu jam berapa? Kedua mata Sherli juga perih karena semalam tidak bisa tertidur. Tentu saja Sherli harus menjaga dirinya agar tidak diganggu penjahat. Sherli berpikir yang harus dilakukan untuk selanjutnya. Cukup lama berpikir dengan terus berjalan akhirnya menemukan ide. Gimana kalau beli koran untuk cari pekerjaan? Sebelum beli koran Sherli cari warung untuk mengisi perutnya dulu karena sangat lapar. Memang dari semalam Sherli tidak menyentuh nasi sekalipun. Sherli menghela napas. Hidupnya menderita sejak kecopetan. Seharusnya memang mendengarkan perkataan mamanya tapi Sherli tidak bisa pulang. Tepat di depan warung Sherli masuk dan memesan makanan seadanya. Sherli masih harus menghemat karena tidak akan tahu ke depannya membutuhkan biaya. Sherli melihat jam dinding. Ternyata sudah pukul 08.00. Sherli makan dengan lahap sehingga tidak butuh waktu lama makanan habis lalu berdiri dan membayar. Alangkah terkejutnya Sherli. Makanan yang baru saja dimakan sangat mahal padahal hanya pilih menu sekedarnya.
"Astaga. Biaya hidup di sini..." pikir Sherli miris.
Sherli berjalan pergi dari warung dan masih terus berlanjut. Sepanjang jalan Sherli sudah cukup lama berjalan dan tiba di rambu lalu lintas ada orang yang menawarkan beli koran di setiap pengguna jalan yang berhenti menyetir karena lampu merah menyala. Sherli berjalan menghampiri orang muda itu.
"Mas"
Dia menoleh dan melihat Sherli.
"Beli korannya. Berapa?"
"Delapan ribu, Neng"
Sherli membelalakkan kedua matanya.
"Kenapa mahal?" pikir Sherli dengan merasa tidak percaya.
"Delapan ribu?"
"Iya, Neng"
Akhirnya Sherli memberikan uang senilai itu dengan merasa miris dan imbalannya Sherli menerima korannya lalu berjalan pergi dan mencari tempat yang sekiranya aman maka Sherli mau duduk di halte bus tapi tidak jadi karena seorang wanita paruh baya menjatuhkan dompetnya ketika hendak naik ke bus. Seketika Sherli memanggil.
"Bu. Bu. Permisi" panggil Sherli dengan mengambil dompet abu-abu itu.
Beliau menoleh lalu melihat Sherli dan Sherli melihat penampilan beliau.
"Elegan...tapi...kenapa bisa naik bus ya?" pikir Sherli dengan merasa heran.
"Iya?"
Sherli berhenti berpikir.
"Apa ini dompet Ibu?"
Beliau melihat dompet yang dipegang Sherli.
"Oh...benar dompet saya" kata beliau dengan mencari di dalam tasnya.
Beliau berpikir dengan bingung.
"Kenapa...?"
"Baru saja jatuh waktu Ibu mau naik"
"Astaga" kata beliau.
Beliau segera membuka dompet dan melihat isinya.
"Untung saja. Terima kasih. Kalau sampai hilang saya masih harus mengurus semua surat yang ada di dalam dompet ini" kata beliau dengan merasa lega.
"Tidak masalah, Bu. Saya cuma kebetulan melihat kejadian tadi"
Beliau mengambil dua lembar uang kertas berwarna merah dari dalam dompetnya.
"Ini untuk kamu"
"Ini...apa, Bu?" tanya Sherli dengan merasa tidak mengerti.
"Sebagai bentuk rasa terima kasih saya. Andai tidak ada kamu sudah pasti saya yang ribut"
"...apalagi dia jujur melihat penampilannya yang...dan saya lihat kamu memang tulus mengembalikan kepada saya" pikir beliau dengan merasa kagum.
"...menurut saya yang penting surat di dalamnya tidak hilang" lanjut beliau.
"Ah...tidak. Tidak perlu, Bu. Sungguh. Saya memang mau mengembalikan karena dompet itu punya Ibu"
"Sudah tidak masalah. Ambil saja. Ayo"
"Tidak, Bu. Sekali lagi maaf. Saya tidak bisa menerima"
"Saya paham kamu ikhlas tapi..."
"Bukan saya tidak mau menerima atau sok tapi sejak dulu saya tidak pernah mau mendapat imbalan apapun. Saya diajarkan untuk ikhlas menolong orang" potong Sherli.
