Hanna Mahira adalah seorang wanita berumur 27 tahun. Dia bekerja sebagai karyawan staff keuangan pada sebuah cabang dari perusahaan ternama. Anna panggilannya, menjadi tulang punggung keluarga. Setelah ayahnya meninggal dunia, semua kebutuhan hidup ada di pundaknya.
Dia memiliki adik perempuan yang sekolah dengan biaya yang di tanggungnya.
Anna mencintai atasannya secara diam-diam. Siapa sangka jika sang atasan mengajaknya menikah. Anna seperti mendapatkan keberuntungan, tentu saja dia langsung menerima lamaran sang bos tersebut.
Namun, di hari pertamanya menjadi seorang istri dari seorang David Arion Syahreza membawanya pada lubang kedukaan.
Sebab di hari pertamanya menjadi seorang istri terungkap fakta yang amat menyakitkan. Bahwa David sang suami yang sangat Anna cintai mengatakan bahwa pernikahan ini adalah kesalahan terbesar yang dia lakukan.
Ada apa sebenarnya?
Anna berusaha menyingkap tabir rahasia David dan berusaha tegar atas pernikahan tersebut.
Baca kisahnya dan temani Anna mengungkap rahasia besar David
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IkeFrenhas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 2. Dia Bossku
Kami makan di sebuah warung makan di pinggir jalan. Tempatnya cukup ramai pengunjung, untuk beberapa saat kami mengantri masuk. Duduk lesehan di pojokan, makan malam yang telah larut dengan menu bebek penyet dan minum jeruk hangat. Aku mengikuti menu makan lelaki itu, jam segini sejujurnya sudah sangat malas untuk makan.
Menunggu pelayan membawakan pesanan. Mataku melihat sekeliling, semua orang makan dengan lahapnya. Setengah jam berlalu, pelayan datang membawakan pesanan kami.
“Ayo dimakan … kalau Cuma dipandangi aja begitu ya enggak kenyang.” Ujarnya setelah melihatku hanya memandangi makanan yang dipesan. Tanpa berselera melahapnya.
Sial. Cacing dalam perutku bersuara meminta jatah makannya.
“Enak kok menunya.” Ucapnya di selam kunyahannya.
“Hmmm.” Aku mulai mengambil sejumput nasi dan lauk, lalu memasukkannya ke dalam mulut. Melirik ke arah lelaki itu, dia masih asyik dengan makanannya.
Entah mengapa, melihatnya lahap seperti itu membuatku kenyang. Perlahan tapi pasti, aku memasukkan makananku kedalam mulut. What ? udah habis duluan. Aku makan dengan menelan pandangan matanya ke arahku.
Senyumnya terukir, terlihat manis dan menyebalkan secara bersamaan. Menyebalkan. Aku begitu terpesona dengan senyumnya.
Lelaki di depanku ini terlihat cool. Beberapa saat berinteraksi dengannya, dia memiliki sifat hangat sekaligus menyebalkan secara bersamaan. Pakaiannya yang rapi memberi kesan dia adalah laki-laki yang sangat penting dan memiliki jabatan penting di kantornya. Tatapannya yang tajam, memiliki sifat memmatikan sekaligus melindungi. Ah, yang jelas aku ttelah terpesona olehnya.
“Melamun … habiskan!” Dia juga senang sekali memerintah. Ck.
Akhirnya, habis juga makananku. Menu disini bisa menjadi pilihan saat aku kelaparan di tengah malam. Makanannya enak.
Aku mengikutinya di belakang saat dia membayar di kasir. Mata-mata penuh telisik yang kuperhatikan sedang tertuju padanya, membuatku tidak nyaman.
Ish, dasar penggoda. Batinku melihat kearah pengunjung perempuan yang memandangnya dengan tatapan memuja. Di sisi lain, beberapa wanita berbisik-bisik melihat kearah kami. Kemudian mereka tertawa. Benar-benar membuatku tidak nyaman saja.
