Bagi beberapa orang, Jakarta adalah tempat menaruh harapan. Tempat mewujudkan beragam asa yang dirajut sedemikian rupa dari kampung halaman.
Namun, bagi Ageeta Mehrani, Jakarta lebih dari itu. Ia adalah kolase dari banyak kejadian. Tempatnya menangis dan tertawa. Tempatnya jatuh, untuk kemudian bangkit lagi dengan kaki-kaki yang tumbuh lebih hebat. Juga, tempatnya menemukan cinta dan mimpi-mimpi baru.
“Kata siapa Ibukota lebih kejam daripada ibu tiri? Kalau katamu begitu, mungkin kamu belum bertemu dengan seseorang yang akan membuatmu menyadari bahwa Jakarta bukan sekadar kota bising penuh debu.”—Ageeta Mehrani, 2024
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Being Scolded
Kegiatan perkantoran baru akan dimulai sejak pukul 9 setiap harinya, dari hari Senin sampai Jumat. Dan biasanya, sebelum para karyawan berdatangan dan bersiap untuk bekerja, Ageeta akan disibukkan dengan berbagai request yang mereka layangkan melalui satu group chat khusus. Ada yang minta dibelikan kopi gula aren double shot dan sandwich daging tanpa saus tomat. Ada yang minta dibelikan bubur ayam tanpa seledri, bawang goreng, kacang dan kecap. Ada yang minta diisikan tumblr segede gaban miliknya, walaupun letak pantri hanya sepuluh langkah dari ruang kerjanya. Ada juga yang sedikit nyeleneh, minta disampaikan salamnya kepada mbak-mbak penjaga warteg di seberang gedung perusahaan. Sebagai office girl panutan, Ageeta akan memenuhi semua request itu tanpa ada sedikit pun keluhan. Gesit dan cekatan, begitu dirinya sering dipuji oleh para karyawan.
Hari ini, request pertama yang Ageeta dapatkan adalah untuk membeli beberapa macam kopi dari outlet coffee shop favorit di seberang jalan. Ada 15 cup, semuanya berbeda rasa serta takaran gula dan es.
Menerjang teriknya matahari jam delapan, Ageeta melangkah riang menuju coffee shop. Rambut sepunggung kecoklatan miliknya yang dikuncir kuda bergerak ke kiri dan ke kanan seiring langkahnya yang melambung-lambung bersemangat. Ia juga bersenandung, menyanyikan beberapa lagu dengan melodi yang hampir mirip dan tak jarang harus berhenti sejenak karena salah lirik.
Seperti layaknya kawan baik, barista berondong di coffee shop itu akan menyambut Ageeta dengan senyum yang melebar sampai ke telinga. Tanpa perlu basa-basi menyodorkan tangan, meminta list pesanan yang akan ‘Kakak Manis’ berseragam pink fanta itu beli hari ini.
“Ada banyak, lima belas,” ujar Ageeta seraya menyerahkan ponselnya kepada Adrian—sang barista berondong.
“Dan, semuanya menu yang berbeda,” sahut Adrian.
Ageeta menganggukkan kepala, bersandar santai di counter tanpa takut dihakimi pelanggan lain karena memang coffee shop itu masih sepi. Dia adalah pelanggan pertama, sepertinya.
“Tunggu sebentar, ya, Kakak Manis. Pesanan kamu akan ready secepat mungkin.” Adrian membawa serta ponsel Ageeta menuju coffee maker, membiarkan sang ‘Kakak Manis’ pujaan hati menunggu di luar counter sambil bersiul-siul asal. Kadang kala kedengaran sumbang, tetapi di telinga Adrian, tetap merdu saja karena itu adalah Ageeta. Kalau gadis lain, mungkin sudah dia tendang sampai ke bulan.
“Hari ini sendiri? Alex nggak ada?” Siulan Ageeta berhenti, pandangannya berpendar memindai seluruh sudut coffee shop bernuansa hitam putih tersebut.
Sambil fokus menggiling kopi, Adrian menjawab, “Alex pindah ke sore, gantiin Bang Banu.”
“Gantiin Bang Banu?” tanya Ageeta, memandang ke arah Adrian dengan alis yang berkerut. “Emang Bang Banu ke mana? Izin sakit?” susulnya.
“Resign.”
“What?!” Bak baru saja menerima kabar buruk, Ageeta bereaksi heboh. Tubuhnya yang semula bersandar santai seketika kembali tegap, bola matanya membulat, bibirnya menganga tak percaya. “Kok bisa resign, sih?”
Adrian berhenti menggiling kopi, sejenak menatap Ageeta yang auranya berubah suram hanya karena sebuah kabar. “Memangnya kenapa kalau Bang Banu resign? Ada pengaruhnya buat Kakak Manis?” tanyanya. Menyelidik, di tengah perasaannya yang tidak nyaman. Kakak Manisnya memperhatikan laki-laki lain, itu menyebalkan.
