NovelToon NovelToon
Kamu Berhak Terluka

Kamu Berhak Terluka

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Teen School/College / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Keluarga / Bullying dan Balas Dendam / Enemy to Lovers
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Bibilena

Gilsa tak percaya ada orang yang tulus menjalin hubungan dengannya, dan Altheo terlalu sederhana untuk mengerti kerunyaman hidup Gilsa. Meski berjalan di takdir yang sama, Gilsa dan Altheo tak bisa mengerti perasaan satu sama lain.

Sebuah benang merah menarik mereka dalam hubungan yang manis. Disaat semuanya terlanjur indah, tiba-tiba takdir bergerak kearah berlawanan, menghancurkan hubungan mereka, menguak suatu fakta di balik penderitaan keduanya.

Seandainya Gilsa tak pernah mengenal Altheo, akankah semuanya menjadi lebih baik?

Sebuah kisah klise cinta remaja SMA yang dipenuhi alur dramatis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bibilena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dia yang dibenci Semua Orang

Sembari melewati koridor sekolah, Gilsa mengigit ikat rambut yang diberikan Altheo tadi dan membawa rambut pendeknya berkumpul menggunakan kedua tangan. Gadis itu berjalan cepat saat menatap seksama sekitar tempatnya berjalan. Rambutnya telah terikat rapi. Poni depannya yang menutupi kening Gilsa rapikan dengan jari. Tak lama langkahnya terhenti di depan sebuah pintu berwarna hitam.

Dengan palang bertuliskan Ruang Guru di atas pintu.

Gilsa membuka pintu dan masuk dengan masih menggunakan langkah cepat. Tatapan serentak sontak datang dari orang-orang yang berada di dalam. Semuanya adalah mereka yang memakai seragam dinas dan name tag bergelar pendidikan. Gadis itu melihat satu persatu wajah, dimana di sana ada tatapan ramah dan senyum yang membuatnya sesak.

"Gilsa, ada apa Nak?"

"Mau ambil modul? Atau ketemu Ibu?"

Gilsa tersenyum kecut. "Saya ingin bertanya siapa yang mengajar periode pertama di kelas saya."

Seorang guru tertawa. Dia berdiri dan menghampiri Gilsa.

"Masuk dulu sini, kamu belum makan kan? Kita obrolin sambil makan siang, bagaimana?"

"Tidak usah, saya hanya ingin bertemu guru yang mengajar kelas saya." Gilsa menolak dan memaksa guru itu untuk mundur menatap rekan-rekannya kembali. Beberapa orang menjawab lewat tatapan untuk menyerah sembari menggeleng.

"Bisa Ibu, Bapak, menjawabnya untuk saya?" Gilsa mengulang pertanyaannya sekali lagi.

Raut muka semua orang di dalam ruangan itu berubah serius. Dua guru laki-laki kembali melanjutkan kegiatan awal mereka bermain ponsel. Sedangkan di sisi lain seorang guru wanita kembali membuka dokumen di atas mejanya.

"Tadi pelajaran pertama di kelas kamu diisi Bu Teressa, kamu bisa menemui dia di ruang tata usaha," jawab salah seorang yang memegang botol minum. Gilsa mengangguk, dia tersenyum lalu berbalik.

"Terimakasih." Lalu pergi dari sana.

"Benar-benar deh ...." Salah seorang lelaki yang tadi bermain ponsel membuka suara.

"Orang kaya semuanya kurang ajar."

•••

"Lihat tuh, aset sekolah." Tiara menunjuk pintu Ruang Guru dimana Gilsa menghilang dengan dagunya. Dia terkekeh geli.

"Wah, beda ya kalau anak titipan. Keluar masuk Ruang Guru sudah seperti akses masuk toilet." Devina ikut mencibir. Bukan hanya mereka yang merupakan teman sekelas Gilsa, hampir seluruh murid juga tahu rahasia umum soal perlakuan khusus yang gadis itu dapatkan. Dia bisa mengikuti pembelajaran seenaknya, dan meskipun begitu dia tetap mendapat nilai bagus sampai bisa masuk peringkat teratas.

"Dia tiap hari kan gitu?"

"Bukan lagi, mana pernah dia belajar di kelas? Dia dikasih bimbingan khusus sama tiap guru."

Caroline mendengus. "Bukankah lebih bagus dia Home Schooling saja?"

Tiara menepuk temannya itu lalu duduk. Mereka sedang ada di halaman sekolah saat ini, dan duduk di kursi taman.

"Itu syndrome orang kaya, mereka kan suka cari perhatian."