Setelah membayar, kamipun menuju parkiran. Mobil berjajar terparkir tepat di depan warung makan. Di jalan, bunyi klakson bersahut-sahutan. Aku menghela nafas panjang, jalanan di malam haripun masih saja membuat emosi memnucak. Saling beradu untuk mendapatkan urutan jalan di depan.
Mobil yang kami naiki pun memasuki jalanan. Terdengar beberapa kali bunyi klakso dari dalam mobil dan beberpa umpatan dari mulut lelaki disampingku ini. Aku hanya memandangnya dengan tatapan bingung. Kenapa harus seperti orang kebakaran jenggot sih? Atau karena kemarahan itu memang menular ya. Jika orang lain tidak bisa menahan amarah, kita akan ikut-ikutan marah juga. Entah lah.
“Kemana lagi ini?” Tanyanya membuyarkan lamunanku.
“Oh, eh ....” Mataku celingukan melihat penunjuk jalan. Ini udah sampai mana. Pikirku.
“Apa kamu lupa jalan pulang.” Ketusnya. Tuh kan, dia berubah menyebalkan. Baru hari ini aku bertemu dengannya, tapi udah berkali-kali dia mennampakkan emosi yang berbeda-beda. Dasar mood-mmod tan. Cemoohku dalam hati.
“Ah, lurus nanti di tikungan depan belok kanan.” Jelasku dengan menunjukkan arah.
“Oke. Stop disini saja.” Ujarku padanya, tepat di depan minimarket dekat lorong rumahku.
“Ini rumahmu?” tanyanya bingung setelah menghentikan mobil tepat di depan minimarket yang aku tunjuk.
“Ini minimarket.”
“Oh ….” Dia mengangguk-angguk. Astaga. Aku tertawa melihatnya.
“Beneran mau turun sini.” Tanyanya tanpa menoleh padaku.
“Iya. Mamksih banyak ya.” Aku melepas sabuk pengaman dan segera turun dari mobil. Menutup pintu berdiri di samping moobil, menunggunya pergi dari hadapan.
Dia membuka kaca, melambaikan tangan. Aku menyambutnya, melambaikan tangan dengan senyum terbaikku. Setelah mobilnya berlalu, akupun masuk ke minimarket yang aku tuju. Membeli keperluan yang aku butuhkan. Pengunjungnya mulai sepi, hanya satu dua orang. Jelas saja, karena ini sudah sangat larut. Mungkin aku adalah pengunjung terakhir yang masuk dan sebentar lagi mereka akan mengusirku. Sebab waktunya tutup.
Buuu-buru aku aku mengambil keperluanku lantas bergegas ke kasir untuk membayarnya. Untunglah, aku tidak terlambat. Bisa jadi mereka malah menungguku selesai belanja, setelah aku keluar mini market ini pun tutup.
Berjalan sendirian di lorong yang sepi, sesekali membuatku bergidik ngeri. Aku memang sering pulang malam. Tapi ini pertama kalinya pulang selarut ini. Makan malam bersamanya tadi menyita waktuku.
Sampai di depan pintu rumah. Lampu telah sepenuhnya padam. Membuka pintu rumah dengan sangat hati-hati agar suaraku tidak terdengar penghuni rumah yang telah tertidur pulas.
Aku berjalan menjinjit, tiba-tiba lampu menyala terang. Aku terlonjak kaget. Ternyata ibu ibu yang terbangun d an menyalakan lampu.
“Baru pulang?” Tanya ibu pelan.
“Hu’um.” Jawabku berbisik dengan mulut menguap.
“Udah makan belum.”
“Udah Bu ….” Akupun berjalan memasuki kamar. Tujuan utamaku adalah Kasur. Hah, bernafas lega, berbaring di atasnya. Melihat langit-langit kamar. Astaga terbayang senyum wajah tampan lelaki itu. Ck aku bahkan belum tahu namanya. Besok masih bertemukah kita?