Mendapati dirinya ditatap penuh selidik, Ageeta mengendurkan urat di sekitar area wajahnya yang semula tegang, berusaha bersikap seperti semula karena dia bisa merasakan aura ‘setan’ mulai menyelimuti tubuh Adrian.
“Ya … nggak apa-apa, sih. Cuma, kan, biasanya aku suka godain dia kalau lagi shift sendirian.” Memperhatikan mimik wajah Adrian, kemudian buru-buru menyambung supaya berondong itu tidak salah paham. “Reaksinya Bang Banu lucu kalau aku godain, malu-malu merah merona gitu, makanya aku suka!”
“Suka Bang Banu?”
“Suka godain doang!” seru Ageeta, panik. Kalau dipikir-pikir, kenapa juga dia harus panik seperti itu? Toh Adrian kan cuma sebatas barista berondong yang kebetulan suka beramah-tamah kepada dirinya. Entahlah, aura mistis yang melingkupi Adrian membuatnya refleks bereaksi demikian.
Untuk beberapa lama, tatapan selidik itu masih ada di kedua netra Adrian, sampai kemudian berondong bertato bulan sabit di pergelangan tangan kanan itu menghela napas rendah dan kembali melanjutkan aktivitasnya menyiapkan pesanan Ageeta.
“Aku nggak suka kamu genit sama cowok lain tahu.” Tiba-tiba saja, Adrian membuat pengakuan. Bukan yang pertama, jadi Ageeta hanya menganggapnya sebagai angin lalu. Meloloskan kekehan ringan dan tepukan di lengan kekar sang berondong.
“Sama, aku juga nggak suka kalau kamu digodain sama cewek-cewek pakai rok mini dan crop top warna-warni yang suka nongkrong di sini menjelang shift kamu habis,” goda Ageeta. Sukses membuat Adrian menjeda lagi kegiatannya, sejenak terpaku, lalu mengembuskan napas berat. Agaknya, gombalan itu tidak mempan untuk berondong yang satu itu.
“Kamu jangan suka nyeletuk kayak gitu, bahaya.” Tiga kantong belanja berbahan karton diserahkan kepada Ageeta, masing-masing berisi lima cup kopi yang sudah dipastikan keamanan kemasannya.
“Bahaya kenapa?”
“Bisa bikin anak orang baper,” tutur Adrian, bersedekap usai mengembalikan ponsel milik Ageeta.
Enggan menjawab, Ageeta memilih untuk menyerahkan kartu kredit perusahaan agar Adrian bisa segera memproses pembayaran. Terlalu berlama-lama menggoda berondong yang satu itu memang sepertinya bukan ide yang bagus. Adrian benar, Ageeta tidak boleh terlalu banyak mengeluarkan omong kosong tanpa pikir panjang.
“Thank you.” Ageeta mengangkut tiga kantong belanja sekaligus, menerima kembali kartu kredit perusahaan dari tangan Adrian.
Yang lelaki tidak menjawab ramah seperti biasa, hanya terus menatap serius seakan-akan Ageeta adalah santapan makan malam yang nikmat dan tidak boleh dilewatkan.
“Oh, I know I’m pretty, but don’t stare at me like that,” tegur Ageeta. Hanya untuk membuat Adrian menyemburkan napas hangat persis di depan wajahnya.
“Sana, pergi. Nanti ke sini lagi pas jam makan siang, oke?” tutur Adrian.
Ageeta menaikkan sebelah alis, bingung.
“Ngapain?”
“Makan siang sama aku, aku traktir.”
“T—”
“Halo, pink fanta!”
Seruan heboh dari orang ketiga itu seketika membuat Ageeta dan Adrian serempak menoleh ke arah sumber suara. Sama-sama dibuat terheran-heran atas kedatangan seorang laki-laki berpakaian santai dengan sandal rumahan (yang harganya jutaan) yang sedang menggendong bayi perempuannya di depan. Senyumnya cerah, lebih bersinar ketimbang matahari yang terik di luar sana. Satu tangannya melambai senang, satu lagi bergerak heboh melepaskan kacamata hitam yang membingkai sepasang mata kecoklatan miliknya.
“Apa kabar?” tanya sang lelaki, menyodorkan tangan kanan kepada Ageeta.
Meski heran, Ageeta tetap menyambut uluran tangan tersebut, menjabatnya sebentar. “Baik. Pak Bas apa kabar?” tanyanya balik, dibumbui senyum ramah sebagai SOP standar. Sembari sedikit mengintip ke arah bayi perempuan yang terlelap di dalam gendongan.
“I’m great!” seru sang lelaki, memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. “Sky juga great, maminya juga,” imbuhnya.
Ageeta tertawa pelan menanggapi celotehan yang agak too much information itu, kepalanya mengangguk. “Mau beli kopi?”
“Exactly!” Lelaki berkaki jenjang itu, Baskara, menjentikkan jari.
Ageeta mengangguk lagi, masih memasang senyum template yang tidak basi. “Kalau gitu, saya permisi. Kopinya udah ditungguin sama yang punya,” ujarnya seraya mengangkat tiga kantong belanja di tangannya sejajar dada.
