Seorang Jenderal perang yang gagah perkasa, seorang wanita yang berhasil di takuti banyak musuhnya itu harus menerima kenyataan pahit saat dirinya mati dalam menjalankan tugasnya.
Namun, kehidupan baru justru datang kepadanya dia kembali namun dengan tubuh yang tidak dia kenali. Dia hidup kembali dalam tubuh seorang wanita yang cantik namun penuh dengan misteri.
Banyak kejadian yang hampir merenggut dirinya dalam kematian, namun berkat kemampuannya yang mempuni dia berhasil melewatinya dan menemukan banyak informasi.
Bagaimana kisah selanjutnya dari sang Jenderal perang tangguh ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Tentang Alice
Leonard Devereux bukan tipe pria yang mudah terkejut. Dalam dunia bisnis yang keras dan penuh manipulasi, dia selalu menjaga ketenangannya, selalu berada satu langkah di depan lawan-lawannya.
Namun, pagi ini, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa benar-benar dikejutkan oleh sesuatu yang tidak pernah dia perkirakan.
Wanita yang baru saja tidur dengannya semalam bukan hanya seorang perempuan biasa.
Dia adalah rekan bisnis yang akan dia temui hari ini.
Dan yang lebih mengejutkan dari itu…
Dia adalah seorang perawan sebelum semalam.
.
.
Leonard masih duduk di ranjang, memperhatikan punggung Alice yang tegang saat dia membaca kartu namanya.
Tadi malam, dia tidak menyadarinya. Dalam keadaan mabuk, gairah, dan keinginan yang membakar, dia tidak memperhatikan tanda-tanda itu.
Namun, begitu dia bangun pagi ini dan melihat jejak samar darah di seprai…
Dia tahu.
Alice bukan hanya wanita yang mabuk lalu mengajaknya tidur.
Dia adalah wanita yang belum pernah disentuh oleh pria sebelumnya.
Dan dialah yang pertama.
Leonard menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang, mengamati Alice dengan ekspresi yang sulit dibaca.
Reaksinya tadi sudah cukup untuk memastikan bahwa dia sama sekali tidak mengingat apa yang terjadi.
Tapi sekarang, dengan fakta ini, Leonard merasa semakin tertarik.
Di zaman seperti ini, menemukan seorang wanita yang masih menjaga kesuciannya sampai usia dewasa adalah sesuatu yang langka.
Dan Leonard, yang terbiasa memiliki segalanya dengan mudah, merasa… puas.
Karena dialah orang yang pertama kali memilikinya.
.
.
Alice masih berdiri di sana, menatap kartu nama di tangannya dengan ekspresi tak percaya.
Leonard Devereux.
Nama itu bukan hanya terkenal di dunia bisnis.
Pria ini adalah salah satu pengusaha paling berpengaruh di industri internasional.
Perusahaan miliknya memiliki banyak cabang di berbagai negara, dan sekarang dia sedang dalam negosiasi bisnis dengan perusahaan tempat Alice bekerja.
Alice merasa seolah dirinya baru saja masuk ke dalam jebakan takdir yang kejam.
Bagaimana mungkin ini terjadi?
Bagaimana mungkin pria yang semalam dia ajak tidur, dalam keadaan mabuk dan frustasi, ternyata adalah pria yang akan dia temui dalam urusan bisnis?
Alice merasa pusing.
Ini adalah bencana.
Dia harus segera pergi dari sini.
Leonard yang Tidak Bisa Melepasnya Begitu Saja
Melihat ekspresi panik Alice, Leonard akhirnya bangkit dari ranjang, mengenakan jubah mandi dengan santai.
Dia melangkah mendekat, dan Alice langsung mundur, seolah dia adalah ancaman yang harus dihindari.
Leonard tertawa kecil.
"Jangan khawatir, Alice," katanya dengan nada tenang. "Aku tidak akan memaksamu untuk mengakui apa pun."
Alice menggigit bibirnya.
"Ini… ini adalah kesalahan," ucapnya pelan, seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri.
Leonard mengangkat alis.
"Kesalahan?" ulangnya. "Kau yakin?"
Alice terdiam.
Apakah ini kesalahan?
Dia mabuk, dia kehilangan kontrol, dan dia membiarkan dirinya melakukan sesuatu yang selama ini tidak pernah dia bayangkan.
Tetapi…
Di balik semua itu, ada sesuatu yang mengganggu hatinya.
Leonard memperhatikan ekspresi wajah Alice yang berubah-ubah, lalu tersenyum kecil.
"Kalau menurutmu ini kesalahan, aku tidak akan memaksamu untuk mengakuinya sebagai sesuatu yang lain," katanya santai. "Tapi jujur saja, Alice. Apakah kau benar-benar menyesalinya?"
Alice terkejut dengan pertanyaan itu.
Dia menatap Leonard, pria yang begitu tenang dan percaya diri, seolah dia sudah tahu jawabannya bahkan sebelum dia menjawab.
Alice ingin mengatakan 'ya'.
Dia ingin mengatakan bahwa dia menyesal.
Tapi, kata-kata itu tidak bisa keluar dari mulutnya.
Karena di dalam hatinya, dia tidak bisa benar-benar mengatakan bahwa dia menyesal.
Leonard menyeringai melihat ekspresi wajahnya.
"Lihat? Bahkan kau sendiri tidak yakin," katanya dengan nada puas.