"Sekelas dengan Gilsa adalah kutukan, kita sial tahun ini. Kalau saja dia bersikap jujur posisi peringkat di kelas pasti bisa saling mengejar kan?" Lamia menatap teman-temannya dengan raut kesal. Rumor soal itu sudah beredar sejak kelas 10, bahwa Gilsa memakai kekuatan orang tuanya untuk bersekolah di sini. Karena itu ketika tahun pertama dia mendapatkan rangking pertama dan juara umum, bahkan dengan rumor dia selalu bermalas-malasan di kelas.

"Dia mungkin diberi kunci jawaban atau cuci nilai, tahun ini kalau dia menang lagi. Kita harus protes."

"Protes ke siapa? Memang kita akan didengar?"

Mereka terdiam.

"Kalian tahu sendiri orang yang pernah mencoba melakukannya malah didisiplinkan sampai mendapat skorsing."

"Aku harap dia mati saja."

•••

Altheo mengetuk-ngetuk ujung pensilnya pada meja sembari memangku tangan memperhatikan deretan angka di papan tulis. Mata sayunya meredup, begitu serius memperhatikan penjelasan guru matematika di depan kelas.

"Matriks baris adalah matriks yang terdiri atas satu baris saja. Biasanya, ordo matriks seperti ini adalah 1 × n, dengan n banyak kolom pada matriks tersebut." Guru tersebut menunjuk papan tulis menggunakan pena ditangannya.

"Hei!" Sebuah gumpalan kertas tiba-tiba jatuh menimpa Altheo. Pemuda itu menatap ke arah samping kanannya dengan tatapan risih. Di sana adalah meja Kailo dan Prima, teman laki-lakinya itu sedang melamun menatap kertas, sedangkan sosok di depan mejanya menatap Altheo dengan sorot mencurigakan.

"Apa?" Altheo bertanya pada Prima. Tak lama gadis itu mencondongkan tubuhnya ke belakang, sehingga orang yang tertutupi tubuhnya terlihat Altheo.

"Oh?" Altheo mulai paham, dia bertanya dengan raut mimik tak suka pada orang di samping Prima itu.

"Kenapa?" 

"Maaf, aku salah sasaran," katanya.

"Lempar lagi padaku!" Lelaki itu kembali berkata tanpa suara. Altheo tak mengacuhkannya. Alih-alih melempar balik, Altheo melihat gumpalan kertas tadi lalu membukanya.

Kau suka tebak-tebakan bukan? 

Ayo tebak tahun ini aku berharap apa di hari ulang tahunmu?

Benar, kau pintar sekali.

Kuharap kau binasa saja, dasar sampah!

Enyah kau, Gilsa!

Sorot serius Altheo sirna tergantikan rasa terkejut yang ketara. Mendadak pemuda itu menatap kearah Gilsa yang duduk di samping kirinya. Gadis yang dihina itu justru tengah menidurkan diri di atas meja sembari memainkan bolpoin. Kertas di tangannya kembali Altheo remas kuat-kuat sampai tak berbentuk. Matanya meredup. Segera tanpa aba-aba dia melempar kertas tak berbentuk itu, tepat mengenai wajah lelaki yang menulis surat ini.

"Aw!" Suara mengeluh terdengar sampai ke seisi kelas. Mendadak suara Pak Arta yang sedang menjelaskan pun hilang dan para murid serentak menatap ke arah samping kanan. 

"Kenapa Genan?" tanya Pak Arta. Di tempatnya Altheo tersenyum kecil melihat pemuda itu gelagapan.

Pak Arta menatap tajam Genan yang tak berkutik. Matanya langsung jatuh ke lantai, melihat sebuah gumpalan kertas cukup besar tergeletak di sana.

"Siapa yang melemparkan ini?" Suara Pak Arta menggema.  Tanpa menunggu diadukan, Altheo mengangkat tangannya seolah itu sesi tanya jawab.

"Saya!" serunya. Dengan tak lupa senyum kecil yang menghiasi. Hampir sebagian murid menampilkan wajah terkejut. Bahkan Gilsa menegakan tubuh dan menaruh perhatian padanya, menyaksikan drama singkat mereka sembari menopang dagu.

"Untuk apa kamu melempar kertas? Seperti anak kecil saja."

Senyum Altheo memudar. "Bapak buka saja isi kertasnya."

Pak Arta menatap tajam Altheo, matanya memicing. Dengan raut enggan dia mulai membuka gulungan kertas itu, tiba-tiba dua buah penghapus besar berwarna hitam dan putih jatuh lalu berguling di atas lantai. Sebagai korban, Genan sedikit terkejut. Pantas saja sakit.

