Ini bukan kisah istri yang terus-terusan disakiti, tetapi kisah tentang cinta terlambat seorang suami kepada istrinya.
Ini bukan kisah suami yang kejam dan pelakor penuh intrik di luar nalar kemanusiaan, tetapi kisah dilema tiga anak manusia.
Hangga telah memiliki Nata, kekasih pujaan hati yang sangat dicintainya. Namun, keadaan membuat Hangga harus menerima Harum sebagai istri pilihan ibundanya.
Hati, cinta dan dunia Hangga hanyalah untuk Nata, meskipun telah ada Harum di sisinya. Hingga kemudian, di usia 3 minggu pernikahannya, atas izin Harum, Hangga juga menikahi Nata.
Perlakuan tidak adil Hangga pada Harum membuat Harum berpikir untuk mundur sebagai istri pertama yang tidak dicintai. Saat itulah, Hangga baru menyadari bahwa ada benih-benih cinta yang mulai tumbuh kepada Harum.
Bagaimana jadinya jika Hangga justru mencintai Harum saat ia telah memutuskan untuk mendua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeni Eka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Harum membuka mata saat terdengar suara decit pintu. Ia mengerjapkan mata beberapa kali sebelum menoleh ke arah suara berasal dan mendapati Hangga yang membuka pintu.
Pria yang telah menjadi suaminya itu memakai celana panjang warna moka dipadukan kaos oblong warna hitam. Entah kapan Hangga mengganti pakaiannya.
Hangga mendekati tempat tidur untuk mengambil sebuah bantal. Lalu membawa bantal itu ke atas sofa panjang di sudut kamar. Tampak sekali wajah kusut Hangga. Membuat Harum merasa bersalah sendiri. Merasa bersalah karena telah tertidur lebih dulu tanpa menunggu sang suami di malam pertamanya.
Harum mengira wajah mendung Hangga karena dirinya yang tertidur duluan.
Harum baru akan menyapa Hangga dan berniat meminta maaf. Namun urung sebab Hangga berucap lebih dulu.
“Kalau ibu tanya, bilang saja saya semalam di sini sama kamu.” Hangga berkata seraya menghempaskan tubuhnya di sofa tanpa sekilas pun menatap Harum.
“Kamu dengar saya enggak?” ulang Hangga, sebab tak ada jawaban dari Harum. Kali ini Hangga berucap dengan menatap Harum, meski tubuhnya tetap dalam posisi berbaring di sofa.
“Maksudnya gimana, Mas?” Harum memang tidak paham dengan apa yang diucapkan suaminya barusan.
“Saya enggak mau ibu ngomel-ngomel karena semalam saya ninggalin kamu. Bilang aja, semalam saya di sini sama kamu.”
Harum baru memahami perkataan Hangga saat sorot matanya jatuh pada jam dinding yang tergantung tepat di atas sofa. Benda bulat itu menunjukkan pukul 04.20.
Apakah itu berarti suaminya semalam tidak berada di kamar ini?
“Iya, Mas,” sahut Harum akhirnya.
“Mas Hangga mau tidur? Sebentar lagi subuh loh,” ujar Harum mengingatkan saat Hangga mulai memejamkan mata.
“Bangunin saya nanti jam setengah enam,” pesan Hangga masih dengan mata terpejam.
“Apa kita enggak berjamaah subuh dulu, baru setelah itu Mas tidur,” saran Harum.
Salat berjamaah bersama sang suami adalah salah satu kegiatan yang diimpikannya ketika sudah berumah tangga. Apalagi pria yang diam-diam sudah disukainya sejak dulu adalah yang menjadi imamnya.
Hangga membuka matanya dan menatap Harum dengan tatapan kesal. “Kamu bisa diem enggak? Tolong jangan berisik, saya mau tidur!” sentaknya.
Harum terkesiap beberapa saat. Tidak menyangka Hangga akan menyentaknya. Sentakan Hangga membuat dada Harum sedikit berdenyut nyeri.