Pintu kamar menyeblak terbuka, aku terlonjak dan langsung duduk. Ibu, mengagetkan saja. Wanita tua itu membawa baki dengan cangkir yang uapnyya mengepul di atasnya.
“Bersih-bersih sana.” Perintahnya. Aku beringsut bangun dan berjalan ke kamar mandi.
Setelah membersihkan diri dengan air hangat, tubuhku terasa lebih fresh dan nyaman. Keluar dari kamar mandi, aku mendapati ibu masih berada di kamaku. Duduk di tepi ranjang melihatku dengan mata teduhnya.
“Ibu buatkan susu jahe. Minumlah lalu istirahat.” Ibu berbicara dengan suara parau, butiran Kristal bening mengalir di pipi tuanya.
Aku mendekat, memeluknya erat. Ibu terisak dalam pelukanku. Aku menunggu, menunggunya melepaskan beban dalam hatinya. Ah, kenapa suasanya jadi sedih begini sih? Mataku memanas, air mata inipun siap tumpah dari penampungannya. Mataku mengerjap-ngerjap menahan bendungan air agar tidak mengalir.
“Maafkan Ibu, Anna. Adikmu sekolah, kamu harus membiayai sekolahnya. Kerja lembur.” Ucapnya disela tangisan. Aku mengurai pelukan, menggenggam erat kedua tangan keriputnya. Tangan ini adalah tangan yang merawat dan membesarkan aku dengan tulus. Tangan ini yang berjuang menyekolahkan aku hingga aku bisa bekerja di tempatku sekarang. Tangan ini yang selalu memberi tanpa memintanya kembali.
Aku mencium kedua tangan keriput ini, membawanya kepangkuan. “Tidak ada yang perlu dimaafkan. Ini sudah jadi kewajibanku Bu.”
Ibu mengangguk. Kemudian kami hanyut dalam pikiran masing-masing. Ibu menemaniku tidur di kamar. Saat bangun, ku lihat ibu sudahtidak ada lagi di sampingku.
Hari ini aku berangkat lebih awal. Membawa bekal makan siang yang disiapkan ibu. Adik kecilku jam segini belum bangun, kebiasaan tidur setelah Subuh. Seringkali ibu memarahinya. Namun kadang aku cegah. Mungkin kecapean bu. Alasanku padanya untuk menghindarinya dari kemarahan.
Sesampainya di kantor, aku langsung membuka laptop dan menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda. Huft. Mata dan fikiran yang fokus membuatku mengabaikan sapaan karyawan yang datang.
“Semalam pulang jam berapa?” Tanya Dina. Mataku melirik sekilas kearahnya. Dia tampak santai. Aku melihat jam, jam 8.
“Jam 9.” Jawabku singkat tanpa menoleh kearahnya.
“Sama siapa?” tanyanya lagi.
Haish, dia ini mengganggu konsentrasiku saja. Aku menoleh kearahnya, meletakkan jari telunjukka ke mulut, sebagai isyarat agar dia diam. Aku tersenyum melihatnya menutup mulut rapat dengan gerakan ibu jari dan telunjuk menyatu membuat gerakan.
Haah … aku menghembuskan nafas panjang. Lega. Akhirnya tugasku selesai juga. Saatnya mengantarkan keruangan pak Wisnu.
Aku masuk setelah mengetuk pintu ruangannya. Pak Wisnu sedang sibuk menghadap layar laptop yang berada tepat di hadapannya. Aku mendekati meja sambil menyodorkan lembaran-lembaran kertas yang disusun rapi di dalam map.
Dia menghentikan pekerjaanya, melihat ke arahku. Mengambil map yang aku berikan, lalu membukanya. Dahinya berkerut, matanya menyipit fokus pada deratan angka-angka di kertas itu. Selanjutnya meletakkannya di atas meja, mengambil pena dan membuat coretan disana berupa tanda tangan. Aku mengambil kembali laporan kerjaku tersebut, kemudian berbalik menuju pintu keluar.
Siang telah menjelang dengan sempurna, perut telah meminta hak nya untuk diisi. Aku bersama Dina menuju kantin kantor dengan membawa bekal yang dibawakan ibu tadi pagi.
