NovelToon NovelToon
Sunday 22.22

Sunday 22.22

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Balas Dendam / Cinta Karena Taruhan
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: sun. flower. fav

Di tengah keindahan Jogja, proyek seni yang seharusnya menggembirakan berubah menjadi teka-teki penuh bahaya. Bersama teman-temanku, aku terjebak dalam misteri yang melibatkan Roats, sosok misterius, dan gadis bergaun indah yang tiba- tiba muncul meminta tolong.
Setiap sudut kota ini menyimpan rahasia, menguji keberanian dan persahabatan kami. Saat ketegangan memuncak dan pesan-pesan tak terjawab, kami harus menemukan jalan keluar dari labirin emosi dan ketegangan yang mengancam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sun. flower. fav, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

keberanian Eja

Kalian tahu grup band terkenal, namanya Dewa 19? Beberapa lagunya sering diputar Ayah, enak, kadang tenang, kadang nadanya terasa brutal. Saking sering masuk ke telingaku, satu persatu lirik masuk ke otak hafal sampai nama personilnya. Ayah juga begitu, beliau pecinta Dewa 19, katanya semua lagu Dewa kadang jadi relate di kehidupan, apalagi soal cinta.

Ayah mematikan televisi, berhenti bersenandung lalu membaca majalah sambil menyeruput kopi buatan Ibu.

“Aku rela... wo, aku rela.” Senandungku berhenti saat melihat Eja sibuk memetik bunga di depan rumahnya. Awalnya aku kira dia membantu ibunya memotong daun kering, tapi setelah aku mengamati, kenapa malah mencabut bunga sebatangnya. Aku yakin dia sedang diam-diam mencuri bunga koleksi ayahnya. Lantas aku melangkah ke jendela mengintip kelakuan Eja yang mencurigakan.

“Eja ngapain? Buat apa bunganya?” tanyaku berteriak dari jendela. Eja menoleh kaget dan langsung menyembunyikan beberapa bunga curiannya ke belakang punggung.

“Kepo, sana gak usah lihat-lihat,” tukasnya kasar. Memang begitu, semenjak setahun lalu, aku dan Eja tetap berteman, tapi tidak sebaik dulu. Dia lebih sering menghindar jika ada aku. Kebersamaanku dan Eja juga banyak berkurang.

“Idih, takut ketahuan nyuri, kan.” Aku lalu menutup jendela kesal. Yang aku pikirkan saat itu sebagai anak 13 tahun adala ‘awas kalau butuh’. Ibu bahkan setiap hari menasehatiku, ‘Elija, jangan begitu sama Eja, kamu kan tahu betul dia pengecut, tapi kamu harus paham.’

Ibu bilang begitu karena pasti merasa interaksiku dan Eja menghilang. Sekaligus Bu Diara, ibunya Eja sering mengeluh anaknya selalu dapat nilai buruk jika tidak belajar denganku.

***

Aku sedang tertidur pulas dengan tangan bertumpu di atas meja, menikmati udara damai di ruangan kelas. Temanku lainnya sangat sibuk, di ujung kanan ada yang saling bertukar binder, di ujung kiri yang lain ada para teman-teman anak orang kaya yang pamer apapun aksesoris barunya. Hanya aku yang merasa damai, tenang, sunyi, dan menikmati jam kosong pelajaran Seni Kebudayaan keterampilan. Hingga kedamaian tiba-tiba terganggu oleh keributan yang makin lama makin ribut di luar kelas.

Perlahan-lahan suara ricuh itu meningkat, mengundang seluruh teman sekelasku berbondong-bondong keluar mencari tahu sumber keramaian. Aku yang baru saja terlelap, akhirnya terganggu. Aku yang tadinya ingin diam saja, memutuskan beranjak bangkit ikut keluar.

“Ada apa?” tanyaku ke semua anak.

“Tadi guru BK ke sini, katanya si Eja dipukul Benny sama Dirga,” jawab Ani, teman sekelasku.

“Kenapa dipukuli?” tanyaku lagi. Tidak mungkin Eja dipukul tanpa alasan, sedangkan aku tahu Eja bukan anak yang suka cari masalah.

