Alena: My Beloved Vampire
Sejak seratus tahun yang lalu, dunia percaya bahwa vampir telah punah. Sejarah dan kejayaan mereka terkubur bersama legenda kelam tentang perang besar yang melibatkan manusia, vampir, dan Lycan yang terjadi 200 tahun yang lalu.
Di sebuah gua di dalam hutan, Alberd tak sengaja membuka segel yang membangunkan Alena, vampir murni terakhir yang telah tertidur selama satu abad. Alena yang membawa kenangan masa lalu kelam akan kehancuran seluruh keluarganya meyakini bahwa Alberd adalah seseorang yang akan merubah takdir, lalu perlahan menumbuhkan perasaan cinta diantara mereka.
Namun, bayang-bayang bahaya mulai mendekat. Sisa-sisa organisasi pemburu vampir yang dulu berjaya kini kembali menunjukan dirinya, mengincar Alena sebagai simbol terakhir dari ras yang mereka ingin musnahkan.
Dapatkah mereka bertahan melawan kegelapan dan bahaya yang mengancam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syafar JJY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Keluarga Yang Baru
Chapter 28: Calon Menantu Reinhard
Jam ditangan Alberd menunjukkan pukul 1 siang ketika Alberd menekan bell pintu apartemen yang mengkilap itu. Alberd, masih mengenakan kemeja biru muda yang sedikit kusut setelah kuliah, berdiri sambil menggoyangkan kunci mobilnya dengan gugup.
Tak lama kemudian pintu Apartemen terbuka, Alena muncul dengan senyuman tipis. Gaun sederhana berwarna pastel yang ia kenakan memancarkan keanggunan yang tenang, tetapi tatapan matanya menyiratkan sedikit kegelisahan. Ini adalah pertama kalinya ia akan bertemu dengan orang tua Alberd, dan meski mereka sudah sepakat dengan cerita latar belakangnya, tetap saja ada ketegangan yang sulit ditepis.
Alberd tersenyum saat melihat Alena yang tampak anggun dengan gaun yang dia kenakan.
Alberd: "Kau sudah siap? Aku kira kau akan memilih pakaian lain dan membuatku menunggu lebih lama."
(Nada suaranya ringan, mencoba mencairkan suasana.)
Alena: (tersenyum kecil sambil memandang Alberd)
"Aku tidak butuh waktu lama untuk memilih, lagipula... aku tidak punya banyak baju."
Alberd: (tertawa lembut)
"Jadi, maksudmu aku harus membelikanmu lebih banyak baju? Baiklah, setelah ini kita akan mampir ke toko."
Alena: (menggeleng dengan senyum yang sedikit gugup)
"Tidak perlu, Alberd. Yang ini sudah cukup."
(Dia menatap ke arah pintu keluar, lalu mengambil napas dalam-dalam.)
"Bagaimana menurutmu? Apa orang tuamu akan menyukaiku?"
Alberd: (menatapnya serius, kemudian menyentuh bahu Alena dengan lembut)
"Tentu saja mereka akan menyukaimu. Aku yakin mereka akan terpesona pada pandangan pertama... seperti aku dulu."
Alena terdiam sejenak, lalu menunduk untuk menyembunyikan sedikit rona di wajahnya. Setelah itu, ia mengangkat wajah dengan senyum yang lebih percaya diri.
Alena: "Baiklah, aku percaya padamu. Ayo kita pergi."
Mereka meninggalkan apartemen dan menuju mobil Alberd, bersiap untuk makan siang bersama orang tua Alberd.
Dalam perjalanan Alberd menceritakan tentang kejadian dimana dia menolong seorang anak kecil saat akan ditabrak mobil.
Bagaimana dia menahan laju mobil hanya dengan satu tangan.
Alena mendengarnya dengan serius, dan dia berjanji akan membantu Alberd mengungkap misteri itu nantinya.
Di rumah keluarga Reinhard,
Ruang makan keluarga Reinhard tampak hangat dan terorganisir dengan baik. Sebuah meja kaca berbentuk melingkar berada di tengah ruangan, dihiasi berbagai hidangan yang tersusun rapi: ikan bakar berbalut rempah, udang goreng renyah, sup cumi-cumi berkuah bening, serta aneka buah-buahan segar. Aroma harum masakan memenuhi ruangan, membuat suasana terasa mengundang.