Alice mengepalkan tangannya.
"Ini tidak akan terjadi lagi," katanya akhirnya, mencoba menegaskan dirinya sendiri.
Leonard mengangkat bahu.
"Kita lihat saja nanti," balasnya ringan.
Alice tidak mau mendengar lebih banyak lagi.
Dia segera berbalik dan keluar dari kamar hotel, tanpa menoleh ke belakang.
Setelah Alice Pergi…
Leonard menatap pintu kamar yang baru saja tertutup, lalu tersenyum kecil.
Alice menarik.
Sangat menarik.
Dia bukan tipe wanita yang biasanya tertarik padanya—yang biasanya dengan mudah jatuh dalam pesonanya dan menginginkan lebih banyak lagi.
Alice justru terlihat ingin kabur sejauh mungkin darinya.
Dan justru itulah yang membuat Leonard semakin tertarik.
Dia bukan tipe pria yang membiarkan sesuatu berlalu begitu saja.
Terutama sesuatu yang benar-benar membuatnya penasaran.
Leonard duduk di kursi, mengambil ponselnya, dan menghubungi seseorang.
Begitu panggilannya tersambung, dia langsung berbicara dengan suara tenang.
"Aku ingin semua informasi tentang Alice dalam waktu kurang dari dua jam," katanya.
Di ujung telepon, asistennya segera mengiyakan tanpa bertanya lebih jauh.
Leonard menutup telepon dan tersenyum kecil.
Alice mengira dia bisa melarikan diri.
Tapi dia salah.
Permainan baru saja dimulai.
.
.
.
Leonard Devereux bukan pria yang mudah terkejut, apalagi dalam urusan menggali informasi. Dengan kekuatan dan pengaruhnya, dia bisa mendapatkan data siapa pun dalam hitungan jam—entah itu pebisnis, politisi, atau bahkan kriminal kelas kakap.
Namun, kali ini berbeda.
Dua jam telah berlalu sejak dia memerintahkan asistennya untuk mencari informasi tentang Alice, namun hasil yang didapat jauh dari yang ia harapkan.
Leonard duduk di ruangannya, menatap layar laptop dengan ekspresi serius. Di depannya, asisten pribadinya, William, berdiri dengan wajah penuh kebingungan.
"Ini aneh, Tuan," ujar William sambil menggeser laptopnya agar Leonard bisa melihatnya lebih jelas. "Kami sudah mencoba mengakses data tentang Alice, tapi… hasilnya nihil."
Leonard menyipitkan matanya.
"Apa maksudmu nihil?" tanyanya tajam.
William menarik napas dalam sebelum menjelaskan, "Identitasnya ada, tapi ada banyak bagian yang tidak bisa kami akses. Semua data penting seperti keluarga, catatan pendidikan, dan latar belakang lainnya tertutup dengan keamanan tingkat tinggi. Seolah-olah seseorang dengan sengaja menyembunyikannya."
Leonard menyandarkan punggungnya ke kursi, ekspresinya berubah menjadi lebih serius.
"Seseorang menyembunyikan datanya?" gumamnya. "Siapa yang cukup kuat untuk melakukan itu?"
William menggeleng. "Kami tidak tahu. Namun, sistem keamanannya bukan sesuatu yang biasa. Bahkan ketika tim IT kami mencoba membobolnya, mereka langsung dihadang firewall yang terlalu canggih."
Leonard menatap layar di depannya, melihat bagaimana data Alice terlihat seperti informasi biasa—nama lengkap, tanggal lahir, alamat terakhir yang tercatat. Namun, setiap kali William mencoba menggali lebih dalam, sistem akan menolak akses mereka.
Alice bukan orang biasa.
Jika seseorang dengan sengaja menutupi informasi tentangnya, maka hanya ada dua kemungkinan—entah dia seseorang yang sangat penting, atau seseorang yang sangat berbahaya.
Dan itu hanya membuat Leonard semakin tertarik.
Bukan hanya karena semalam.
Bukan hanya karena dia baru saja menjadi pria pertama yang menyentuh Alice.
Tapi karena Alice adalah teka-teki yang belum bisa ia pecahkan.
Selama ini, setiap wanita yang dekat dengannya mudah ditebak. Dia bisa membaca mereka seperti buku terbuka—keinginan, ambisi, dan kelemahan mereka.
Tapi Alice… dia berbeda.
Dia menyembunyikan sesuatu.
Dan Leonard ingin tahu apa itu.
Dia menutup laptopnya, lalu menatap William.
"Kalau kita tidak bisa membobol sistemnya, coba cari tahu dari sumber lain," perintahnya. "Gunakan jaringan kita, cari orang-orang yang mungkin mengenalnya, teman lama, atau siapa pun yang pernah berhubungan dengannya."
William mengangguk. "Baik, Tuan. Saya akan segera mengerjakannya."
Saat asistennya pergi, Leonard bersandar di kursinya, jari-jarinya mengetuk meja dengan ritme pelan.
Semakin sulit mendapatkan informasi tentang Alice, semakin besar keinginannya untuk mengetahui kebenaran.
Siapa sebenarnya wanita itu?
Dan mengapa dia merasa bahwa pertemuan mereka bukanlah sekadar kebetulan?
Leonard tahu satu hal—dia tidak akan diam sampai dia menemukan jawabannya.