Dira Namari, gadis manja pembuat masalah, terpaksa harus meninggalkan kehidupannya di Bandung dan pindah ke Jakarta. Ibunya menitipkan Dira di rumah sahabat lamanya, Tante Maya, agar Dira bisa melanjutkan sekolah di sebuah sekolah internasional bergengsi. Di sana, Dira bertemu Levin Kivandra, anak pertama Tante Maya yang jenius namun sangat menyebalkan. Perbedaan karakter mereka yang mencolok kerap menimbulkan konflik.
Kini, Dira harus beradaptasi di sekolah yang jauh berbeda dari yang sebelumnya, menghadapi lingkungan baru, teman-teman yang asing, bahkan musuh-musuh yang tidak pernah ia duga. Mampukah Dira bertahan dan melewati semua tantangan yang menghadang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa Dia?
Saat bel pulang berbunyi, Dira segera berlari keluar kelas, pikirannya hanya tertuju pada satu hal: menemukan Gerry. Napasnya masih tersengal-sengal ketika dia melihat Dinda yang tengah bersiap pulang. Dengan hati yang hancur, Dira mendekatinya dan memohon, “Din, gue mohon, kasih tahu gue alamat Gerry. Gue harus nyelesain masalah ini.”
Namun, Dinda tak menghiraukannya sama sekali. Matanya hanya melirik dingin ke arah Dira, lalu dengan singkat menjawab, “Nggak mau.” Dinda segera masuk ke dalam taksi tanpa melihat ke belakang, meninggalkan Dira yang masih berdiri kebingungan di pinggir jalan.
“Yaelah, gimana ini…” Dira memegang kepalanya, mencoba berpikir cepat. Namun, sebelum dia bisa mengambil langkah selanjutnya, suara Levin terdengar dari kejauhan, “Dira! Ayo, cepet masuk!” Levin melambaikan tangan dari dalam mobil, jelas tak sabar menunggu.
Dira menghela napas dan memutar bola matanya, merasa sedikit kesal. “Cepetan, mau pulang nggak?” tanya Levin, nadanya sedikit mendesak.
Tanpa pilihan lain, Dira membuka pintu mobil dan masuk. Namun, alih-alih pulang, Levin malah berkata, “Kita mampir dulu ke kafe yang ada di ujung jalan sana.”
Dira mengerutkan kening, kebingungan dengan permintaan itu. “Ngapain ke kafe?” tanyanya, merasa ada sesuatu yang ganjil.
Levin hanya tersenyum samar, pandangannya tetap fokus ke depan. “Kita harus ketemu seseorang di sana,” jawabnya singkat.
“Siapa?” tanya Dira lagi, penasaran dengan siapa yang akan mereka temui.
“Ikut aja, lo bakal tahu,” Levin menyalakan mesin mobil, lalu melirik ke arah Dira sejenak sebelum menambahkan, “Gue butuh bantuan lo.”
Dira mengangkat alisnya, merasa heran. “Bukannya orang kaya lo nggak butuh bantuan orang lain?” sindir Dira, mengingat bagaimana Levin pernah menyombongkan dirinya pada hari pertama mereka bertemu di tempat les.
Levin yang mendengar sindiran itu hanya tertawa kecil, namun wajahnya sedikit memerah, merasa canggung dengan ucapannya sendiri. Dia tak membalas komentar Dira, hanya melajukan mobil dengan tenang menuju kafe yang dimaksud, sementara Dira duduk diam, masih mencoba menebak apa yang sedang direncanakan Levin.
“Jilat ludah sendiri kan lo,” sindir Dira dengan nada mengejek, mengingatkan Levin pada ucapan sombongnya di masa lalu. Levin menghela napas panjang, menahan rasa frustrasi yang sudah lama ia pendam.
“Yaudah, gue minta maaf. Sekarang gue butuh lo buat bantuin nyelesain masalah Vanya,” katanya dengan nada serius, berusaha menahan diri agar tidak membuat Dira lebih kesal.
Dira menatap Levin sejenak, kemudian mengangguk. “Yaudah, ayo,” katanya, menyerah pada situasi yang semakin rumit.
Sementara itu, di rumah, Vanya masih terkurung di kamarnya. Matanya sembab akibat menangis terus-menerus sejak pagi. Di tangannya, ponsel terus bergetar dengan pesan masuk yang tak henti-hentinya membanjiri layar. Dengan tangan gemetar, Vanya mengetik balasan, wajahnya penuh kecemasan.