Gulungan kertas telah terbuka lebar. Pak Arta melihat apa yang tertulis di dalamnya dan membaca tulisan itu dalam diam. Kemudian tanpa berkata apa-apa dia melipat kertas itu dan berbalik ke arah papan tulis.

"Bapak!" Tiba-tiba Altheo memanggilnya. "Anda kenapa malah kembali mengajar?"

"Lalu, saya harus bagaimana?" Pak Arta bertanya skeptis.

"Buktinya sendiri ada di tangan Bapak, apa tidak ada sanksi sekecil apapun untuk pelaku tindak pembullyan?" Kini seisi kelas menatap serentak Altheo, mereka langsung berbisik ribut. Bahkan Gilsa tampak terkejut mendengar perkataan itu. Gadis itu tahu satu hal tentang kelas ini. Satu-satunya orang yang diasingkan di sini, hanyalah dirinya.

"Apa ini bullyan bagi kamu?"

"Iya, apa menurut Bapak itu bukan?"

Pak Arta menggertakan gigi gerahamnya, dia membenarkan letak kacamatanya lalu kembali berjalan ke meja belakang.

"Bukannya ini lumrah di generasi kalian? Saya sering melihat bercandaan anak muda sekarang memang kasar dan kurang ajar. Lagipula barusan kamu melempar kertas berisi penghapus kan pada Genan?" Pak Arta menggenggam kertasnya sampai remuk dan kemudian dia jatuhkan di meja Altheo.

Altheo tampak bergeming melihat kertas itu. Tak lama pandangannya kembali terangkat menatap Pak Arta, pandangan yang lurus dan tajam. Untuk sekejap Pak Arta tersentak melihatnya, selama ini tak ada seorang murid pun yang berani menatapnya setajam ini.

"Apa kamu? Sopan kamu--"

Tiba-tiba saja tawa kecil lolos dari bibir Altheo dan memutus perkataan itu. Dia tersenyum dengan lebar. Namun entah kenapa Pak Arta tak bisa menemukan kehangatan dari wajah ceria itu.

"Saya sudah lihat isinya, apa Bapak mau saya bacakan di depan kelas?" Pemuda itu bertanya dengan nada riang. Melihatnya mata Pak Arta menjadi memicing dan menatap mencemooh, tapi itu tak membuat Altheo gentar.

"Kau suka main tebak-tebakan kan?" Altheo meninggikan nada suaranya. "Kalau begitu ayo tebak-"

"Cukup." Pak Arta langsung memotong ucapan itu.

"Genan, karena hal ini, absensi kamu hari ini alfa di mata pelajaran saya," ujarnya terburu-buru. Semua murid yang menyaksikan ini tercengang, tetapi reaksi paling heboh adalah Genan yang kini berdiri tak terima. 

"Lho, kenapa sampai seperti itu Pak?! Saya tidak terima."

"Aku juga." Altheo kembali menyahut datar. Pak Arta sendiri belum beranjak dari posisinya, dia semakin menaruh atensi penuh pada Altheo.

"Apa lagi mau kamu?"

"Itu terlalu ringan," tambahnya.

"Iya--eh apa? Hei berisik kamu, Altheo!"

Tangan dan tatapan Pak Arta tertuju menunjuk Genan. "Diam kamu."

 

Sejak di bangku sekolah Pak Arta begitu mengagumi posisi dan jabatan seorang Guru, dan sekarang sebagai seorang Guru, Pak Arta percaya dirinya adalah panutan bagi para muridnya. Wibawanya jauh di atas kekuasaan itu sendiri, dia seperti utusan tuhan dalam bentuk manusia yang memberikan pengetahuan tak terbatas. Namun, jika sosok sehebat itu terlihat mengabaikan tindakan salah, dan itupun ditemukan oleh murid didikannya sendiri. Wibawanya jelas tak akan ada nilainya.

Menyadari itu, perasaannya bergejolak antara kesal dan terhina.

Pak Arta kembali menatap Altheo.

"Saya tanya, apa mau kamu?" Pak Arta bertanya sedikit emosi.

"Dia harus masuk ruang BK dan didisiplinkan." Altheo tak ragu sedikitpun ketika menjawabnya.

"Apa?!" Genan memekik. "Altheo tutup mulutmu sekarang! Kau berlebihan, sungguh!"

Disisi lain Pak Arta terdiam, terlihat seperti sedang menimang. Dia kemudian berbalik arah ke arah papan tulis tanpa melihat Altheo lagi.

