“Perut itu harusnya di isi dengan janin, bukan dengan kotoran mampet!”
Ara tak pernah menyangka, keputusannya menikah dengan Harry—lelaki yang dulu ia percaya akan menjadi pelindungnya—justru menyeretnya ke dalam lingkaran rasa sakit yang tak berkesudahan.
Wanita yang sehari-harinya berpakaian lusuh itu, selalu dihina habis-habisan. Dibilang tak berguna. Disebut tak layak jadi istri. Dicemooh karena belum juga hamil. Diremehkan karena penampilannya, direndahkan di depan banyak orang, seolah keberadaannya hanyalah beban. Padahal, Ara telah mengorbankan banyak hal, termasuk karier dan mimpinya, demi rumah tangga yang tak pernah benar-benar berpihak padanya.
Setelah berkali-kali menelan luka dalam diam, di tambah lagi ia terjebak dengan hutang piutang—Ara mulai sadar: mungkin, diam bukan lagi pilihan. Ini tentang harga dirinya yang terlalu lama diinjak.
Ara akhirnya memutuskan untuk bangkit. Mampukah ia membuktikan bahwa dia yang dulu dianggap hina, bisa jadi yang paling bersinar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
“Empphh!” Puspa berusaha berontak ketika jemari kasar nan lebar menyelusup ke dalam rok ketat yang kerap menggoda kaum pria di perusahaan itu.
“Diam!” Bentak pelan pria yang selama ini diam-diam merekam aksi asusila antara Puspa dan Harry.
“Jika kau tidak mau video mesum mu di ruang arsip tersebar, lebih baik kau melayani aku sekarang!” ancam pria itu.
Puspa menggeleng cepat. Sudah kaget ketahuan mesum, kini ia malah menjadi target pelecehan—jelas tubuhnya kini mendadak tegang dan bergetar. Ia menatap takut-takut wajah penuh seringai mesum.
“P-pak Dika, tolong jangan begini, Pak ....” Puspa berusaha mencekal ujung jari Pak Dika yang berhasil mencapai belahan lembahnya.
“Jangan melawan dan jangan menolak. Nikmatilah seperti kamu menikmati sentuhan-sentuhan nakal dari pria beristri itu. Kamu sangat menyukai saat jari-jari kaum kami menggasak liang mu, ‘kan? Jadi, mendesahlah sepuasmu. Karena ... tidak akan ada orang yang mendengar suara mesum mu itu di sini.”
Tepat sebelum menyeret Puspa masuk kembali ke dalam Washroom, Pak Dika sudah terlebih dahulu memajang papan peringatan di depan pintu masuk dengan sebuah pesan “TOILET RUSAK-DALAM PERBAIKAN.”
“T-tidak ada orang? Maksudnya ap—Aaakh!”
Puspa tak melanjutkan perkataannya, justru ia menjerit kesakitan mana kala jari-jari berkuku panjang milik Pak Dika menerobos masuk ke dalam liangnya.
“Akhh! Jangan, Pak!”
...****************...
Harry tampak gagah hari itu. Setelan jas biru tua membalut tubuhnya yang sedikit gemuk, dasi perak terikat rapi, dan senyum hangat menyapa tamu satu per satu.
Di sisi lain ruangan, Ara berdiri dengan tenang. Meskipun sederhana, setelan hitamnya membuat ia tampak sempurna. Wajahnya sangat tenang, sedikitpun tak menunjukkan retak yang ada di hatinya—meskipun jantungnya berdetak tak karuan. Tangannya mengepal di balik clutch kecil berisi flashdisk dan amplop coklat tipis.
“Selamat menikmati moment pelantikan mu, Harry,” gumam Ara pelan.
Ketika MC memanggil nama Harry untuk naik ke podium, Ara melangkah cepat ke sisi operator multimedia.
Ia berbisik pelan, “Slide profil Pak Harry ada di sini. Titipan dari beliau.”
Si operator mengangguk tanpa curiga.