Stefani tampak sibuk menata hidangan di atas meja. Dengan gerakan cekatan, ia merapikan piring dan gelas sambil sesekali memberi instruksi kepada pelayan keluarga.
"Tolong bawakan jus dan gelas-gelasnya ke meja, ya," ucapnya dengan suara lembut namun tegas.
"Baik, Nyonya," jawab pelayan dengan sopan.
Tak lama, Grinfol muncul dari kamar setelah berganti pakaian. Ia mengenakan kemeja kasual yang rapi, memberikan kesan seorang kepala keluarga yang hangat. Matanya tertuju pada istrinya yang masih sibuk di ruang makan.
"Apakah Alberd sudah mengabari sesuatu?" tanyanya, suaranya berat namun penuh perhatian.
Stefani melirik suaminya sambil mengelap piring terakhir.
"Ya, satu jam yang lalu dia menelepon, katanya baru pulang kuliah dan akan langsung menjemput pacarnya. Tadi, lima belas menit lalu, dia mengirim pesan lagi. Mereka sedang dalam perjalanan ke sini," jelasnya sambil tersenyum kecil.
Grinfol mengangguk perlahan, lalu berjalan mendekati sofa kecil dekat meja makan. Ia duduk sambil melipat tangan di depan dada, senyum tipis menghiasi wajahnya.
"Artinya, dia benar-benar serius. Gadis itu pasti istimewa."
Stefani berhenti sejenak, menatap suaminya dengan lembut.
"Tentu saja, dia calon menantu kita. Aku ingin memastikan dia merasa diterima di sini, seperti keluarga sendiri," ucapnya dengan nada hangat.
Grinfol mengangguk setuju.
"Alberd bilang gadis itu punya latar belakang yang cukup sulit. Kehilangan keluarganya sejak kecil, tapi tetap tegar menjalani hidup. Gadis seperti itu sangat luar biasa."
Stefani tertegun mendengar kata-kata suaminya. Matanya sedikit berkaca-kaca sebelum ia tersenyum lembut.
"Ya, aku tidak sabar untuk bertemu dengannya. Kita harus memastikan tidak mengungkit masa lalunya dan membuatnya merasa nyaman di sini."
Grinfol mengangkat gelas kopi yang ada di hadapannya, tersenyum puas.
"Kamu benar. Dia akan menjadi bagian dari keluarga kita sekarang."
Tak lama kemudian, suara klakson terdengar dari luar.
“Pimpp… Pimpp…”
Stefani langsung menoleh dengan senyum cerah.
"Itu pasti mereka!" serunya penuh antusias. Ia meletakkan kain lap dan melangkah cepat ke ruang tamu. Grinfol segera mengikuti, meninggalkan kopinya di meja.
Chapter 29: Makan Siang Keluarga
Di depan rumah, mobil Alberd terparkir rapi. Pintu mobil terbuka, menampilkan sosok putra mereka yang melangkah keluar dengan penuh percaya diri. Tangannya menggandeng seorang wanita muda berambut hitam panjang yang tergerai indah tertiup angin. Wajah gadis itu tampak sedikit tegang, tapi matanya menyiratkan ketenangan yang ia coba pertahankan.
Stefani dan Grinfol terdiam sejenak. Kekaguman terlihat jelas di wajah mereka.
"Dia cantik sekali," bisik Stefani hampir tanpa suara.
Alberd melambaikan tangan sambil tersenyum.
"Ayah, Ibu..." sapanya dengan hangat.
Stefani langsung melangkah maju, wajahnya cerah penuh kehangatan. Ia meraih tangan Alena dengan lembut, menggenggamnya erat.
"Kalian sudah sampai! Ayo, cepat masuk. Kami sudah menunggu," ucapnya, seolah melupakan putranya yang berdiri di samping gadis itu.
Alena membalas senyuman Stefani, meski ada sedikit rasa gugup di matanya.
Grinfol, yang sedari tadi mengamati dengan senyum ramah, mendekati Alberd. Ia menepuk bahu putranya pelan.
"Selamat datang, Nak. Mari kita masuk," katanya hangat.
"Salam, Paman, Bibi" ujar Alena dengan sopan, menundukkan kepala sedikit.
Stefani tersenyum lebar, tatapannya lembut. Ia menyentuh pipi Alena dengan penuh kasih sayang.
