Seorang anak terlahir tanpa bakat sama sekali di dunia yang keras, di mana kekuatan dan kemampuan ilmu kanuragan menjadi tolak ukurnya.
Siapa sangka takdir berbicara lain, dia menemukan sebuah kitab kuno dan bertemu dengan gurunya ketika terjatuh ke dalam sebuah jurang yang dalam dan terkenal angker di saat dia meninggalkan desanya yang sedang terjadi perampokan dan membuat kedua orang tuanya terbunuh.
Sebelum Moksa, sang guru memberinya tugas untuk mengumpulkan 4 pusaka dan juga mencari Pedang Api yang merupakan pusaka terkuat di belahan bumi manapun. Dialah sang terpilih yang akan menjadi penerus Pendekar Dewa Api selanjutnya untuk memberikan kedamaian di bumi Mampukah Ranubaya membalaskan dendamnya dan juga memenuhi tugas yang diberikan gurunya? apakah ranu baya sanggup menghadapi nya semua. ikuti kisah ranu baya hanya ada di LEGENDA PENDEKAR DEWA API
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fikri Anja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LPDA 3
Semua yang dilihatnya terasa berputar-putar dan dia pun akhirnya jatuh pingsan.
"Hahahaha ... berani macam-macam denganku pasti akan menemui bencana!" teriak Sanjaya dengan begitu sombongnya.
Keempat teman Sanjaya juga ikut tertawa lepas begitu tahu kalau Ranu telah pingsan.
Tak lama kemudian, Sanjaya kemudian mengajak teman-temannya untuk pergi dari tempat itu meninggalkan Ranu yang sudah terkapar pingsan.
Tiga jam lamanya Ranu pingsan.Akhirnya dia sadar lalu memegangi kepalanya yang benjol terkena tendangan Sanjaya. Sambil menahan nyeri, dia lalu berdiri dan memandang ikatan rumput yang masih tetap berada di tempatnya.
"Syukurlah mereka tidak membuang rumput itu," pikirnya.
Ranu kemudian mengangkat ikatan rumput tersebut dan menaruhnya di atas kepalanya.
Sambil berjalan, dia terus berpikir kenapa jurus Pukulan Dewa Api yang dia pelajari tidak bisa digunakan? Di mana letak kesalahannya?
Beberapa saat kemudian,Akhirnya dia sadar lalu memegangi kepalanya yang benjol terkena tendangan Sanjaya. Sambil menahan nyeri, dia lalu berdiri dan memandang ikatan rumput yang masih tetap berada di tempatnya.
"Syukurlah mereka tidak membuang rumput itu," pikirnya.
Ranu kemudian mengangkat ikatan rumput tersebut dan menaruhnya di atas kepalanya.
Sambil berjalan, dia terus berpikir kenapa jurus Pukulan Dewa Api yang dia pelajari tidak bisa digunakan? Di mana letak kesalahannya?
Beberapa saat kemudian,pemuda 15 tahun itu tiba di rumahnya juragan Mahendra. Dia langsung menuju kandang ternak yang berada di belakang rumah besar tersebut.
"Kau dari mana saja, Ranu?!"
Suara berat seorang lelaki terdengar dengan keras. Ranu menoleh dan melihat juragan Mahendra berdiri di pintu kandang ternak, sambil berkacak pinggang menatapnya tajam penuh rasa marah.
"Maaf juragan, Tadi ada masalah di jalan."
Juragan Mahendra mendekati Ranu. "Kau jangan banyak alasan Ranu! Aku tahu kau pasti meremehkan pekerjaan ini!" ujarnya tetap dengan suara yang keras.
"Tidak, Juragan. Aku tidak mungkin menyepelekan suatu pekerjaan. Aku berani bersumpah tadi ada masalah di jalan."
Emosi Juragan Mahendra pun merendah. Dilihatnya tatapan mata Ranu yang tidak menyiratkan kebohongan sedikitpun.
"Baiklah, sekarang aku percaya kepadamu, tapi lain kali jangan diulangi lagi!" ucap juragan Mahendra sambil mengelus kepala Ranu.
"Auuuh!"
Ranu menjerit kecil ketika tangan juragan Mahendra tanpa sengaja mengenai kepalanya yang benjol.
Juragan Mahendra terkejut lalu memeriksa kepala Ranu yang terkena tangannya tadi.
"Kepalamu kenapa ini?"
"Maaf juragan, ini yang tadi aku maksud masalah di jalan. Aku dihajar Sanjaya dan teman-temannya."
"Sanjaya anaknya juragan Mardoto?"
Ranu mengangguk pelan," Benar,Juragan. Aku sudah berusaha melawan, tapi mereka mengeroyokku."
