Rafael Graziano Frederick, seorang dokter spesialis bedah, tak menyangka bahwa ia bisa kembali bertemu dengan seorang gadis yang dulu selalu menempel dan menginginkan perhatiannya.
Namun, pertemuannya kali ini sangatlah berbeda karena gadis manja itu telah berubah mandiri, bahkan tak membutuhkan perhatiannya lagi.
Mirelle Kyler, gadis manja yang sejak kecil selalu ingin berada di dekat Rafael, kini telah berubah menjadi gadis mandiri yang luar biasa. Ia tergabung dalam pasukan khusus dan menjadi seorang sniper.
Pertemuan keduanya dalam sebuah medan pertempuran guna misi perdamaian, membuat Rafael terus mencoba mendekati gadis yang bahkan tak mempedulikan keselamatan dirinya lagi. Akankah Mirelle kembali meminta perhatian dari Rafael?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PimCherry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TAK AKAN ADA YANG MENGGANGGUMU
"Selamat!" ucap Mirelle pada Marsha, sahabatnya.
"Selamat karena kamu sudah berhasil mengelabuiku selama ini. Aku berharap yang terbaik untukmu dan Rafael," lanjut Mirelle.
Meskipun awalnya ia kaget dengan kenyataan yang ada di hadapannya, tapi ia menarik nafas lalu menghembuskannya pelan. Mirelle tersenyum dan hal itu sama sekali tak disangka oleh Rafael. Ia mengira Mirelle akan marah padanya atau setidaknya mengajukan protes atas apa yang terjadi.
"Aku pergi dulu kalau begitu. Kalian berdua juga silakan menikmati pestanya," ucap Mirelle.
Mirelle menghela nafasnya pelan setelah sebelumnya memutar tubuhnya. Ia tak ingin Rafael melihat kekecewaan yang begitu besar di dalam dirinya.
Sementara itu, Rafael justru melihat kepergian Mirelle dengan perasaan yang aneh. Ntah mengapa ia merasa kecewa dengan respon yang diberikan oleh Mirelle.
"Ayo kita ke sana, Raf. Ingat bahwa malam ini kamu hanya milikku," ucap Marsha. Rafael menghela nafasnya pelan saat mendengar ucapan Marsha. Ya, sebenarnya ia hanya membayar Marsha untuk menjadi kekasih pura puranya.
Menurut Rafael, berpasangan dengan Marsha akan membuat Mirelle sakit hati dan menjauh. Gadis itu juga pasti akan menangis, marah padanya di acara tersebut, yang pastinya akan membuatnya Mirelle malu sendiri. Awalnya Rafael kira Marsha akan menolak permintaannya. Tapi ternyata Marsha malah menyetujuinya, bahkan terlihat tabpa berpikir.
Selama acara berlangsung, Mirelle tampak sangat menikmati. Meskipun ada rasa sesak di dalam hatinya, tapi ia akhirnya mengerti satu hal. Mencintai seseorang seorang diri itu menyakitkan, apalagi percaya pada seseorang yang sudah kita anggap sebagai sahabat, tapi ternyata menusuk kita tepat di jantung.
"Sepertinya apa yang kulakukan tak mempengaruhinya. Apa rasa sukanya padaku hanya pura pura? Apa dia hanya berniat menggangguku dan membuatku tak nyaman?" ntah mengapa Rafael merasa kesal dengan pemikirannya itu.
*****
Satu minggu kemudian,
"Dad, aku mendapatkan beasiswa!" teriak Mirelle pada Miles, Ayahnya.
"Beasiswa? Bagaimana mungkin?" Miles seakan tak percaya karena putrinya itu bukan siswa terbaik di sekolah. Bahkan untuk belajar saja perlu diingatkan, tak seperti Marco.
"Lihat ini kalau tidak percaya," Mirelle memperlihatkan e-mail di ponselnya.
Miles memperhatikan e-mail yang diperlihatkan oleh Mirelle, "Tapi kamu masih di tingkat dua, sayang. Tunggu satu tahun lagi, bahkan kalau kamu mau kuliah di luar negeri pun akan Dad izinkan"
"Ini kesempatanku, Dad. Tawaran seperti ini tak akan datang dua kali," ujar Mirelle.
"Tapi sayang ...," Miles seakan tak rela jika ia harus melepaskan putrinya saat ini. Mirelle merajuk dan akhirnya pergi dari hadapan Ayahnya.
Hingga malam tiba, Mirelle tak keluar dari kamar tidurnya. Putrinya itu tak makan malam.
"Mar, kamu lihat adikmu," ujar Miles.
"Okay, Dad."
Marco bangkit dan menuju ke kamar tidur Mirelle. Ia mengetuk pintu, tapi tak ada sahutan dari dalam. Pada akhirnya Marco membuka pintu dan masuk. Ia melihat adiknya sedang duduk di atas karpet bulu sambil bersandar di tepi tempat tidur.
"Elle ...," panggil Marco.
"Kak ... Bantu aku merayu Daddy. Maukah?" pinta Mirelle.