"Jangan panggil kami begitu. Mulai sekarang, panggil kami Ayah dan Ibu, ya," ucapnya dengan nada tulus.
Alena tertegun sejenak, lalu mengangguk kecil. Senyumnya merekah, matanya sedikit berkaca-kaca. "Ya, Ibu... Ayah..." jawabnya dengan suara yang nyaris bergetar.
Grinfol tersenyum puas melihat reaksi itu. "Sekarang kita satu keluarga," tambahnya.
Ketegangan yang tadi menggelayuti hati Alena perlahan sirna. Ia merasa diterima sepenuhnya, seolah menemukan kembali kehangatan keluarga yang lama hilang darinya.
Mereka berjalan masuk ke ruang makan. Meja besar dengan hidangan lezat telah menanti.
"Silakan duduk, Nak," ucap Stefani sambil menunjuk kursi. Alberd dengan sigap menarikkan kursi untuk Alena, yang kemudian duduk dengan hati-hati.
Selama makan siang, suasana berlangsung hangat. Stefani dan Grinfol sesekali bertanya hal-hal ringan tentang Alena, sementara Alberd dengan penuh perhatian melayani kekasihnya.
"Oh ya, Ibu dengar kamu dekat dengan Nina," ucap Stefani.
"Kami senang mengetahuinya. Anggap saja dia seperti adikmu sendiri."
Alena tersenyum hangat.
"Ya, Bu. Nina gadis yang sangat ceria. Aku senang bisa mengenalnya," jawabnya tulus.
Pembicaraan itu terus berlanjut, diiringi tawa kecil dan candaan ringan. Bagi Alena, makan siang itu adalah momen yang tak terlupakan.
Setelah hidangan hampir habis, suasana di meja makan masih hangat dengan canda ringan. Grinfol meletakkan gelasnya ke meja dan menatap Alena dengan senyum dan aura hangat seorang Ayah.
"Alena, kamu gadis yang luar biasa. Kami senang Alberd memilihmu. Kami yakin dia akan lebih bahagia bersamamu."
Mendengar itu, Alena tersenyum lembut, sedikit tersipu.
"Terima kasih, Ayah. Aku juga merasa sangat beruntung bisa bertemu Alberd dan sekarang bertemu keluarga yang begitu baik seperti ini."
Stefani menyela dengan suara hangatnya.
"Ah, jangan terlalu resmi begitu, Alena. Anggap saja ini rumahmu juga, dan keluarga kami adalah keluargamu."
"Terima kasih, Bu... Aku sangat bersyukur," jawab Alena sambil menahan emosi.
Alberd menepuk punggung tangan Alena dengan lembut.
"Sudah kubilang, keluargaku pasti menyukaimu," ujarnya dengan senyum yakin.
Grinfol tertawa kecil lalu berdiri.
"Baiklah, aku rasa kita sudah selesai makan. Nanti kita bisa ngobrol lagi sambil bersantai. Alberd, bantu Ibumu sebentar dengan piring-piring ini."
Namun, sebelum Stefani sempat menjawab, suara ponsel Alberd bergetar di atas meja. Dia meraih ponsel itu dan membaca pesan yang masuk.
"Ah, ini dari Nina," ucap Alberd sambil tersenyum.
"Apa katanya?" tanya Stefani, penasaran.
"Dia bilang tugas tambahan di kampusnya sudah selesai, dan dia akan segera pulang," jawab Alberd sambil memasukkan ponselnya ke saku.
Stefani mengangguk.
"Kalau begitu, Alberd, jemput adikmu di kampus. Sementara itu, aku ingin mengajak Alena ke butik milikku. Ada beberapa pakaian yang ingin Ibu pilihkan untukmu, Alena."
Alena terkejut, matanya membesar sedikit.
"Oh, tidak perlu repot-repot, Bu. Aku sudah punya cukup pakaian."
Stefani tersenyum sambil menggeleng lembut.
"Sayang, ini bukan soal perlu atau tidak. Anggap saja ini hadiah kecil dari Ibu untukmu. Lagipula, aku suka melihat calon menantuku terlihat cantik dengan pilihan bajuku."
Grinfol menyela dengan anggukan setuju.
"Ibumu punya selera yang bagus, Alena. Percayalah, kamu pasti menyukai pilihannya."
