Dokter Arslan Erdem Mahardika, pria tampan dan cerdas berusia 33 tahun, memiliki segalanya kecuali satu hal yaitu kepercayaan diri untuk menikah.
Bukan karena dia playboy atau belum siap berkomitmen, tapi karena sebuah rahasia yang ia bongkar sendiri kepada setiap perempuan yang dijodohkan dengannya yaitu ia impoten.
Setiap kencan buta berakhir bencana.
Setiap perjodohan berubah jadi kegagalan.
Tanpa cinta, tanpa ekspektasi, dan tanpa rasa malu, Tari Nayaka dipertemukan dengan Arslan. Alih-alih ilfeel, Tari justru penasaran. Bukannya lari setelah tahu kelemahan Arslan, dia malah menantang balik sang dokter yang terlalu kaku dan pesimis soal cinta.
“Kalau impoten doang, bisa diobatin, Bang. Yang susah itu, pria yang terlalu takut jatuh cinta,” ucap Tari, santai.
Yang awalnya hanya pengganti kakaknya, Tari justru jadi pawang paling ampuh bagi Arslan pawang hati, pawang ego, bahkan mungkin pawang rasa putus asanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 20. Meremehkan Dokter Bedah
Langit sore mulai meredup. Bayangan gedung rumah sakit menjuntai panjang di pelataran parkir. Aktivitas masih sibuk, tapi satu sudut lorong di lantai tiga terasa sunyi. Di situlah seseorang berdiri, menunduk, lalu menekan sesuatu di ponselnya.
Nada sambung hanya terdengar dua kali sebelum diangkat.
“Siap, Bos,” suara di seberang terdengar pelan, tapi jelas.
“Kamu masih di Jakarta?” tanyanya singkat.
“Masih. Tunggu aba-aba aja.”
“Ambil perempuan itu malam ini. Namanya Tari Nayaka. Dia pulang sekitar pukul sepuluh. Naik motor sport berwarna putih dari pintu belakang IGD. Jangan sampai ada yang lihat. Jangan sakitin dia kecuali terpaksa,” ujarnya dingin.
“Lokasi eksekusi?”
“Ruko kosong depan bengkel tua. Yang biasa. Biar dia tahu, tempat cewek kayak dia bukan di samping Arslan Mahardika.”
“Beres. Kita gerak pas dia keluar pagar belakang.”
Orang itu memutuskan sambungan, lalu merapikan jas panjangnya. Langkahnya pelan menuruni tangga darurat, tak ingin terekam CCTV utama.
Di matanya, dunia memang tidak adil. Selama ini, Nayaka hanya perawat. Bukan siapa-siapa. Tidak selevel dan terlalu nyeleneh untuk berdiri di samping pria sehebat dan sesempurna Arslan.
“Cinta itu bukan tentang siapa yang bikin deg-degan,” gumamnya penuh dendam. “Tapi siapa yang tahu cara menjatuhkan.”
Ia melangkah ke luar gedung, melewati parkiran dengan wajah biasa saja. Tidak ada yang curiga. Tidak ada yang sadar, malam ini sedang dirancang untuk mengubah segalanya.
Sementara itu, di dalam ruang ganti, Nayaka sedang membereskan tas kecilnya. Wajahnya tampak cerah. Pipinya masih semburat merah muda, efek dari pesan terakhir Arslan yang baru saja masuk ke ponselnya.
“Pulang hati-hati. Aku tunggu kabarmu sampai rumah.”
Senyumnya langsung mengembang. Dengan cepat, jari-jarinya mengetik balasan:
“Tenang aja, Dok… kalau aku nyasar, tanggung jawab ya? Jemputin sampai depan pintu, bawa bunga, plus senyum ganteng itu.”
Belum sempat ia menyimpan ponselnya, suara Kiara dan Odelia terdengar dari pintu.
“Eh-eh! Siapa tuh yang senyum-senyum sambil ngetik?” celetuk Kiara dengan nada menggoda, lalu menjatuhkan diri ke sofa kecil di pojok ruangan.
Odelia ikut duduk, membuka botol minum. “Wajahnya glowing banget. Ini sih bukan efek skincare, tapi efek dokter spesialis bedah tampan bersorot tajam.”
