Gray adalah seorang anak yang telah kehilangan segalanya karena Organisasi jahat yang bernama Shadow Syndicate dia bahkan dijadikan Subjek Eksperimen yang mengerikan, namun dalam perjalanannya untuk menghentikan Organisasi tersebut, ia menemukan teman yang mengalami nasib sama sepertinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
008 - Neraka (3)
Entah berapa lama, Gray terbangun. Matahari, redup dan pucat, menyinari wajahnya. Udara terasa lebih segar daripada di dalam bangunan gelap dan berbau busuk itu. Racunnya, yang seharusnya menghancurkan tubuhnya, hanya meninggalkan rasa lelah yang amat sangat dan sedikit pusing. Anehnya, ia merasa lebih baik daripada yang ia perkirakan. Luka-lukanya masih terasa nyeri, namun tidak mengancam jiwanya. Dengan susah payah, ia menegakkan tubuhnya, otot-ototnya terasa kaku dan pegal.
Bangunan tempat ia pingsan ternyata sebuah reruntuhan kuno, setengah terkubur dalam tanah. Dinding-dindingnya yang terbuat dari batu hitam telah lapuk oleh waktu, dipenuhi lumut dan tanaman merambat yang menjalar. Di sekitarnya, hanya tampak hamparan tanah tandus, dihiasi beberapa pohon mati yang rantingnya kering dan rapuh. Langit di atasnya berwarna abu-abu kusam, tanpa sedikitpun cahaya mentari yang cerah. Suasana mencekam, sunyi, kecuali desiran angin yang berbisik di antara reruntuhan.
Gray perlahan-lahan berjalan keluar dari bangunan itu. Ia menyadari bahwa ia berada di sebuah lembah yang luas dan terpencil. Di kejauhan, ia melihat sebuah pegunungan yang menjulang tinggi, puncaknya tertutup kabut tebal. Gunung-gunung itu tampak gelap dan menyeramkan, memancarkan aura misterius dan mengancam. Di bawah langit abu-abu yang suram, lembah itu terlihat seperti neraka di bumi.
Saat ia melangkah lebih jauh, ia mendengar suara gesekan ranting dan dedaunan. Ia meraih sepotong kayu yang masih ia pegang erat – satu-satunya senjata yang tersisa sejak hari penculikannya. Degup jantungnya berpacu. Apakah ia sendirian di tempat ini? Atau apakah bahaya lain masih mengintainya? Ia harus berhati-hati. Kemampuannya untuk bertahan hidup sampai sekarang adalah hasil dari keberuntungan dan sedikit kecerdasan, namun ia menyadari bahwa keberuntungan tidak selalu berpihak padanya. Ia harus bersiap menghadapi apa pun yang ada di depan. Ke mana ia harus pergi sekarang? Pegunungan di kejauhan tampak seperti tantangan yang berbahaya, namun juga mungkin menawarkan jalan keluar dari lembah kematian ini.
Berhati-hati, Gray mendekati reruntuhan. Bau busuk yang lebih menyengat daripada sebelumnya menusuk hidungnya; bau kematian dan pembusukan. Ia memeriksa dinding-dinding yang lapuk, mengetuknya dengan sepotong kayu. Beberapa bagian terasa rapuh, hampir hancur saat disentuh. Di satu sudut, ia menemukan celah kecil di antara batu-batu yang longgar. Dengan hati-hati, ia merangkak masuk, sepotong kayu dipegang siap untuk menghadapi apa pun yang mungkin ada di dalam.
Udara di dalam lebih pengap dan lembap. Obor yang ia nyalakan dari sisa-sisa api unggun di luar menerangi ruangan kecil yang gelap dan sempit. Di lantai, ia melihat tulang-tulang berserakan, putih dan rapuh, tercampur dengan tanah dan puing-puing. Sebuah tengkorak manusia, dengan rahang bawah yang terpisah, terletak di dekat dinding. Gray merasa bulu kuduknya merinding. Ini bukan hanya reruntuhan biasa; ini adalah kuburan.
Di tengah ruangan, ia menemukan sebuah meja batu yang runtuh sebagian. Di atasnya, tergeletak sebuah buku tua yang kulitnya terbuat dari bahan yang mirip kulit, berwarna kecoklatan dan rapuh. Halaman-halamannya tampak rapuh, hampir hancur menjadi debu saat disentuh, namun huruf-hurufnya masih terlihat samar. Gray mengambil buku itu dengan hati-hati, merasakan hawa dingin yang aneh mengalir dari halaman-halamannya. Ia mencoba membuka buku tersebut, tetapi halaman-halamannya lengket dan sulit dipisahkan. Saat ia berhasil memisahkan dua lembar halaman yang lengket, sebuah suara parau, hampir seperti bisikan angin, terdengar di telinganya.
"Jangan... sentuh..."