“Eh, kalian udah pada lihat wajah Bos kita belum?.” Ucap Santi disela makannya. Sontak semua mata tertuju padanya, begitu pula denganku. Kami semua diam, kemudian saling berpandangan lalu menggeleng bersama. Semua ekspresi wajah menatapnya seolah memberi tanya “Emang gimana wajahnya?”
“Entar pas kita rapat ama pak Wisnu. Makanya buruan makannya, biar bisa lebih lama mandanginnya.” Santi mengulum senyum.
“Kabarnya sih si bos bakalan lama disini. Hingga beberapa bulan kkedepanlah. Keseempetan ntu buat kita untuk pedekate. Hahaha.” Aku mengangkat alis. Semakain kacau ini obrolan. Boss besar mau di gebet juga.
Memang ada isu-isu yang beredar jika bos dari kantor pusat mau ke kantor cabang Malang. Tapi belum ada yang tau pasti kapan dia akan datang. Saat karyawan lain mencari informasi lewat sekretarisnya pak Wisnu, dia hanya mengangkat bahu sebagai jjawaban. Benar-benar sekretaris sejati.
Kenyataan bahhwa Santi telah bertemu langsung dengan si bos pun, aku tidak tahu pasti. karena setiap kali di tanya dengan Dina, Santi akan menjawaab “rahasia”.
Awalnya aku tidak kepansaran dan ingin tahu banyak tentang siapa dan bagaimana tampang asli si bos besar tersebut. Sebab Santi membicarakannya terus-meneruslah yang memancing rasa penasaranku naik kepermukaan. Dan sekarang aku berada pada puncak itu. Rasanya ingin terjun saja dari gunung rasa iitu. Santi menyebalkan.
Istirahat usai. Mau tidak mau makan siang dan obrolanpun harus berakhir. Kami semua bergegas kembali menu ruangan masing-masing, lalu mempersiapkan segala keperluan menuju rang rapat. Ini adalah kali pertama selama bekerja disini, rapat akhir bulan akan dihadriri oleh bos besar.
Semua karyawan yang berkepentingan untuk rapat telah hadir diruangan. Duduk di kurrsi dengan posisi melingkar, sehingga semua wajah yang hadir dapat terlihat jelas oleh masing-masing karyawan.
Aku dan rekan bagaian keuangan saling melempar pandang dan tersenyum. Memberi kode lewat sorot mata. Hari ini bagianku yang mempersentasikan laporan pertanggung jawaaban.
Ada empat kursi yang masih kodong. Kursi pak Wisnu beserta sekretarisnya, dua kursi lagi aku rasa milik bos besar berserta sekretarisnya.
Pintu ruangan kembali terbuka, melihatkan sosok pak Wisnu beserta sekretarisnya. Mereka berdua masuk dan duduk di kursinya. Masih ada dua kursi lagi yang kosong.
Rapat dimulai, namun kursi tersebut masih kosong. Aku dan Santi saling pandang, dia hanya mengangkat bahu tanda tidak tahu. Aku menggeleng. Sekarang giliranku berdiri memberi laporan.
Setelah aku selesai, pak Wisnu membahas perencanaan untuk bulan depan. Kami hanya memberikan beberapa usulan kepada tim desain dan tim lapangan yang terjun langsung ke lokasi. Kemudian lanjut kebahasan rencana pemasaran oleh tim marketing.
Bulan depan, pabrik cabang Malang ini berencana memproduksi produk baru. Sehingga kami disini ikut sibuk, karena untuk penjualan kami semua turut andil dalam proses itu. Tentu saja, karyawan adalah ujung tombak sukses tidaknya sebuah produk yang akan dipasarkan. Kami akan memiliki tanggung jawa bersama agar produk terrsebut sampai dan bisa diterima dengan baik oleh masyarakat selaku konsumen. Tentu saja kepuasan mereka baik dari segi produk maupun pelayanan adalah hal yang tidak kalah penting.