Lampu ruangan meredup. Dan, layar besar di panggung mulai menyala.
Semua tamu bersiap menyaksikan prestasi Harry dalam bentuk visual. Namun alih-alih muncul daftar penghargaan, justru … yang muncul malah rekaman video berdurasi 47 detik.
Harry tertangkap kamera sedang berbuat tindakan asusila di sebuah cafe. Ditambah lagi, Harry terpantau masuk ke sebuah kamar hotel bersama seorang wanita yang disensor wajahnya. Di akhir video, suara Harry terdengar jelas: “Nggak usah khawatir, Ara nggak pernah curiga. Dia terlalu polos untuk tau yang kita lakukan di balik jam lembur.”
Suasana sontak berubah hening, lalu riuh. Bisik-bisik, sorotan mata, wajah-wajah yang terkejut.
“Wah? Serius itu si Harry? Gila! Sama siapa dia?!”
“Nggak tau! Parah banget!”
Tak berselang lama, suasana yang sudah gaduh—berubah semakin gaduh.
“Woy, buruan buka instagram congor turah! Ada video mesum si Harry di ruangan arsip. Ceweknya nggak di sensor!” Seruan itu bak menghipnotis para karyawan. Mereka lekas membuka akun sosial media yang dimaksud sang rekan.
Mulut mereka serentak menganga. Meskipun video tersebut terlihat sedikit buram, tetapi, mereka masih dapat mengenali siapa dua insan yang berbuat mesum di tempat mereka mencari nafkah.
“Ini Puspa, ‘kan? Si anak baru yang sok kecentilan itu. Pantesan ... mereka kalau masuk ke ruangan arsip—lama banget keluarnya. Rupanya lagi adu jari!”
“Brengsek! Mereka yang enak-enak, kita yang kena sialnya!”
“Bego banget si Harry. Punya bini cantik natural, malah kepincut sama cewek full dempul!”
Harry berdiri terpaku di atas podium. Matanya mencari-cari Ara. Begitu mendapati sosok sang istri tengah melempar senyuman yang sangat sulit diartikan ke arahnya—pria itu lekas turun dari podium.
Ia berjalan cepat, nyaris berlari—hendak menyusul Ara yang sudah berbalik badan dan meninggalkan ruangan tersebut.
“Ara!” panggilnya seperti gumaman.
Namun, suaranya tenggelam oleh riuh dari rekan-rekan kerja yang menyoraki nya. Begitupun langkah kakinya—terpaksa berhenti saat salah satu dari Human Resources Departement (HRD) menghadang tepat di hadapannya.
“Pak Harry, saya ingin menyampaikan pesan dari atasan. Pengunduran diri Anda, sudah diterima.” Jelas wanita yang rambutnya di sanggul rapih, wajahnya jauh dari ramah tamah.
“P-pengunduran diri? Saya nggak pernah mengajukan surat pengunduran diri!”
“Silahkan cek email Anda kembali,” kata wanita itu tegas, kemudian ia pun berlalu dari hadapan Harry.
“K-kapan aku mengajukan pengunduran diri?” gumam Harry kebingungan.
Sementara Harry tenggelam dalam kalutnya, di luar gedung—Ara justru tertawa terbahak-bahak.
“Sorry, Harry ... Aku hanya mengembalikan mu ke posisi semula. Ke posisi di saat kamu tidak memiliki pekerjaan. Toh, pekerjaan yang selama ini kau jalani—itu hasil dari usahaku yang melamar pekerjaan ke sana-sini dengan datamu. Ada untungnya juga email mu masih nyantol di ponsel ku,” tawa Ara semakin kencang. “Gimana? Emang enak nganggur mendadak? Lagian, ditemenin dari nol, nggak punya pekerjaan—bukannya bersyukur, malah ujung-ujungnya bertingkah pas levelnya naik dikit. Rasain kamu, Har!”
*
*
*
pinisirinnnnnn🤭🤭🤭