Menuruti perintah Hangga, Harum membangunkan pria berwajah manis dengan lesung pipi itu pukul 05.30. Tidak sulit ternyata untuk membangunkan Hangga, hanya mengucap, “Mas Hangga bangun.” Suaminya itu langsung membuka mata, lalu masuk ke kamar mandi.
Harum duduk gelisah di tepi ranjang saat Hangga masih di dalam kamar mandi. Sejujurnya, berdua di kamar bersama Hangga membuat hatinya deg-degan. Maklum saja, Harum yang alim, tidak pernah memiliki hubungan spesial dengan seorang pria. Ia tidak memiliki banyak teman pria apalagi pacaran.
Beberapa saat kemudian, Harum bangkit dari duduknya. Daripada deg-degan tidak karuan, ia berpikir untuk pergi ke dapur saja. Siapa tahu di sana ada yang bisa dikerjakannya.
Baru Harum melangkah, terdengar pintu kamar mandi terbuka
“Mau ke mana?” tanya Hangga saat Harum sudah memegang kenop pintu hendak keluar kamar.
Harum menoleh ke belakang dan melihat sosok Hangga dengan wajahnya yang basah. Mungkin suaminya itu habis mencuci muka. Pikir Harum.
“Tunggu di sini. Habis ini saya ingin bicara sama kamu,” ujar Hangga sembari menghampar sajadah. Detik itu pula Harum paham jika wajah basah Hangga adalah karena air wudu.
“Iya, Mas.” Harum mengangguk. Kemudian ia duduk di sofa yang ditempati Hangga saat tidur tadi. Bibir ranumnya tersenyum kecil sembari memperhatikan Hangga salat.
Pria yang memakai sarung kotak-kotak warna biru dan atasan kaus yang sama yang dipakai tidur tadi itu sungguh imam idaman. Selain tampan, pria idolanya sejak kecil itu juga rajin beribadah. Betapa beruntungnya ia mendapatkan suami seperti Hangga.
Hangga telah menyelesaikan kewajiban dua rakaatnya. Harum menatap suaminya itu dengan rasa buncah yang memenuhi dada. Hangga yang tengah menengadahkan tangan berdoa itu sungguh tampak menawan di matanya, dan juga ... seksi.
Bagi Harum, pria seksi bukanlah yang memiliki perut kotak-kotak ala roti sobek, atau tubuh atletis bak binaragawan, tetapi pria yang beriman dan takut terhadap Tuhannya.
Percayalah, pria yang takut terhadap Tuhan dijamin akan memperlakukan pasangannya dengan sebaik-baiknya.
“Hey!” tegur Hangga saat melihat perempuan yang memakai jilbab coklat itu duduk melamun.
“Ya.” Harum terkesiap saat tiba-tiba Hangga sudah duduk di sofa yang sama dengannya dengan posisi berjarak. Harum di ujung kanan dan Hangga di ujung kiri. Tidak tampak seperti pasangan pengantin baru, melainkan mirip orang yang tengah musuhan.
“Saya mau, kita pulang hari ini,” ujar Hangga.
“Pulang ke mana, Mas?” tanya Harum kikuk.
“Pulang ke rumah saya lah,” jawab Hangga tegas. “Saya enggak bisa berlama-lama di sini karena besok harus kerja. Makanya saya minta kamu untuk bantu membujuk ibu supaya ibu mengizinkan kita pulang sekarang,” katanya lagi.
Sebenarnya Harum ingin bertanya lebih banyak lagi. ‘Memangnya besok Mas Hangga sudah masuk kerja? Memangnya enggak ada cuti nikah?’
Namun, pertanyaan itu hanya dilontarkan dalam hati.
Melihat raut wajah Hangga yang menyiratkan kekesalan, membuat Harum enggan untuk berbicara banyak.
Ngomong-ngomong Mas Hangga kesal kenapa? Apa karena semalam saya tidur duluan, sehingga malam pertama terlewat begitu saja? Batin Harum bertanya-tanya.
sungguh nikmat kn mas Hangga poligami itu 😈
yg bener nggak sadar diri
perempuan yang merendahkan diri sendiri demi cinta yg akhirnya di telan waktu