“Baiklah, saatnya kita eksekuusi dan mewujudkan mimpi kita.” Pidato pak Wisnu kepada kami.
“Untuk proyek kita ini, bos besar dari Jakarta akan turun langsung memantau dan membimbing kita. Jadi, kita harus mengerrahkan semua kekuatan terbaik kita untuk kesuksesan proyek kita.” Lanjut pak Wisnu penuh semangat.
“Siap!” kami menjawab serentak dengan antusias tinggi.
Terlihat pak Wisnu berbisik-bisik dengan sekretarisnya. Kemudian kembali menatap kami. Lantas dia melanjutkan. “Sekarang bos kita telah sampai di pintu ruang rapat. Kita sambaut beliau dengan meriah.” Kami sontak slaing panndang dan bertepuk tangan. Pak Wisnu berjalan menuju pintu, lalu membuka pintu ruang rapat.
Aku merasakan gugup yang luar biasa. Jantungku tentu saja berpacu tanpa bisa dikendalikan. Tanpa terasa leherku memanjang seperti jerapah, melihat keluar kalau saja bisa mengintip siapa dia, bagaimana dia. Bos besar itu.
Ah, padahal sebentar lagi aku dapat melihat wajahnya dengan jelas. Tak salah, jika isu-isu yang beredar telah mengganggu fikiranku.
Terlebih lagi, obrolan bersama Santi saat makan siang tadi. “Duh, lama banget sih?” gerutuku dalam hati. Aku gelisah menunggunya memasuki ruang rapat ini.
Jantungku bertalu-talu seiring dengan langkah kaki pak Wisnu kembali memasuki ruangan, didiring dengan langkah kaki panjang lainnya. Aku melihatnya dengan mata membulat sempurna.
Jantungku berdegup kencang seperti genderrang perang saat melihat dengan jelas bagaimana wajah si bos besar itu. Ditambah mata kami yang saling bersirobok. Aku memeggang dada tempat dimana jantungku berada, memegang dan menekannya kuat agar jantungku tidak melompat keluar.
Mata dan mulutku terbuka sempurna. Aku terpana, bingung, bengong seklaigus tidak percaya dengan apa yang telah terjadi. Dia.
Tersadar saat Santi menarik lenganku untuk duduk kembali. Mataku melihat sekeliling, semua mata tertuju paddaku dengan pandangan lucu dan menggejek. Ternyata hanya aku yang masih berdiri. Aku segera duduk dengan wajah malu. Aku menunduk dan menutup wajah dengan kedua tanganku.
“Perhatian ….” Suara dan tepukan tanga pak Wisnu memecah kesunyian. semua mata dan pperhatian kembali fokus padanya, lebih tepatnya tertuju pada lelaki yang duduk disampingnya. Si bos besar itu.
“Perkenalakan, ini pak David Arion Syahreza. Teman-teman bisa memanggilnya pak David. Beliau dari kanntor pusat. Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, pak David adalah pemilik perusahaan tempat kita bekerja dan akan langsung membimbing kita dalam proyek ini. “
“Pak david akan disini hingga proyek kita berhasil. Jadi, tolong kerjasama kalian, sehingga proyek kita dapat berjalan dengan baik dan lancer.” Jelas pak Wisnu.
Lelaki yang kutahu ternyata dia adalah bos besar pemilik perusahaan dan bernama David itupun berdiri, megangguk kepada kami dan tersenyum Glek. Dia melihat kearahku dengan menggedipka sebelah matanya.
Lelaki yang semalam makan denganku dan mengantarkan aku pulang adalah pak David, bos besarku. Ya Tuhan! Aku benar-benar tidak waras. Adakah kejadian memalukan yang aku lakukan saat bersamanya. Tiba-tiba perutku terasa mual.
sungguh menyebalkan
terus adiknya juga kenapa gak sopan gitu , rasanya gak mungkin ada yg gitu amat , gak ada segen² nya sama kaka sendiri
semangat