"Pak saya tidak melakukan pembullyan apapun. Dia hanya melebih-lebihkan, apa ini masuk akal?"

"Baik." Ucapan itu mengejutkan semua orang.

"Wah beneran."

"Gila, Altheo."

Sampai tiba-tiba bel tanda pelajaran berakhir terdengar.

"Pak! Jangan seperti ini, apa Bapak percaya dengan omong kosong dia?" Genan masih sibuk membantah meski tak ada siapapun yang mendengarnya. Pak Arta membereskan buku dan laptop, meski perseteruan antara Genan dan Altheo belum berakhir.

"Sudah, kalian selesaikan di ruang BK. Saya pergi dulu, minggu depan kita bahas ulang materi ini lagi." 

Bahkan perkataan Pak Arta tak lebih mengejutkan mereka dibanding drama yang baru saja terjadi. Semua orang masih terfokus pada Altheo yang menekan seorang Guru sekelas Pak Arta. Guru yang dikenal keras kepala, yang tak akan berubah pikiran walau bumi akan kiamat esok hari. Itu julukannya yang paling populer.

"Brengsek! Punya masalah apa kau denganku hah?!" Genan kembali murka sesaat setelah Pak Arta membawa barang-barangnya dan keluar kelas. Dia berdiri dan menggebrak mejanya dengan kencang. Murid murid yang lain pun ikut bergaduh bahkan ada yang keluar meja dan menghampiri keduanya untuk melerai. 

"Ge, jangan emosi dulu."

"Diem!"

"Kau bicara padaku? Bukannya kau yang bermasalah?" Dengan senyum lebar Altheo balik bertanya. Sontak saja amarah Genan semakin membuncah melihatnya.

"Jangan pura-pura bodoh Altheo!" Genan memelotot hingga pupil matanya bergetar. Tangannya menunjuk kasar Altheo yang jauh di seberang sana. Sekali lihat pun jelas terpampang urat-urat menonjol dirahangnya. Salah seorang temannya yang duduk di belakang Genan berdiri untuk menghalangi pemuda itu dari Altheo.

"Aku harus apa ya? Apa aku balas saja? Atau diam dan biarkan dia mengamuk? Ah sial, masalahnya dia kelihatan kuat." Altheo juga berdiri, dengan batinnya yang mengoceh kepanikan. Walau tampak tenang, dia juga bingung harus bagaimana memperbaiki situasi ini. Cukup kacau rupanya.

"Bedebah sialan! Kenapa kau diam saja? Kau tak tahu siapa aku hah?!" Genan kembali berteriak. Untung saja guru mata pelajaran selanjutnya belum sampai ke kelas.

"Kubunuh kau! Kuhabisi kau, brengsek!"

Seisi kelas memekik. Para anak lelaki langsung menghampiri Genan dan menahannya dengan sekuat tenaga.

"Tahan bodoh! Kau mau masuk ruang konseling karena dua perkara?!" teriak seseorang yang menahan Genan.

"Iya, dasar bodoh!"

"Sansinya akan lebih parah kalau kau yang memukul duluan. Tenang sedikit brengsek!"

Genan masih melancarkan tatapan marah pada Altheo. Lelaki dengan kepribadian angkuh itu jelas murka besar seseorang merendahkan dirinya sampai seperti ini. Namun kembali lagi pada kenyataan, jika sampai mereka berdua masuk ruang konseling karena keributan ini, dia yang justru akan kena sanksi, bukannya Altheo.

"Lepas!" Genan menghentak tangan-tangan yang menahan dirinya lalu beranjak pergi dengan langkah cepat. Altheo yang melihat punggungnya menghilang samar-samar menghembuskan napas lega. Beberapa orang mendadak langsung mengerubungi Altheo dan membentuk sebuah lingkaran. Meski Genan itu anak puber yang memiliki gengsi tinggi, dia bukanlah sosok yang bisa dideskripsikan dengan kata hanya.

"Mendadak aku merasa sudah salah bertindak tadi," ucapnya dalam hati. Altheo tersenyum kecut. Dia menggaruk pipinya dengan raut tegang.

"Kau tadi kenapa bisa begitu?"

"Iya, apa kau yang Genan bully?"

"Berani sekali, astaga!"

"Kau pasti tak tahu siapa itu Genan kan makanya berani?!!"

"Astaga Altheo bodoh! Genan itu pentolan anak kelas sebelas tahu!"

Senyum Altheo semakin mengecil menanggapinya.