Nayaka langsung memutar badan, memelototi mereka pura-pura kesal. “Ih, kalian tuh ya, baru juga buka WA udah digrebek.”
Kiara terkekeh. “Yah maaf aura bucinmu tuh kuat banget, Nay sampai ke lorong aja nyebar.”
“Fix dosisnya overdosis,” timpal Odelia sambil mengangkat alis.
Nayaka menggeleng, pipinya makin memerah. “Sumpah kalian rese.”
Tapi dalam hati, ia tahu ia sedang bahagia.
Ia tidak tahu seseorang sedang menunggunya juga. Tapi dengan niat yang jauh berbeda.
Cinta bisa membuat orang waras berubah arah. Tapi dendam, bisa membuat langkah tenang jadi jalan menuju kekacauan.
Langit malam mulai penuh warna kelabu. Lampu-lampu jalan perlahan menyala, melemparkan bayangan panjang di aspal basah. Udara makin dingin, menampar pelan wajah Nayaka yang sedang melaju dengan motor sport putihnya.
Helm fullface membungkus rapat kepalanya, tapi tak bisa menyembunyikan keresahan yang mulai bergetar di matanya. Tangannya mencengkeram erat gas, lalu sesekali menengok ke kaca spion.
“Dari tadi ada yang ngikutin, ya?” gumamnya lirih, alisnya menyempit.
Jalanan sepi. Suara mesin motornya menggema, tapi tak sendiri. Ada suara lain. Ban lain. Suara langkah-langkah tersembunyi yang menempel seperti bayangan.
Ia menurunkan kecepatan. Satu... dua... tiga motor melambat di belakangnya. Matanya menajam. “Empat orang,” tebaknya pelan. “Berani-beraninya ngekor gue malam-malam gini.”
Jantungnya tidak berdebar karena takut, tapi karena naluri bertarungnya mulai menyala. Sejak kecil, ia memang dilatih bela diri oleh almarhum kakeknya, seorang imigran Polandia yang dulu pelatih tentara. Dan malam ini, kemampuan itu mungkin akan berguna.
Sambil tetap berkendara, ia merogoh saku jaketnya, lalu menekan tombol panggilan cepat.
Belum sempat tersambung, suara berat yang ia kenal baik terdengar dari speaker helmnya.
“Kamu di mana?” tanya Arslan cepat, nada bicaranya dingin seperti biasa.
“Di jalan biasa. Tapi kayaknya ada yang ngikutin,” jawab Nayaka, sengaja santai.
“Berapa orang?” tanya Arslan, masih dengan nada yang sama datarnya.
“Empat motor. Tapi gue belum yakin mereka penjahat atau penggemar rahasia,” ucapnya, mencoba bercanda. Tapi tak ada balasan.
“Belok ke jalur bypass. Lewat flyover barat. Jangan pulang dulu,” ujar Arslan cepat. Suaranya terdengar makin serius.
Nayaka tersenyum kecil, lalu menjawab pelan, “Tenang aja, Dok. Gue nggak semanis itu buat langsung diculik.”
“Jangan main-main, Nayaka,” katanya tegas.
“Aku nggak main-main. Tapi aku juga nggak akan lari.”
“Nayaka!”
Namun Nayaka sudah memutus sambungan. Ia menoleh ke belakang sekali lagi. Mereka makin dekat. Salah satu motor bahkan sudah sejajar beberapa meter di sisi kirinya.
“Yah, udah pasti bukan penggemar,” ucapnya datar, lalu menarik gas lebih dalam.
Ia melesat. Kecepatan motor meningkat tajam. Tapi mereka masih mengejar. Nayaka justru menekan rem mendadak di sebuah tikungan kecil, lalu memutar balik dengan cepat. Ban belakang motornya berderit keras.
Empat motor itu kaget. Salah satunya hampir tergelincir. Nayaka memanfaatkan momen itu, turun dari motor, melepaskan helm, dan berdiri tegak di tengah jalan.
"Ada urusan apa lo pada malam-malam gini ngekor cewek sendirian?" tanyanya lantang, suaranya mantap.
Salah satu pria turun dari motor. Bertubuh kekar, jaket hitam, wajah tertutup masker. Ia melangkah maju.