Marco melangkah hingga kini berada di hadapan Mirelle. Ia duduk dan mensejajarkan tubuhnya dengan adiknya itu.
"Elle," Marco memegang dagu Mirelle dan mengangkatnya hingga terlihat wajah Mirelle yang sudah basah dengan air mata.
Tanpa menunggu penjelasan Mirelle, Marco langsung memeluk Mirelle dengan erat. Ia tahu apa yang dirasakan oleh Mirelle saat ini.
"Kakak akan membantumu, tenang saja. Aku tak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi, meskipun itu sahabat kakak sendiri."
Mirelle membalas pelukan Marco dengan erat. Tubuhnya bergetar dan kembali terdengar isakan kecil. Marco mengelus rambut adiknya itu, mencoba untuk menenangkannya.
"Kakak akan membantu tapi kamu harus berjanji satu hal," ucap Marco.
"Hmm ...," Mirelle menatap Marco.
"Lupakan dia dan berbahagialah. Kakak tak ingin hanya karena seorang pria, kamu mengacaukan hidupmu sendiri. Kamu berhak bahagia. Bagaimana?"
Mirelle terdiam, tapi ketika ia kembali mengingat malam acara perpisahan dengan siswa siswi tingkat akhir, Mirelle pun menganggukkan kepalanya.
"Aku berjanji, Kak. Aku tak akan mengecewakanmu lagi."
Marco tersenyum kemudian mengacak rambut adiknya itu.
"Kalau begitu sekarang cucilah wajahmu, kita makan malam bersama. Kakak akan membantu sampai apa yang kamu inginkan tercapai," ucap Marco sambil tersenyum.
Mirelle bangkit dan berlari menuju kamar mandi. Ia mencuci wajahnya di wastafel dan menggunakan sedikit bedak untuk menutupi sembab di wajahnya.
*****
Setelah merayu Dad Miles dan Mom Lea, akhirnya Mirelle kini berdiri di bandara. Marco menemaninya dengan sebuah koper besar.
"Hubungi kakak saat kamu sampai di sana."
"Baiklah, Kak."
"Dan ... Ingat dengan janjimu," ucap Marco.
Mirelle tersenyum, "Aku tak akan mengecewakanmu, Kak. Tapi aku juga ingin kakak berjanji satu hal."
"Katakan."
"Jangan pernah katakan di mana aku berada, meski aku yakin ia tak akan mencariku dan tak akan peduli apa yang terjadi padaku," ucap Mirelle.
"Ingatlah bahwa akan selalu ada kakak untukmu. Kakak menyayangimu," ucap Marco.
"Terima kasih, Kak."
"Kakak akan mengunjungimu nanti," Mirelle pun menganggukkan kepalanya.
Dad Miles dan Mom Lea tidak ikut mengantarkan Mirelle karena memang Mirelle yang tak ingin. Ia takut akan menjadi sedih dan gagal pergi.
Setelah melewati proses pemeriksaan, Marco pun melepas kepergian Mirelle. Tak lupa ia mencium kening adiknya serta memeluknya erat.
Di tempat lain,
"Kamu mau ke mana, Raf?" tanya Mom Queen.
"Mencari Marco, Mom," jawab Rafael.
"Bisakah kamu menemani Mom ke supermarket? Mommy ingin memasak sesuatu untuk Daddy," pinta Queen.
Rafael menghela nafasnya pelan. Ia tak bisa menolak karena jarang jarang juga Mom Queen memintanya menemani. Sebenarnya ia ingin bertemu dengan Marco karena sudah dua minggu sejak acara perpisahan waktu itu, ia tak bertemu dengan sahabatnya itu. Ia hanya bertemu dengan Yasa yang akan kuliah di jurusan yang tak jauh berbeda dengannya.
"Bisa, Mom. Ayo!"
"Mommy ambil tas Mommy sebentar ya," Queen beranjak pergi ke kamar tidurnya untuk mengambil tas. Setelahnya mereka langsung berangkat ke supermarket.
Keesokan harinya, Rafael menghubungi Marco dan memintanya bertemu, tapi Marco beralasan bahwa ia sedang mengurus kuliahnya. Marco akan mengambil jurusan hukum, di mana lokasinya berbeda beberapa gedung dengan Rafael, meski masih di area yang sama.
"Aku akan menunggumu di tempat biasa, Mar," ucap Rafael.
"Kamu tak sibuk dengan kekasihmu, hmm?" tanya Marco seakan menyindir sahabatnya itu.
Dari ujung ponsel, terdengar Rafael yang menghembuskan nafasnya kasar.
"Kamu marah padaku, Mar?" tanya Rafael.
"Menurutmu?"
"Menurutku kamu marah."
"Kalau begitu tak usah bertanya sesuatu yang kamu sudah tahu apa jawabannya."
"Aku minta maaf, tapi aku melakukannya agar adikmu tak menggangguku lagi."
"Tak apa, mulai sekarang tak akan ada yang mengganggumu. Aku jamin itu."
Deggg
🧡🧡🧡