NovelToon NovelToon
Dokter Bar-Bar Kesayangan Mafia Tampan

Dokter Bar-Bar Kesayangan Mafia Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Dokter Genius / Beda Usia / Roman-Angst Mafia
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: Seraphine E

Dibesarkan oleh kakeknya yang seorang dokter, Luna tumbuh dengan mimpi besar: menjadi dokter bedah jantung. Namun, hidupnya berubah pada malam hujan deras ketika seorang pria misterius muncul di ambang pintu klinik mereka, terluka parah. Meski pria itu menghilang tanpa jejak, kehadirannya meninggalkan bekas mendalam bagi Luna.

Kehilangan kakeknya karena serangan jantung, membuat Luna memilih untuk tinggal bersama pamannya daripada tinggal bersama ayah kandungnya sendiri yang dingin dan penuh intrik. Dianggap beban oleh ayah dan ibu tirinya, tak ada yang tahu bahwa Luna adalah seorang jenius yang telah mempelajari ilmu medis sejak kecil.

Saat Luna membuktikan dirinya dengan masuk ke universitas kedokteran terbaik, pria misterius itu kembali. Kehadirannya membawa rahasia gelap yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan Luna. Dalam dunia penuh pengkhianatan dan mimpi, Luna harus memilih: bertahan dengan kekuatannya sendiri, atau percaya pada pria yang tak pernah ia lupakan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29

Hujan turun dengan deras di luar jendela aula besar. Gemuruhnya menjadi latar suara yang kontras dengan keheningan tegang di dalam ruangan. Hari ini adalah pengumuman hasil ujian.

Di barisan depan, Luna duduk dengan tenang, meskipun ada rasa aneh menggelayuti pikirannya. Biasanya, ia yakin dengan hasilnya. Namun, kali ini, firasat buruk menyelinap ke dalam benaknya, seperti bayangan yang tak terlihat.

Clara, di sisi lain, duduk di seberang ruangan, senyum kecil yang nyaris tak terlihat menghiasi bibirnya. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme santai, menunjukkan kepuasan yang tidak tersembunyi.

Ketika nama-nama mulai dipanggil satu per satu, Luna menyimak dengan saksama, menunggu namanya disebut untuk peringkat teratas seperti biasanya. Namun, semakin banyak nama berlalu tanpa mendengar miliknya, jantungnya mulai berdebar lebih keras.

Hingga akhirnya...

“Peringkat terbawah: Luna Harrelson dengan nilai 430 poin.”

"Mustahil!!!" Teriak Dr Adrian Lowell.

Kata-kata itu menggema di ruangan seperti pukulan palu di atas baja. Keheningan yang menyusul begitu tajam hingga semua orang bisa mendengar helaan napas tertahan.

Clara tidak bisa menyembunyikan senyumnya kali ini. Dia melirik Luna dari sudut matanya, menikmati setiap detik keterkejutan itu. Sementara itu, para siswa di sekitar mulai berbisik.

Luna terdiam di kursinya, dadanya naik turun dengan napas tertahan. Peringkat terbawah? Tidak mungkin. Tidak dalam hidupnya. Kepalanya berputar memikirkan setiap detail ujian itu. Semua jawabannya terasa benar, dan bahkan jika ada yang salah, tidak mungkin nilainya jatuh sejauh itu.

“Ini tidak masuk akal.” Suaranya memecah keheningan, tegas namun dingin. Dia berdiri, memandang langsung ke arah meja para pengawas. “Saya ingin melihat lembar jawaban saya.”

Pengawas ujian yang bertugas memimpin pengumuman, mengerutkan alis. “Nona Luna, hasil sudah final. Anda tidak bisa membuat keributan"

“Final?” Luna mendengus, suaranya sarat dengan kemarahan yang terkendali. “Bagaimana bisa final jika ini salah? Saya yakin dengan jawaban saya. Saya tidak akan pergi dari sini sampai saya melihat lembar jawaban saya.”

Ruangan itu mulai bergemuruh dengan bisikan-bisikan. Clara merasa keringat dingin mulai mengalir di tengkuknya, tapi dia tetap memasang wajah percaya diri.

"Aku bisa menjamin jika Luna tidak mungkin mendapatkan hasil seperti ini, untuk keadilan, akan lebih baik jika kita melihat lembar jawaban Luna" kata Dr. Adrian yang juga berada disana,

Pengawas wanita itu tak berkutik, dia akhirnya mengangguk ke arah seorang rekannya untuk mengambil lembar jawaban milik Luna.