“Si Eja kasih bunga ke Septia, terus bunga sama suratnya diambil Dirga dan Beny, dibacain kenceng di depan kelas, si Eja marah, eh, Dirga sama Benny malah yang mukul.” Ani menjelaskan sesuai cerita yang beredar. Aneh, drama SMP apa sudah berani mukul-mukul. Tapi, ya, wajar juga, mereka anak laki-laki.

“Terus Eja luka-luka?”

“Yang luka si Beni, dipukul Eja pakai tepak pensilnya sampai berdarah,” jawab Ani dengan bangga.

Jujur aku kaget. 'Yes' gitu kataku dalam hati. Kalian tahu kotak pensil viral tahun 2012-an? Yang terbuat dari stainless, gaya serbaguna, dan banyak tombolnya. Itu kotak pensil legendaris. Rautan, kalkulator, kaca, tempat pensil, dan penghapus di modis jadi satu, yang pastinya sakit banget kalau dipukulkan.

“Pintar si Eja,” kataku lalu pergi.

***

Sepulang sekolah, aku langsung meletakkan semua barangku di atas kasur. Siang itu matahari menyinari dapur kami dengan lembut, menciptakan suasana yang hangat dan menyenangkan. Aroma segar dari buah dan sayuran yang baru ibu petik mulai mengisi udara, membuatku semakin tergoda untuk membantu ibu membuat salad. Dengan semangat yang membara, aku melompat ke samping ibu, siap untuk beraksi. Ibu langsung menggapai kursi kayu untuk kupijak agar bisa sampai ke meja.

“Eliza tahu kronologi baku hantam Eja di sekolah?” tanya ibu sembari mengaduk air. Spontan alisku menyatu. Kronologi baku hantam? Apa yang dimaksud Ibu dengan keributan di sekolah tadi?

“Baku hantam Eja yang mana, Bu?” Aku menatap ibu, mengurungkan niatku memotong semangka.

“Tadi Eja pulang dari rumah sakit, wajahnya memar-memar, masih diberi alat bius gitu, kayaknya, sih, dia rawat jalan di rumah,” jelas Ibu menceritakan. Gigiku menggigit bibir. Masalahnya yang aku dengar dari teman-teman justru Eja yang memukul kepala Beni sampai berdarah, tapi kenapa Eja yang terluka?

“Kamu jaga Eja, dong, nak! Kamu tahu sendiri, Eja itu penakut, pendiam. Jangan biarkan sampai begitu. Pasti dipukuli teman-temannya, kasihan kalau sampai luka begitu, apalagi nanti di SMA kalian, teman-temannya akan semakin banyak.” Ibu memberi nasihat. Aku hanya terpatung, mengangguk-ngangguk seolah mengerti, padahal pikiranku terhantui keadaan Eja sekarang.

“Bu, ada salad yang sudah jadi belum?” tanyaku. Tanpa menjawab, ibu buru-buru menyodorkan semangkuk salad seolah tahu apa yang akan aku lakukan selanjutnya.

***

Setelah mendengar kabar tentang Eja, aku segera mengunjungi rumahnya. Tentu, aku harus mengumpulkan keberanian dan memperbaiki citra terlebih dahulu, karena pertemananku dengan Eja memburuk sejak kita masuk sekolah SMP.

Aku menghampiri pintu kamar Eja dengan hati-hati, membawa semangkuk salad segar buatan Ibu. Jujur, aku merasa gugup, tidak sabar untuk melihat responnya antara ‘Hai, Elija,’ dengan wajah gembira, atau malah, ‘kamu ngapain ke sini,’ dengan wajah tidak tulus.

Sambil membatin membaca Basmalah, aku memukul pintu dengan hati-hati meminta izin untuk masuk, dan aku bisa mendengar suara lemah di baliknya. Ketika pintu terbuka, aku melihatnya terbaring di tempat tidur dengan beberapa luka merah campur biru di muka dan tangannya, yang membuatnya terlihat lebih rapuh dari biasanya. Meskipun terlihat kesakitan, dia memaksa senyum ke arahku dan berkata, “Aku keren, kan, Elija?” seketika air mataku perlahan keluar. Eja yang lemah setelah mengeluarkan keberanian kini nampak semakin lemah. Belum pernah aku melihat Eja sebangga ini.