"Apa kau pernah berbuat salah kepada mereka?" tanya Juragan Mahendra lagi.
Ranu menggeleng pelan, "Aku tidak pernah berbuat salah sama siapapun juragan. Ayah selalu menekankan agar aku selalu berbuat baik dan bersikap jujur.
Entah kenapa mereka selalu ingin menghajarku?"
"Berarti mereka sudah sering menghajarmu?"
Ranu mengangguk. Tanpa sadar dia sudah mengeluh tentang perbuatan yang dilakukan Sanjaya terhadapnya b.
"Anak dan ayah perangainya sama saja!" ucap Juragan Mahendra geram.
"Tidak apa-apa juragan, biarkan saja. suatu saat mereka pasti akan mendapat karmanya."
Juragan Mahendra tersenyum kecil melihat sikap yang ditunjukkan Ranu. "Apa kau pernah belajar ilmu kanuragan?"
"Aku pernah mencoba untuk ikut seleksi, Juragan. Tapi kata orang yang mengujiku, aku tidak punya bakat sama sekali. Kalaupun aku belajar sampai mati, aku tetap tidak akan bisa memiliki tenaga dalam. Itu yang menjadi alasan Sanjaya dan teman-temannya untuk menghajarku setiap aku bertemu mereka."
Juragan Mahendra merasa trenyuh mendengar cerita Ranu. Dia kemudian mengeluarkan beberapa koin perak dari kantongnya dan memberikannya kepada Ranu. "Ambilla, ini adalah hadiah buatmu. Pergunakanlah dengan baik."
Wajah Ranu yang tadinya sendu langsung semringah melihat beberapa koin perak sudah berada di tangannya. Bagi dia dan keluarganya yang miskin,pemberian koin perak tersebut sangatlah banyak. Dia tidak pernah menyangka jika Juragan Mahendra merupakan orang yang begitu dermawan, terlepas dari sosoknya yang tinggi besar.
"Terima kasih, Juragan.
Pemberian juragan ini sungguh
sangat berarti bagi keluargaku.
Semoga Dewata selalu memberi Juragan kesehatan dan kelancaran rejeki."
Ranu kemudian berlari pulang dengan perasaan gembira. Rasa sakit yang dirasakannya tadi sudah tidak terasa karena tertutupi hadiah dari juragan Mahendra.Sesampainya di depan rumah, Ranu berteriak memanggil ayah dan ibunya dengan keras. Kedua orang tuanya yang sedang berada di dalam rumah keluar dengan tergopoh gopoh mendengar suara anaknya berteriak. Mereka takut terjadi sesuatu hal dengan anak satu-satunya tersebut.
"Ada apa, Nak? Apakah terjadi sesuatu hal padamu?" tanya Murti, ibunya Ranu.
"Kita hari ini bisa makan enak, Bu. Lihat ...!" Ranu membuka telapak tangannya dan menunjukkan juragan Mahendra.
"Kamu dapat ini dari mana, Ranu? Apa kamu mencuri? Ibu dan ayahmu tidak pernah mengajarimu menjadi pencuri?"
Murti bertanya dengan penuh selidik.
"Aku tidak mencuri, Bu. Aku mendapat koin perak ini dari Juragan Mahendra."
"Kamu jangan bohong, Ranu.
Tidak mungkin juragan
Mahendra memberimu sebanyak ini!" Intonasi suara murti semakin meninggi.
"Murti, jangan menuduh Ranu seperti itu. Apakah selama ini beberapa koin perak yang didapatnya dari Ranu pernah mencuri?" Ayah Ranu mencoba membela anaknya.
"Tapi Kakang, tidak mungkin juragan Mahendra memberi koin sebanyak ini kepada anak kita!" bantah Murti.
"Sudah, Kakang akan bertanya kepada juragan Mahendra dulu. Aku yakin Ranu tidak akan berbuat hal yang sekotor itu."
"Awas saja kalau kamu mencuri, Ranu! Meski keluarga kita miskin, tapi kita masih punya harga diri."
"Ayah, Ibu, aku berani bersumpah kalau tidak mencuri." Ranu berusaha meyakinkan kedua orang tuanya.
"Aku akan ke rumah juragan Mahendra untuk menanyakan tentang koin ini. Kalian tunggu di rumah!" ucap ayah Ranu.
Selepas berbicara, ayah Ranu berjalan menuju rumah juragan Mahendra yang tidak terlalu jauh dari rumah mereka.
Beberapa saat kemudian, lelaki yang di kampung Karangasri terkenal pendiam itupun sampai di rumah Juragan Mahendra.
Segera dia menuju kandang ternak di belakang rumah, karena dia tahu kalau juragan Mahendra suka menghabiskan waktunya di kandang ternaknya tersebut.