Baskara mengangkat jempolnya, mengangguk dan tersenyum manis.
Setelahnya, Ageeta pamit pergi. Tidak hanya meninggalkan Baskara yang hendak membeli kopi paginya, tetapi juga Adrian yang mematung menunggu jawaban atas ajakan makan siangnya.
...****************...
Usai menyerahkan kopi pada para pemesan, Ageeta kembali ke pantri untuk mengerjakan hal lain. Namun, langkahnya terhenti di ambang pintu pantri yang terbuka tatkala menemukan sesosok manusia sudah duduk di salah satu kursi dengan kaki yang menyilang, mengetuk-ngetukkan jemari tangan di atas meja selagi fokus menekuri tab di tangan yang lain.
Ageeta mendesah pelan, malas-malasan menghampiri tamu VIP yang tidak pernah absen meminta jatah.
“Pagi, Pak Reno.” Ia menyapa ogah-ogahan. Langsung berjalan menuju rak penyimpanan, menyambar cangkir serta mengeluarkan toples kopi dan gula.
“Saya nggak mau kopi pagi ini.”
Stop!
Tangan Ageeta melayang di udara, membawa serta sesendok penuh kopi hitam yang merengek karena tidak jadi dituang ke dalam cangkir. Ia menoleh, menelan ludah susah payah usai menemukan Reno menatap ke arahnya dengan cara yang tidak biasa. Oh, apakah dia telah membuat kesalahan yang tidak disadari sehingga membuat atasannya itu murka? Ah, tapi seingatnya, dia tidak berbuat apa-apa, kok. Kopi buatannya juga masih mendapatkan pujian ketika terakhir kali disuguhkan.
Lantas, kenapa?
“Kamu tadi habis dari coffee shop depan, kan?” tanya Reno, raut wajahnya serius.
Ageeta mengembalikan bubuk kopi ke dalam toples, menutupnya rapat-rapat, kemudian mengangguk. “Kenapa? Bapak mau kopi dari sana juga? Mau saya beliin sekarang?” tawarnya.
“Nggak usah, saya nggak mau ngopi hari ini.” Reno menjawab dengan intonasi datar, meninggalkan tab di atas meja, lalu berjalan menghampiri Ageeta.
Refleks, Ageeta berjalan mundur ketika Reno terus meringsek maju seperti hendak menyerang dari jarak dekat. Ia menahan napas, berusaha menghalau aroma parfum lelaki itu yang terasa lembut menggelitik lubang hidungnya.
Detik-detik yang berlalu setelahnya kemudian terasa berjalan begitu lambat. Sementara yang bisa Ageeta lakukan cuma berdoa di dalam hati, sambil berpikir keras mengingat kesalahan apa yang sekiranya telah dia perbuat sampai detik ini.
“Ceroboh.” Belum selesai berpikir, sentilan maut khas Reno sudah lebih dulu mendarat cepat di kening Ageeta. Gadis itu hanya bisa mengusap keningnya yang nyut-nyutan tanpa memekik heboh seperti biasa. Karena entah kenapa, energinya terasa disedot sampai habis tak bersisa.
“Kamu seburu-buru apa sampai ninggalin kartu kredit perusahaan di sana? Kalau ditemuin sama orang yang nggak bertanggung jawab gimana coba?” cerocosnya seraya mengangkat tinggi-tinggi kartu berwarna hitam yang terapit di sela-sela jemarinya.
Seketika itu juga, mata Ageeta membola, mulutnya menganga. “Astaga! Saya yakin udah masukin ke saku seragam saya! Sumpah, Pak!” seraya mengangkat kedua jari membentuk huruf V.
Reno berdecak, menarik tangan Ageeta, lantas meletakkan kartu kredit perusahaan ke telapak tangan sang gadis. “Lain kali jangan ceroboh. Untung aja tadi yang nemuin temen saya, coba kalau enggak? Bisa kena masalah besar kamu.”
“Iya, Pak, maaf.” Ageeta melirih, setengah menunduk sebab terlalu tidak berani beradu tatap dengan Reno. Biar pun mereka sudah cukup sering beradu mulut untuk hal remeh-temeh, Ageeta tetap tidak serta-merta melupakan posisinya. Dia adalah bawahan dan Reno adalah atasannya. Tetap ada batas yang harus dijaga, dan dia tidak bisa seenaknya berkelit setelah melakukan kesalahan.
Terdengar helaan napas panjang, sebelum keluar ucapan, “Maaf diterima, sekarang lanjut kerja.” Disusul tepukan pelan mendarat di bahu Ageeta.
Gadis itu mengangkat kepalanya cepat, menyaksikan Reno kembali ke tempat duduknya dan mulai sibuk menekuri tab dengan case warna merah muda. Diperhatikannya lelaki itu selama beberapa waktu, sampai tidak sadar sudah terlampau jauh terlena dan hampir saja tenggelam di dalam kubangan berbahaya yang tidak dia ketahui bagaimana caranya untuk kembali ke permukaan.
Bersambung....
ninggalin 🌹 dulu buat ka author✌️✌️✌️