Beliau memandang Sherli dengan semakin kagum.
"Orang tua kamu...berhasil mengajarkan anaknya punya sifat tulus dan jujur" kata beliau dengan tersenyum.
"Tidak. Saya juga banyak kekurangan" kata Sherli dengan merasa segan.
Beliau melihat terus Sherli.
"Bahkan rendah hati" pikir beliau.
"Saya sangat berterima kasih"
"Iya, Bu" kata Sherli dengan tersenyum.
Beliau naik ke dalam bus dan Sherli berjalan menuju halte lalu duduk dan membuka koran di bagian lowongan kerja.
2 hari kemudian
Kres, Irfan, dan 3 teman lainnya berkumpul untuk sekedar makan malam bersama di sebuah mall sampai mereka saling cerita tentang beberapa kasus. Sherli berhenti berjalan dan melihat sekeliling lalu ketakutan lagi karena dari masuk dalam mall diikuti seseorang dan orang itu secara terus terang melihat terus Sherli dengan tatapan mengancam. Sherli segera berhenti melihat dan jantungnya berdegup kencang karena terlalu takut.
"Gimana ini? Kalau gue keluar justru bahaya tapi kalau tetap di sini yang mau gue lakukan apa?" pikir Sherli panik.
Seketika Sherli melihat gerombolan orang yang memakai baju polisi.
"Di sana ada beberapa polisi. Gimana kalau gue melapor?" pikir Sherli.
Sherli berusaha tenang.
"Gue harus jalan ke sana dengan tenang agar penjahat itu gak curiga kalau sebenarnya gue mau menghampiri gerombolan polisi di sana. Kenapa gue selalu dijahati orang?" pikir Sherli sebal.
Sherli berjalan perlahan sampai di gerombolan polisi itu.
"Maaf, Pak"
Salah seorang polisi itu menjawab panggilan Sherli.
"Iya, Dik?"
"Pak, saya minta tolong. Dari tadi saya diikuti orang jahat"
Polisi itu mau berdiri tapi Sherli mencegah.
"...tapi, Pak...jangan berdiri karena khawatir orang itu langsung pergi"
"Posisi orangnya di mana, Dik?"
"Di..."
"Kamu?"
Seketika Sherli mendengar suara seorang pria yang di samping polisi bicara dengan dirinya lalu Sherli menoleh dan melihat pria itu. Ternyata pria itu adalah polisi yang bernama Kres. Sherli merasa tidak menyangka bisa bertemu lagi dengan Kres.
"Kamu masih di sini? Tidak pulang?" tanya Kres dengan merasa heran.
"Pak, tidak...maksud saya...nanti saya akan menjelaskan tapi tolong sekarang bantu saya. Saya diikuti orang jahat dari awal masuk sini"
Kres mulai mengerutkan dahi dengan melihat terus Sherli.
"Ternyata Adik ini bandel. Kenapa dia tidak pulang saja? Akhirnya gue harus menangani kasusnya lagi" pikir Kres sebal.
Kres berusaha menahan emosinya.
"Di mana posisinya?"
"Saya yakin gak jauh dari tempat saya berdiri di sini. Cowok, pakai baju garis hitam, tidak begitu tinggi"
"Kres, gimana kalau gue bantu juga?" kata Irfan menawarkan diri.
Kres melihat Irfan.
"Kita juga bisa bantu" kata salah seorang polisi yang lain.
"Iya. Di sini begitu ramai. Yakin lo bisa melakukan sendiri?" tanya Irfan.
"Baiklah. Kita berpencar" kata Kres tegas.
"Kres, lebih baik lo yang bersama Adik ini. Gue tetap di posisi yang seperti biasanya. Cuma kita yang tidak memakai baju dinas jadi yang lain harus punya trik untuk sembunyi" kata Irfan.
Polisi lain mengangguk tanda setuju. Kres melihat Sherli.
"Kamu ikut saya. Kita pura-pura jalan bersama"
Sherli mengangguk pelan.
"Gue ke sebelah sana, Kres"kata Irfan dengan menunjuk sebentar arahnya dengan wajah.
Kres mengangguk dan polisi lainnya juga berpencar. Kres dan Sherli jalan bersama.
"Urusan kita belum selesai" kata Kres berhenti berjalan.