"Ah ... itu, tadi aku reflek," ucapnya menyangkal. 

"Dia salah melempar, dan kena padaku. Jadi aku marah," tambahnya lagi.

"Hah? Memangnya siapa target Genan?"

"Apa Gilsa?" Suara yang berbisik itu seketika membuat orang-orang bergeming. Tatapan tajam yang tersirat rasa benci terarah menuju Altheo, dengan sorot bagai tatapan segerombolan serigala liar. Mengerikan, membuat suasana berubah canggung. Disaat yang sama, Gilsa yang duduk di samping Altheo dapat mendengar dan melihatnya dengan jelas. Namun gadis itu pura-pura tak tahu.

"Sudah pasti aku," batinnya.

"Oh bukan kok, itu Prima." Jawaban enteng Altheo seketika membuat ketegangan terhempas. Namun menghasilkan raut terkejut dari dua orang yang tak mengelilingi meja Altheo. Di antara mereka ada yang langsung terkekeh dan ada pula yang menghela napas atau tersenyum geli. Suasana canggung mencair begitu saja seolah tak pernah ada.

"Tentu saja ya, akan aneh kalau kau membantu Gilsa."

"Benar, Gilsa kan aneh."

"Hah?" Gilsa dan Prima yang mendengar diam-diam jawaban pemuda itu, tanpa sadar mengarahkan tatapannya pada Altheo. Tak lama mereka kembali menyibukan diri seolah tak mendengar ucapan itu.

Tawa beriringan kembali terdengar.

"Hah, aku kira wanita sinting itu, kalau iya aku tak akan sudi lagi bicara denganmu. Bisa bisanya kau menolong iblis seperti Gilsa, Altheo." Seseorang berucap demikian sembari melirik Gilsa dengan tatapan memicing. Gilsa sendiri masih anteng dan membalasnya melalui sorot dingin dan tak acuh. Tampak tak gentar sedikitpun. Karena tak ada respon sosok itu mendecih lalu membuang muka.

"Benar, aku pun." Seseorang menimpali lagi sambil tertawa kecil. "Menjijikan sekali harus merasa simpatik dengan wanita sialan itu."

Altheo tertawa dalam benaknya. "Mereka bodoh atau memang pura-pura tak tahu? Jarak meja kami kan jauh, mana mungkin Genan salah lempar sempai sejauh ini?"

"Eh tapi korbannya kan Prima! Dia juga yang tahun lalu sempat jadi korban Gilsa kan?" Semua orang tersentak akan ucapan Lamia.

"Astaga!" Semua tatapan mata beralih pada Prima yang sedang membaca buku di kursinya. Mereka menatap gadis itu dengan kasihan. Namun Prima yang merasakan tatapan itu hanya menoleh dan menampakan wajah bingung seolah berkata, 'kenapa melihatku?'

Altheo tersenyum maaf diantara orang-orang itu. Sedangkan Gilsa membuang muka ke arah jendela di sisi lain Altheo dengan wajah suram.

"Korban?" Gilsa menatap sendu langit di balik kaca jendela. "Benarkah?"

"Sabar ya, apalagi Genan duduknya gak jauh dari kamu."

Wajah Prima berubah bertanya-tanya mendengar percakapan teman teman sekelasnya yang semakin aneh.

"Iya, dasar jahat, kamu pasti menderita selama ini."

Prima mengerjap bingung. "Tunggu, kalian ini kenapa jadi sok akrab begini?!"

1
Rasmi
🥲
Rasmi
😭😭😭😭
Rasmi
gilsa gk naik kelas????? 🧐 kok isoo
Rasmi
kencan??? 😌
Rasmi
Critanya mnarik bngt.. ada kisah pertemanan, masalah kluarga jga prcintaan ...ditnggu smpe end thorr 😌☺
Rasmi
nooooo 😭
Rasmi
altheo??
Rasmi
😲
Rasmi
susss😌
Rasmi
typo y yang trakhir thor mau ikutan kaget jdi gk jadi 😭🤣
Bibilena: Ah iya maaf aku baru tahu 😭😭
total 1 replies
Rasmi
jahat bngt bjingan😭
Rasmi
pengalaman bangettt 😵‍💫
Rasmi
bner banget knpa y orng kaya tuh suka caper 😕
Rasmi
wah, seru juga,kyaknya cweknya badass dehh
Gió mùa hạ
Tak terduga.
Bibilena: 😮 terima kasih (?)
total 1 replies
BX_blue
Jalan cerita seru banget!
Bibilena: Terimakasih atas dukungannya^^
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!