“Keren banget,” jawabku lalu berjalan mendekatinya. Eja mendadak mengubah posisi duduknya. Dia tidak sabar ingin menjelaskan banyak hal.

“Awalnya, aku dengar kabar bahwa si Septia marah ke ayahnya karena tidak diizinkan membeli bunga tulip. Aku dengan senang hati menawarkan bunga tulip punya ayah,” ujar Eja menjelaskan, padahal aku belum memintanya untuk menceritakan. Lantas aku menggelengkan kepala heran. Oh, ternyata Septia Anindya penyebabnya. Cewek itu teman sekelas Eja sejak masuk SMP, sedangkan aku berpisah dengannya. Septia adalah anak semata wayang kepala sekolah. Siapapun pasti ingin dekat dengannya karena kita berpikir, dekat dengan anak kepala sekolah akan mendapat banyak keuntungan, tetapi itu salah, salah besar.

“Terus?” tanyaku penasaran.

“Si Septia bilang, ‘Boleh dengan senang hati,’” lanjut Eja. Aku mendengus sedikit kesal. Sejak awal masuk sekolah, Septia adalah anak yang sangat menyebalkan. Aku bisa membayangkan wajahnya saat mengatakan kepada Eja, ‘Boleh dengan senang hati,’ pasti wajahnya agak memucat, bibirnya tersenyum miring persis psikopat. Selain itu, dia juga sering sombong. Dengan membawa nama ayahnya, dia sering menindas anak-anak yang duduk di tempat favoritnya di kantin, seolah-olah semua yang ada di sekolah adalah milik ayahnya, padahal tidak. Dia juga tidak pernah mencari masalah dengan aku, mungkin karena aku lebih menakutkan. Walaupun bukan anak kepala sekolah, selain Septia, aku adalah anak perempuan yang paling ditakuti di sekolah. Alasannya, karena aku pandai bermain silat.

“Besoknya, tepat hari ini, aku membawa bunga tulip. Eh, saat aku hendak memberikannya kepadanya, Dirga dan kawan-kawan mengganggu. Mereka bilang aku ingin mendekati si Septia, lalu merebut bunganya. Jelas aku tidak terima. Aku mengejar mereka, tetapi ketika aku mendekati Dirga, Beni malah melempar batu,” lanjut Eja panjang sembari menunjuk luka di pipinya. Aku yakin itu bukan luka yang kecil, karena perbannya cukup besar.

“Kamu ingat, tidak, batu yang dilempar Beni? Besar atau kecil?” tanyaku.

“Segini,” Eja mengepalkan tangannya, memberikan gambaran ukuran batu yang jatuh ke pipinya.

“Si Septia melihatmu, tidak?” Aku bertanya sampai ke inti.

“Ya, itu yang membuatku kecewa, dia melihat, tetapi tidak membantu,” jawab Eja. Wajahnya berubah, nampaknya dia sangat kecewa kepada Septia. Sontak aku memukul lengannya.

“Itu karena kamu mengambil tulipnya diam-diam, kan? Itu namanya mencuri, rasakan.” Aku membentaknya lalu pergi tanpa pamit. Jujur, aku juga sedikit kecewa. Sepenting itu ternyata Septia sampai Eja rela mencuri tulip ayahnya dan dipukul oleh teman-temannya.

***

1
pausberkuda
semangattt🫶👏👏
Azzah Nabilah: weeehhhhh🥲
total 1 replies
ׅ꯱ƙׁׅᨮׁׅ֮ᥣׁׅ֪ꪱׁׁׁׅׅׅꭈׁׅɑׁׅ ηα
kerja bagus ija
Azzah Nabilah
jangan lupa ikuti kisan Eliza dan eja ya
Ohara Shinosuke
Semangat terus thor, aku yakin ceritamu akan menjadi luar biasa!
boing fortificado
Yang bikin author sebisanya aja ya, pengen lanjutin ceritanya.
Min meow
Tidak ada yang kurang.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!