"Apa kamu sudah menemukan informasi tentangnya, Jackson?"
"Sudah, Kak. Aku yakin dia adalah dady kita."
Dua bocah laki-laki berusia 7 tahun itu kini menatap ke arah layar komputer mereka bersama-sama. Mereka melihat foto seorang Pria dengan tatapan datar dan dingin. Namun, dia memiliki wajah yang sangat tampan rupawan.
"Jarret, Jackson apa yang kalian lakukan?" Tiba-tiba suara seseorang membuat kedua bocah itu tersentak kaget.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon emmarisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3. Salah Orang
Ben menatap 2 orang anak buahnya dengan tatapan tajam. Pria itu meraih senjata yang ada di atas meja dan menodongkannya ke arah keduanya.
"Apa kalian bilang?"
"Wanita tadi kabur, Tuan."
"Apa kalian semua bodoh, hah?" suara Ben menggelegar membuat kedua anak buahnya langsung menunduk dengan tubuh bergetar.
"Saya akan perintahkan tim ITE untuk melacak keberadaan wanita itu, Tuan."
"Tidak Perlu, aku akan menghubungi Iriana untuk menanyakan keberadaan wanita itu," ujar Ben.
"Pergilah!" lanjut Ben sembari mengibaskan tangannya pada kedua anak buahnya.
Dia meraih ponsel di atas meja dan hendak menghubungi sang Mucikari yang bekerja di Klub malam milik sahabatnya itu. Namun, rupanya ponselnya telah lebih dulu bergetar. Ben segara mengangkat panggilan dari Iriana itu.
"Apa kau tahu kesalahanmu, Iriana?"
("I-iya, Tuan. Orangku lari sebelum melaksanakan tugasnya. Maafkan aku, aku akan ganti uangmu, Tuan.")
Alis Ben mengernyit dalam, alisnya yang tebal kini bertaut.
"Apa yang kau katakan?"
("Maafkan aku, orangku pergi sebelum melakukan tugasnya. Aku juga sudah memecatnya. Secepatnya aku akan kembalikan uangmu itu.")
Ben lantas mematikan sambungan teleponnya begitu saja. Ramos merasakan perubahan aura atasannya yang berubah kelam.
"Apa ada yang salah, Tuan?"
"Apakah kau memilih orang-orang bodoh itu tanpa menyeleksi nya terlebih dahulu?" sarkas Ben. Ramos tak mengerti apa maksud bosnya itu. Dia mencoba menerka-nerka apa yang terjadi hingga membuat mood bosnya begitu buruk.
"Maaf, Tuan, tapi saya tidak mengerti."
"Tanyakan pada anak buahmu, siapa yang tadi mereka bawa ke kamarku. Bisa-bisanya mereka mengelabuhiku dengan membawa wanita lain. Aku tidak akan membiarkan benih-benihku tumbuh di sembarangan wanita. Panggil mereka semua kemari."
Benjamin mengusap wajahnya kasar. Baru kali ini dia merasa bodoh. Dia pergi meninggalkan ruang laboratoriumnya dan masuk ke dalam kamar. Ben melihat selimut yang tadi membungkus tubuh wanita itu terongok di lantai. Ben menyalakan lampu utama kamarnya. Bercak darah yang ada di bedcover menandakan bahwa wanita itu benar-benar masih murni. Bahkan aroma lembut parfum wanita itu kini menggelitik indra penciuman Ben.
"Siapa kamu sebenarnya?" desis Ben. Jujur terbesit rasa bersalah di hati pria itu. Bagaimana tidak? wanita itu menjadi pelampiasan naf*sunya disaat dia tergolek tak berdaya.
Tiba-tiba Emosi kembali menguasai hati dan pikiran Ben. Dia berjalan keluar dan kembali ke ruang laboratoriumnya.
"Di mana mereka, Ramos?"
"Mereka semua sedang menuju kemari, Tuan."
Ramos tidak berani bersuara lagi saat melihat wajah tak bersahabat atasannya itu. Bahkan untuk menguap pun rasanya Ramos tak berani. Hari sudah hampir kembali terang, tapi dia masih harus bersikap selalu siap sedia.
Ketujuh anak buah Ben berdiri di depan bosnya dengan tatapan terus menunduk ke bawah.
"Siapa wanita yang kalian bawa ke kamarku?"
Salah satu dari ketujuh orang itu langsung maju dan berlutut di depan Ben.
"A-ampuni kami, Tuan. Kami tidak tahu siapa dia, kami memang salah menangkap orang malam itu."
"Enteng sekali kamu bilang? Kau tidak berpikir efeknya?" Ben melempar hiasan meja ke tubuh pria yang sedang berlutut itu.