“Kami cuma disuruh bawa lo, Mbak. Nggak usah bikin susah. Biar cepat kelar.”
“Disuruh siapa?”
“Bos besar. Lo pasti tahu siapa. Arslan Mahardika bukan buat orang kayak lo, Mbak. Cewek kayak lo harus tahu tempat,” imbuhnya ketus.
Nayaka tertawa kecil. Lalu melempar helm ke tanah.
“Lo pikir gue cewek manja yang bakal nangis minta tolong? Lo salah alamat, Bang.”
Dengan gerakan cepat, Nayaka menghantam dada pria itu dengan siku. Pria itu mundur, terbatuk keras. Dua orang lainnya turun, mencoba menyerang dari kanan dan kiri.
Tapi Nayaka bergerak lincah. Tendangannya mendarat tepat di lutut salah satu pria, membuatnya jatuh menjerit. Yang satu lagi mencoba memegang tangannya, tapi Nayaka menekuk tubuhnya, lalu memutar balik pergelangan tangan si pria hingga terdengar bunyi krek kecil.
Satu lawan empat. Tapi Nayaka tidak gentar.
Baru saat pria keempat mengeluarkan pisau lipat, wajah Nayaka berubah serius.
“Mainnya udah nggak lucu,” gumamnya, lalu bersiap.
Namun sebelum pria itu sempat bergerak, suara raungan mobil mendekat dengan kecepatan tinggi. Lampu sorot mobil menyilaukan, membuat para pria menutup mata.
Mobil itu berhenti mendadak. Pintu terbuka cepat. Arslan keluar dengan wajah dingin, tanpa ekspresi.
“Nayaka!” serunya, singkat tapi menggema.
Nayaka menoleh. Masih berdiri dengan napas terengah, tapi senyumnya muncul lagi.
“Tenang, Dok. Gue belum copot kepala siapa pun, kok.”
Arslan melangkah cepat, menatap para pria itu tajam. Sekali pandang saja, aura membunuhnya membuat mereka gemetar. Pria pemilik pisau langsung melarikan diri. Tiga lainnya ikut panik, lalu kabur terbirit-birit.
“Gue udah bilang, lo jangan pulang sendiri,” gumam Arslan pelan, nyaris tanpa nada.
“Tapi kan kita belum nikah, Dok. Lagian katanya lo bukan cowok romantis,” jawab Nayaka santai.
Arslan tidak menjawab. Ia hanya mengambil helm Nayaka, lalu memasangkannya kembali ke kepala perempuan itu.
“Naik. Sekarang,” ucapnya tegas.
Nayaka menatapnya beberapa detik. Jantungnya mungkin berdetak lebih cepat, tapi bukan karena rasa takut.
Dia tahu, di balik semua sikap dingin dan kata-kata kaku itu, Arslan diam-diam ingin menjaganya. Bukan karena cinta semata, tapi karena dia satu-satunya perempuan yang mampu membuat pria seangkuh itu merasa tak berdaya.
Kadang, perlindungan paling tulus datang dari orang yang tak pandai merangkai kata. Tapi tahu kapan harus berdiri di depan, menahan dunia agar tidak menyakitimu.
Langit malam makin pekat. Jalan kecil itu sunyi, hanya terdengar suara angin dan gemeretak batu kecil di bawah sepatu. Keempat pria bertopeng yang sempat kabur tiba-tiba berhenti di ujung jalan, berbalik, lalu berteriak lantang,
"Jangan kabur! Kita selesaikan malam ini!” teriak salah satu preman kampung.
Langkah mereka serentak berhenti. Lalu pria bertopeng yang dari tadi memimpin, maju lagi sambil menunjuk ke arah Arslan dan Nayaka.
“Lo pikir, karena lo dokter terkenal terus kami takut?!” teriaknya garang. “Gue udah tanggung niat malam ini. Kalau lo nggak minggir, lo ikut gue ancurin juga!”
Yang lain menimpali, lebih brutal.
“Cewek kayak dia cuma bikin masalah, Bro. Kita beresin sekarang, sebelum makin ribet. Lagian, bayaran udah cair setengah!”
“Serahin dia sekarang! Atau kami yang ambil paksa! Dan kali ini, nggak ada ampun!”