Alena akhirnya tersenyum sambil mengangguk pelan.
"Kalau begitu, aku akan ikut. Terima kasih, Bu."
"Bagus!" Stefani tersenyum lebar.
"Ayo, kita pergi sekarang."
Di halaman rumah, Grinfol sudah menyiapkan mobilnya untuk berangkat bersama Stefani dan Alena. Sementara Alberd masuk ke mobilnya sendiri, bersiap menjemput Nina di kampus.
Alberd melambaikan tangan ke arah Alena sebelum masuk mobil.
"Kalau Nina protes kenapa hanya aku yang jemput, aku akan bilang itu ide Ibu."
Stefani tertawa kecil sambil menggeleng.
"Nina tidak akan protes. Dia pasti senang kamu datang menjemput."
Alberd melirik Alena dan tersenyum lembut.
"Aku akan kembali secepatnya. Nikmati waktu dengan Ibu, ya."
Alena tersenyum, kali ini lebih santai.
"Baiklah, hati-hati di jalan."
Mobil Alberd melaju keluar gerbang, sementara Grinfol membuka pintu mobilnya untuk Alena dan Stefani.
"Ayo, Alena. Ibu sudah tidak sabar menunjukkan butikku padamu," ucap Stefani antusias.
Alena tersenyum kecil, kemudian masuk ke dalam mobil. Grinfol menutup pintu dan duduk di belakang kemudi. Mobil itu perlahan melaju, meninggalkan rumah dengan suasana hangat yang tersisa.
Beberapa bulan telah berlalu sejak pertemuan pertama Alena dengan keluarga Reinhard. Sejak saat itu, hari-hari Alena dipenuhi kehangatan yang tak pernah dia rasakan sebelumnya.
Di rumah keluarga Reinhard, dia tak lagi merasa sendirian. Hubungannya dengan Alberd pun semakin erat, hingga keduanya saling memahami tanpa banyak kata.
Alena juga sering membantu Alberd untuk melatih kekuatannya, dia mengajari Alberd cara mengfokuskan energi.
Setelah satu bulan Alberd akhirnya berhasil sedikit menguasai kekuatannya.
Namun, di balik semua itu, Alena tak bisa mengabaikan firasat ganjil yang terus menghantui... sesuatu yang gelap sedang mengintai.
makasih Thor 👍 salam sehat selalu 🤗🙏
Bagian awal di bab pertama harusnya jangan dimasukkan karena merupakan plot penting yang harusnya dikembangkan saja di tiap bab nya nanti. Kalau dimasukkan jadinya pembaca gak penasaran. Kayak Alena kenapa bisa tersegel di gua. Lalu kayak si Alberd juga di awal. Intinya yang tadi pakai tanda < atau > lebih baik tidak dimasukkan dalam cerita.
Akan lebih baik langsung masuk saja ke bagian Alberd yang dikejar dan terluka hingga memasuki gua dan membangunkan Alena. Sehingga pembaca akan bertanya-tanya, kenapa Alberd dikejar, kenapa Alena tersegel di sana dan lain sebagainya.
Jadi nantinya di bab yang lain nya akan membuat keduanya berinteraksi dan menceritakan kisahnya satu sama lain. Saran nama, harusnya jangan terlalu mirip atau awalan atau akhiran yang mirip, seperti Alena dan Alberd sama-sama memiliki awalan Al, jadi terkesan kembar. Jika yang satu Alena, nama cowoknya mungkin bisa menggunakan awalan huruf lain.
Novel ini adalah karya pertama saya, sekaligus debut saya sebagai seorang penulis.
Mengangkat tema vampir dan bergenre romansa-fantasy yang dibalut berbagai konflik dalam dunia modern.
Novel ini memiliki dua karakter utama yang seimbang, Alena dan Alberd.
Novel kebanyakan dibagi menjadi dua jenis; novel pria dan novel wanita.
Novel yang bisa cocok dan diterima oleh keduanya secara bersamaan bisa dibilang sedikit.
Sehingga saya sebagai penulis memutuskan untuk menciptakan dua karakter utama yang setara dan berusaha menarik minat pembaca dari kedua gender dalam novel pertama saya.
Saya harap pembaca menyukai novel ini.
Selamat membaca dan terima kasih,
Salam hangat dari author.