“Gimana ini, aku udah gak punya uang…” gumamnya panik.
Tiba-tiba, ketukan pintu terdengar dari luar. “Tok, tok, tok.”
“Vanya, makan siang dulu, Nak. Kamu belum makan dari pagi,” suara mamah Maya terdengar lembut dari balik pintu, menunggu Vanya membukanya.
Namun, Vanya tak bergerak. “Vanya gak mau makan, Mah!” teriaknya di antara isak tangis. Suaranya terdengar putus asa, membuat mamah Maya semakin khawatir.
“Kamu kan lagi sakit, Nak. Kamu harus makan,” pinta mamah Maya, suaranya penuh kekhawatiran. Namun, Vanya tetap membisu, tenggelam dalam kekalutan pikirannya sendiri.
Di sisi lain kota, Levin dan Dira tiba di kafe yang dituju. Dira memandang sekeliling, merasa ada sesuatu yang familier. “Ini mah kafe yang gue datengin sama Nadin waktu itu,” gumamnya pelan.
Mereka duduk di bangku yang menghadap langsung ke jendela, menyuguhkan pemandangan hiruk-pikuk Jakarta yang sibuk. Suara kendaraan dan aktivitas kota terdengar samar-samar dari luar.
“Ngapain sih kita ke sini?” tanya Dira, rasa penasarannya semakin memuncak. Dia menatap Levin, menunggu jawaban. Namun, sebelum Levin bisa menjawab, pintu kafe terbuka dan seseorang masuk. Levin mengangkat tangan, memberi isyarat kepada orang itu.
"Dia orang yang gue maksud," kata Levin singkat, membuat Dira semakin penasaran, matanya mengikuti sosok yang mendekat ke meja mereka.
"Hai, Al," sapa Levin dengan ramah, saat seorang pria memasuki kafe. Dira menatap pria itu dengan bingung, mencoba mengingat siapa dia. "Eh, hai, gue Dira," katanya sambil menjabat tangan pria yang baru tiba. Setelah memikirkannya sejenak, Dira akhirnya menyadari, “Bukannya lo itu pelayan di kafe ini, ya? Gue ingat lo minggu lalu waktu gue ke sini sama Nadin.”
Alif, pria yang disapa Dira, tampak sedikit kebingungan, namun tetap tersenyum ramah. “Kamu siapa ya? Saya nggak ingat sama kamu. Memang saya kerja di sini sebagai pelayan, mungkin kamu salah satu customer di kafe ini. Senang berkenalan dengan kamu,” balas Alif sambil tersenyum.
“Oh begitu... terus sekarang mau apa?" tanya Dira, yang masih bingung dengan situasi ini.
Levin menoleh ke Alif, tampak terkejut. "Al, lo kerja di sini? Sekolah lo gimana?"
Alif tersenyum tipis, menahan tawa. "Santai dulu, baru juga gue datang udah diserbu pertanyaan gini. Pesan dulu makanan kali."
Levin mengangguk ke arah Dira. "Yaudah, Dir, lo aja yang pesan makanan."
Dira membuka buku menu, matanya langsung tertuju pada makanan dan minuman yang tampak menggugah selera. "Kesempatan gue ini," pikirnya sambil tersenyum kecil. Dia melambaikan tangan ke pelayan. “Mas, saya mau pesan Pandan Latte, Lasagna, Ramen, sama Chocolate Mousse,” ucapnya dengan nada puas.
Alif memandang Dira dengan terkejut. “Buset, banyak amat, itu buat sendiri doang?”
Levin tertawa kecil, menyindir, “Udah, Al, nggak apa-apa. Memang anaknya serakah.”
Dira menatap Levin dengan kesal. “Gak ikhlas ya? Yaudah, nggak jadi gue pesan,” katanya, meletakkan menu dengan suara ketus, merasa tersinggung.
Levin menghela napas, lalu tersenyum simpul. “Udah, Dir. Pesan aja. Gue cuma bercanda. Kita lagi nggak perlu ribut soal makanan.”
Dira mendengus, tapi akhirnya melanjutkan pesanannya. "Oke, tapi jangan nyindir lagi, ya," ujarnya, masih dengan nada kesal, namun ia tetap menahan diri untuk tidak memperpanjang masalah.
yu follow untuk ikut gabung ke Gc Bcm thx