Ketika lembar itu diletakkan di atas meja, Luna melangkah maju dengan percaya diri. Matanya menyapu kertas itu, dan dalam beberapa detik, dia tahu. Itu bukan lembar jawabannya. Tulisan tangan itu, cara penulisan angka, meskipun terlihat mirip, tapi terdapat perbedaan yang signifikan. Dan ada satu hal yang paling mencolok yang dia tahu hanya dia yang mengetahuinya.

“Ini bukan milikku,” katanya, suaranya dingin seperti es.

Pengawas itu menghela napas panjang. “Apa buktimu, Nona Luna? Jelas-jelas disini tertulis nama anda”

Luna menatapnya, matanya bersinar dengan intensitas yang membuat wanita tua itu mundur setengah langkah. “Sebelum saya menyerahkan lembar ujian, saya menggambar sesuatu di bagian belakang kertas. Sebuah kelinci kecil. Coba periksa CCTV jika Anda tidak percaya.”

Kejutan menyelimuti ruangan. Semua mata kini tertuju pada pengawas wanita itu, yang tampak semakin tidak nyaman. Akhirnya, Dr Adrian pun segera menyuruh seorang teknisi untuk memutar rekaman CCTV dari hari ujian.

Beberapa menit kemudian, rekaman itu muncul di layar besar di depan ruangan. Dalam rekaman tersebut, terlihat jelas Luna menyerahkan lembar jawabannya kepada pengawas. Dan saat dia melakukannya, dia memiringkan kertasnya, memperlihatkan sesuatu di bagian belakang dengan cepat.

“Perbesar,” perintah Dr. Adrian.

Gambar kelinci kecil itu terlihat jelas di layar.

Ruangan kembali sunyi. Clara menahan napas, tubuhnya kaku di kursinya.

Luna menyilangkan tangan di depan dada, matanya menatap langsung ke arah Clara, yang kini pucat pasi. “Dan sekarang, mari kita periksa lembar jawaban yang tadi Anda tunjukkan kepada saya.”

Wanita itu membalik kertas yang ada di meja. Kosong. Tidak ada gambar apa pun.

Semua mata kini beralih ke Luna yang tampak jauh lebih percaya diri.

“Lembar jawabanku telah ditukar,” kata Luna, suaranya tegas dan penuh kemenangan. “Dan saya ingin tahu siapa yang bertanggung jawab atas ini.”

"Jadi dimana lembar jawabanku yang sebenarnya?" Tanya Luna tajam, Wanita itu tampak gelisah melirik ke arah Clara, sementara Clara akhirnya kehilangan kendali. Dia berdiri dengan tergesa-gesa, suaranya meninggi. “Ini hanya kebetulan! Bagaimana kau bisa yakin ada yang memanipulasi?”

Luna melangkah mendekatinya, senyum dingin menghiasi wajahnya. “Kebetulan, ya? Lucu sekali kau bilang begitu. Karena entah bagaimana, setiap kali sesuatu yang buruk terjadi padaku, kau selalu ada di sekitarnya.”

Clara membuka mulut untuk membalas, tapi suaranya tenggelam oleh desas-desus para siswa.

Dr. Adrian mengangkat tangannya, menenangkan ruangan. “Ini pelanggaran serius. Kami akan menyelidiki masalah ini lebih lanjut. Tapi untuk saat ini, saya nyatakan nilai Luna akan diperiksa ulang. Jika ternyata dia benar, maka peringkatnya akan diperbaiki.”

Beberapa jam kemudian, hasil resmi baru diumumkan, setelah Luna melakukan ujian ulang, akibat lembar jawabannya yang tidak ditemukan.

Luna, lolos dengan nilai sempurna, dinyatakan sebagai top scorer. Semua siswa bertepuk tangan, meskipun beberapa melakukannya dengan setengah hati.

"Luna,” katanya pelan, namun cukup tegas untuk menunjukkan niat baiknya. “Aku berjanji akan menyelidiki masalah ini hingga tuntas. Ini benar - benar memalukan, beraninya ada yang menukar lembar jawabanmu —”

Luna, yang masih berdiri di depan aula dengan punggung lurus seperti seorang ratu di medan perang, memotongnya dengan suara lembut namun mematikan. “Tidak perlu, Dr. Adrian.”