Gray tersentak kaget. Ia menjatuhkan buku itu, jantungnya berdebar kencang. Ia mendengarkan dengan seksama, mencoba menemukan sumber suara itu. Keheningan kembali menyelimuti ruangan kecil itu, hanya diselingi suara nafasnya sendiri yang terengah-engah. Apakah itu hanya halusinasi akibat kelelahan dan racun? Atau apakah sesuatu yang lain masih ada di dalam reruntuhan ini? Ia merasa ada mata yang mengawasinya dari kegelapan. Ketakutan yang dingin menggigit tulang punggungnya.
Hidung Gray tiba-tiba mengeluarkan darah segar, membasahi tangannya. Bukan hanya darah biasa; darahnya terasa panas, membakar. Seketika, ia merasakannya—aura korupsi yang sangat kuat, jauh lebih pekat daripada apa pun yang pernah ia rasakan sebelumnya, berasal dari buku itu. Itu bukan hanya korupsi; itu adalah inti dari kegelapan, sebuah kekuatan yang mengerikan yang mengancam akan menelannya bulat-bulat. Tanpa ragu, Gray berlari keluar dari ruangan sempit itu, meninggalkan buku tersebut di atas meja batu yang runtuh. Ia berlari sekencang mungkin, tak peduli dengan luka-lukanya yang masih terasa nyeri. Setiap langkah terasa berat, namun naluri bertahan hidupnya mengalahkan rasa sakit dan kelelahan. Ia harus menjauh dari sumber korupsi itu sebelum kekuatan gelap tersebut menghancurkannya.
Sesampainya di luar reruntuhan, Gray terhuyung-huyung, menopang tubuhnya pada dinding batu. Darah dari hidungnya masih terus mengalir, membasahi tanah kering di bawahnya. Ia terbatuk-batuk, merasakan hawa panas membakar tenggorokannya. Napasnya tersengal-sengal, dadanya terasa sesak. Ia menatap reruntuhan itu dari kejauhan, merasa ngeri. Aura korupsi masih terasa kuat, meskipun ia sudah berada beberapa meter jauhnya.
Saat ia berusaha mengatur napas, ia mendengar suara. Suara itu lemah, hampir tak terdengar, namun jelas berasal dari arah reruntuhan.
“Tolong…tolong…”
Suara itu memanggil-manggil namanya, lemah dan putus asa. Gray ragu. Naluri untuk melarikan diri masih sangat kuat, mengingatkannya akan bahaya yang baru saja ia alami. Namun, suara itu… ada sesuatu dalam suara itu yang membuatnya tak tega mengabaikannya. Ia harus memutuskan: melarikan diri dan menyelamatkan dirinya sendiri, atau kembali ke sumber kegelapan itu untuk menolong seseorang yang tidak dikenal.
Gray memutuskan untuk mengabaikan suara itu. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanyalah halusinasi, efek samping dari racun dan aura korupsi yang baru saja ia alami. Dengan langkah sedikit terhuyung, ia meninggalkan reruntuhan, menjauh dari lembah yang terasa semakin mencekam. Dalam hati, ia masih bertanya-tanya.
"Apa-apaan ini? Hanya sebuah buku bisa sampai sekuat itu? Memangnya apa isi nya?" Pertanyaan itu bergema dalam pikirannya, mencampur aduk dengan kelelahan dan rasa ngeri yang masih membekas.
Ia berjalan tanpa tujuan, mencari tempat yang lebih aman, tempat yang terbebas dari aura korupsi dan bayang-bayang kematian. Matahari, masih redup dan pucat, memberikan sedikit cahaya pada langkahnya. Tanah di bawah kakinya terasa keras dan berdebu. Sekilas, ia melihat sesuatu di kejauhan—sesuatu yang berkilauan di bawah sinar matahari yang lemah. Keingintahuan mendorongnya untuk mendekat. Objek berkilauan itu ternyata sebuah sungai kecil, airnya mengalir perlahan di antara bebatuan. Airnya tampak aneh berwarna kecokelatan, namun berbeda dengan udara yang terasa tercemar di sekitarnya.
Saat ia mendekat, ia mendengar suara gemericik air yang menenangkan, suara yang kontras dengan keheningan mencekam lembah itu. Di tepi sungai, ia melihat beberapa tanaman yang tampak lebih subur dibandingkan tanaman-tanaman mati di sekitarnya. Suasana di sini terasa lebih damai, lebih menenangkan daripada di lembah yang penuh dengan reruntuhan dan aura korupsi. Namun, kewaspadaannya tetap tinggi. Ia tahu bahwa keselamatan bukanlah sesuatu yang mudah didapat di dunia yang hancur ini. Ia duduk di tepi sungai, mencoba menenangkan pikirannya yang masih dihantui oleh kejadian di reruntuhan. Sementara itu, pertanyaan tentang buku misterius itu masih menggema dalam pikirannya.
"Apa yang membuat buku itu begitu kuat?"
Gumamnya, suaranya hampir tak terdengar di antara gemericik air sungai. Di kejauhan, ia melihat sesosok bayangan bergerak di dalam air. Apakah itu bahaya lain? Atau sekadar hewan? Ia harus memutuskan langkah selanjutnya.