"Apa kau berpikir untuk membodohiku, hah?"
"Kami bersalah, Bos. Ampuni kami." Keenam orang lainnya ikut berlutut di depan Benjamin.
Benjamin mengusap wajahnya kasar. "Pergi kalian! dan jangan pernah tunjukkan wajah kalian lagi di hadapanku."
"Ma-af, Tuan. kami memang bersalah tapi Ricco tidak terlibat. Biarkan dia bekerja di sini. Dia butuh banyak biaya untuk pengobatan ayahnya," ujar Pria pertama yang berlutut di depan Ben tadi.
"Kau cukup berani untuk menginterupsiku rupanya."
"Kalian berlima pergi dari sini dan kau Ricco tetap tinggal di sini, begitu juga denganmu."
Kelima anak buah Ben itu langsung pergi. Beruntung nyawa mereka tidak melayang. Mereka sangat berterima kasih pada Paolo yang menyelamatkan nyawa mereka semua.
Setelah kelima anak buahnya pergi, Ben menatap kedua bawahannya. Sesaat ia menghela napas panjang.
"Siapa namamu?"
"Paolo, Tuan."
"Kau tahu apa kesalahanmu?"
"Tahu, Tuan. Saya siap menerima semua konsekuensinya."
"Cari wanita itu dan jadilah mata untukku," ujar Benjamin. Paolo mengangguk dengan mantap.
"Baik, Tuan."
"Pergilah!" Paolo langsung bergegas pergi. Dia harus bisa membuktikan pada atasannya jika dia masih bisa diandalkan.
"Ricco, apa kau juga menyadari apa kesalahanmu?"
"Ya, Tuan."
"Kali ini aku memaafkan dirimu karena kau anak yang berbakti. Aku tidak suka ada orang yang melakukan kesalahan. Aku paling benci ketidaksempurnaan. Kau tahu, seharusnya hari ini aku membunuh kalian semua yang sudah berani menipuku."
"Ma-maaf, Tuan," ujar Ricco sembari menundukkan kepalanya.
"Ramos, kau ajari dia bagaimana agar bisa menjadi orangku dan cepat cari pengganti orang-orang tadi. Aku mau mereka yang sudah terlatih bukan anak kemarin sore."
"Baik, Tuan." Ramos dan Rico langsung keluar dari ruangan Ben.
***
Sementara itu, Giani kini tiba di rumahnya setelah berhasil lolos dari kejaran orang-orang tadi. Giani tidak langsung turun dari mobilnya. Dia menelungkupkan wajahnya di stir mobil.
Air mata Giani seketika mengalir dengan deras. Dadanya terasa sesak. Entah kesalahan apa yang dia buat. Dia tidak merasa menyinggung siapapun, tapi dia ingat jika siang tadi dia sempat mengatai pemilik laboratorium. Apa hanya karena itu dirinya pantas diperlakukan begitu? tapi benarkah begitu? atau ini hanya kebetulan belaka?
Kepala Giani terasa berdenyut, dia pun akhirnya tertidur di dalam mobilnya hingga pagi menjelang. Wanita itu tersentak kaget saat kaca mobilnya di gedor dari luar. Dia tampak linglung. Namun, tak berselang lama, Giani tersadar. Dia menurunkan kaca mobilnya.
"Bagus, ya? semalaman tidak pulang. Apa kau diam-diam punya kekasih?" tanya Gilbert, ayah Giani.
"Semalam aku lembur dan kecapekan, Pah."
"Kalau begitu sekarang keluarlah dan mandi.".
"Hmm, ya. Baiklah."
Giani dengan malas keluar dari mobilnya. Dia mengikuti langkah cinta pertamanya itu masuk ke rumah.
"Papa belum berangkat?"
"Bagaimana bisa papa berangkat kerja sedang kamutidak ada kabar sama sekali," sahut Gilbert. Pria paruh baya itu menuang susu ke gelas kosong di depan putrinya.
"Apa papa tidak ingin cari pengganti mama?" tanya Giani. Gilbert menggelengkan kepalanya.
"Dalam hati papa sudah tidak ada tempat lain lagi untuk dimasuki orang baru. Papa sudah tua, di sisa umur papa, papa hanya ingin melihatmu bahagia dengan pria pilihanmu."
"Jangan bicara yang bukan-bukan. Papa pasti akan panjang umur dan bisa melihat cucu-cucu papa tumbuh dewasa."
Giani berdiri memeluk papanya. Air matanya kembali tumpah. Dia merasa sangat bersalah pada papanya karena tidak bisa menjaga kesuciannya.
"Maafkan aku, Papa," batin Giani.