Lelaki itu mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”

Luna menoleh perlahan, matanya membara dengan ketenangan berbahaya. “Saya sudah tahu siapa pelakunya. Dan saya akan menangani ini sendiri.”

Dr. Adrian terdiam, terkesiap oleh ketegasan gadis itu. Ia hanya mampu mengangguk samar, membiarkan Luna melewati dirinya, menyaksikan dengan rasa penasaran bercampur gentar saat gadis itu melangkah mantap menuju barisan kursi di sisi lain aula.

Luna berhenti tepat di depan Clara, yang tampak seperti patung, beku di tempatnya. Semua warna telah menghilang dari wajahnya, namun dia tetap berusaha mempertahankan fasad tenang—meskipun matanya yang berkedip cepat dan jemarinya yang meremas tepi meja mengkhianati rasa gelisahnya.

Luna menatapnya dengan intensitas yang bisa menembus baja. Suara bisikan para siswa di sekitarnya mulai memudar, aula yang penuh sesak itu terasa seperti hanya diisi oleh dua orang: Luna dan Clara.

“Kau menikmati ini?” tanya Luna dengan nada rendah, dingin, dan tajam seperti pisau yang baru diasah.

Clara mendongak perlahan, mencoba tersenyum. “Aku tidak tahu apa yang kau maksud.”

“Oh, kau tahu persis apa yang kumaksud.” Luna menyilangkan tangan di dadanya, posturnya penuh kendali. “Lembar jawabanku ditukar. Nilai-nilai itu dimanipulasi. Dan kau berdiri di sini, mencoba berpura-pura tak bersalah, padahal kau yang berada di balik semua ini kan?”

Clara mendengus pelan, tapi senyumnya goyah. “Kau benar-benar paranoid, Luna. Apa kau pikir semua orang di dunia ini ingin menjatuhkanmu?”

“Aku tidak paranoid,” balas Luna, suaranya semakin rendah namun lebih berbahaya. Dia melangkah lebih dekat, hingga hanya ada jarak beberapa inci di antara mereka. “Aku hanya pintar. Lebih pintar dari yang kau kira. Kau mungkin bisa menipu orang lain, tapi aku tahu siapa dirimu sebenarnya, Clara.”

Clara berdiri dengan gerakan cepat, membuat kursinya bergeser dengan bunyi kasar. Matanya memancarkan rasa frustrasi, tapi dia menolak untuk kalah begitu saja. “Kau tidak punya bukti apa pun,” katanya, berusaha terdengar yakin, meskipun suaranya sedikit bergetar.

Luna mendekatkan wajahnya, berbicara dengan nada yang hanya bisa didengar oleh Clara. “Bukti? Aku tidak membutuhkannya. Dari gerak - gerikmu saja semua orang sudah tahu siapa dalang dibalik kejadian ini.” Dia mundur sedikit, memberi ruang pada Clara untuk menyerap kata-katanya. “Kau kalah, Clara. Lagi.”

Clara mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Tapi dia tahu tidak ada gunanya melanjutkan argumen ini. Mata-mata para siswa lain seperti pisau yang menusuk dari segala arah, dan rasa malu mulai membakar wajahnya.

“Lakukan sesukamu, Luna,” katanya akhirnya, dengan suara kecil yang penuh kebencian. “Tapi jangan pernah berpikir aku tidak bisa mengalahkanmu.”

Clara lalu meraih tasnya, mengangkat dagu dengan usaha terakhir untuk menunjukkan martabat yang tersisa. Dia berjalan cepat keluar dari aula, langkah-langkahnya menggema di lantai yang dingin.

Luna menatap punggungnya yang menjauh dengan ekspresi yang tak terbaca, namun bibirnya melengkung menjadi senyum tipis.

...****************...

1
dheey
bagussss luna!!!
Ratna Fika Ajah
Luar biasa
Nurwana
mo tanya thor... emang umur Luna dan Lucius berapa???
Seraphine: Perbedaan usia 8 tahun
Jadi waktu Luna masih SMA dia 18 tahun.
dan si Lucius ini ngempet dulu buat deketin Luna sampai si Luna lulus jadi dokter dulu, karena bab2 awal dia masih abege 🤣✌️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!