Apa dasar dalam ikatan seperti kita?
Apa itu cinta? Keterpaksaan?
Kamu punya cinta, katakan.
Aku punya cinta, itu benar.
Nyatanya kita memang saling di rasa itu.
Tapi kebenarannya, ‘saling’ itu adalah sebuah pengorbanan besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episot 20
Jantung Puja berderu cepat manakala mendapati dirinya berada ketat dalam dekapan Kavi. Tak hanya itu, jarak wajahnya dan pria itu bahkan nyaris terkikis.
"Ba-bagaimana bisa begini?"
"Gimana caranya aku lepasin diri?"
Parahnya, satu tangannya juga ikut melingkari pinggang Kavi tanpa tahu malu.
"Apakah semalaman kami begini?"
Terus saja hatinya meracaukan tanya pada pikiran yang belum tergali.
Selama masa mengingat, dia memandangi wajah itu.
Sepasang mata Kavi masih terpejam rapat, masih dibuai lelap.
Padahal sekujur badan Puja sudah merasa kebas, dia ingin bergerak dan melepaskan diri, tetapi untuk mendorong lelaki itu secara paksa, rasanya dia 'tak ada hati. Tidak untuk Kavi, melainkan untuk dirinya sendiri. Ini keuntungan yang datang tidak di banyak waktu.
Jadi bagaimana?
Suara dering ponsel di atas meja rias tiba-tiba nyaring terdengar. Itu ponsel Kavi.
"Ugh."
Kavi menggeliat terganggu karena telinganya juga stereo menangkap itu. Segera dia membuka mata dan langsung membola detik yang sama.
Luar biasa!
Pemandangan pagi yang menyenangkan. Menciptakan nada bertalu dalam dadanya seperti musik disc jockey.
Wajah Puja memejam tenang beberapa senti dari wajahnya. Sangat dekat hingga kedua napas saling beradu.
Menanggapi keadaan ini, tertarik sudut bibir Kavi membentuk senyum, tapi tidak mengatakan apa pun seperti semua sudah terwakilkan oleh pandangan.
Karena ponselnya lagi-lagi berdering, pria ini mendengus, terpaksa harus bergerak.
Perlahan memerosotkan kepala Puja dari tangannya dengan sangat hati-hati, berlanjut menurunkan tangan Puja yang memeluk bagian pinggangnya. Selesai semua, segera Kavi urun dari tempat tidur, lalu meraih ponsel untuk mengangkat panggilan yang ternyata dari ibunya.
Dia keluar kamar, 'tak ingin menciptakan suara berisik mengingat Puja masih tertidur.
Tapi itu jelas hanya menurut pandangan Kavi semata yang tertipu, Puja jelas berpura-pura. Dia menyaksikan banyak dari apa yang Kavi lakukan beberapa detik yang lalu.
Selepas pria itu menghilang dari ruangan, gegas Puja mengangkat bangkit tubuhnya lalu memegangi dada. Jantungnya tidak bisa dikondisikan lagi. Dagdugdug seperti tabuhan bedug.
"Dia nggak lemparin serapah karena tidur deketan sama aku? Dia nggak mendorong aku menjauh? Apa Kavi beneran sadar sama apa yang dia lakukan? Sebenernya apa yang terjadi semalam?!" Puja jadi memikirkan itu dan meringiskan wajah. "Apa ... dia beneran udah berubah?" Pertanyaan akhir terdengar 'tak meyakinkan.
Frustrasi sendiri, mengacak pikirnya untuk meraih ingatan tentang bagaimana bisa dia dan Kavi berakhir tidur saling berpeluk. Sementara selama ini sepanjang menikah, cara tidur mereka bahkan terpisah tempat saling menjauh. Juga tentang perubahan sikap yang mana mungkin bisa secepat itu, yang sampai kemarin pun sebelum pergi ke pertandingan basket, pria itu masih bersikap seperti musuh.
"Aku rasa aku yang mulai gila!"
Setelah bersikap gila sendiri, pada akhir Puja mengalah atas kata 'bagaimana nanti saja'.
.
.
Beberapa saat kemudian di meja makan.
Semua berkumpul dengan ragam menu sarapan buatan Sedayu yang aromanya memanjakan hidung dan mengolok perut yang kosong.
Luna masih saja memasang wajah seolah ingin melahap kakak iparnya. Sendok dihentak-hentak ke piring hingga berdenting nyaring.
Sedayu menegur, "Luna, jangan main-main!”
Dengan wajah cemberut gadis itu menyahut, "Iya, Bu." Namun tatapannya masih tajam menusuk Kavi dan sesekali melirik Puja senada kesal, tapi berlainan judul.
Akan tetapi Kavi malah seperti menantang anak kecil itu, makan dengan lahap tanpa terganggu.
Sedang Puja ...
Lain dengan Kavi yang santai, dia malah merasa canggung bertemu pria itu saat ini. Kavi yang tak menyinggung apa pun perkara tidur bersama, justru malah membuatnya kepikiran.
Tapi seperti sebelum-sebelumnya, sebisa mungkin wanita itu menyembunyikan siratnya dengan raut biasa saja.
Tak ada obrolan berarti yang terjadi di suasana ini. Semua makan dalam hening, termasuk Sedayu yang tetap tenang dan seteduh itu. Walau sebenarnya dalam diamnya wanita itu, dia masih terus memantau gerak-gerik menantunya yang dirasa masih belum bisa dipercaya secara penuh.
Sementara ini biarkan saja dulu.
Hari ini Puja tak diizinkan Kavi untuk pergi ke kantor, namun wanita itu tetap memaksa, membuat Kavi juga terpaksa harus mengalah.
Kini keduanya sudah berada di dalam mobil, melaju menuju kantor. Kavi mengenakan kemeja dan celana milik mendiang ayahnya Puja yang dipinjamkan Sedayu, mengingat kemarin anak itu datang ke rumah dengan seragam basket.
Sama halnya di meja makan, di mobil pun keadaan masih sama, tidak ada pembahasan apa pun tentang kejadian semalam.
Sebenarnya Puja sangat ingin tahu yang sebenarnya, namun terus menekan diri agar bersikaplah biasa saja.
Gedung Perusahaan Manggala menjulang mencakar langit sudah terlihat di kejauhan.
Sampai semakin dekat ...
"Turunin aku di depan sana." Puja mengarahkan telunjuknya ke sebuah halte yang berada tidak jauh dari halaman luas perusahaan.
"Di sana?" Kavi menyorot dengan matanya, bertanya memastikan.
"Ya."
"Kan tinggal sedikit lagi, kenapa harus di sini?" tanya Kavi, mobil sudah dihentikan sesuai permintaan istrinya.
Puja sendiri sudah bersiap akan keluar.
"Aku gak mau jadi bahan gosip orang sekantor karena keluar dari mobilmu," jawab wanita itu. Sekarang sudah menurunkan kedua kaki, menegak dan akan menutup pintu. "Makasih. Sisanya aku jalan kaki sampe ke kantor."
Tanpa bisa mencegah, Kavi hanya mengangguk. Puja yang mulai melangkah jauh dipandanginya dengan hati kecut.
"Apa gua mulai lupa kalo pernikahan kami cuma mainan?" gumamnya, merasa bodoh sendiri. Tak berlama-lama di sana, mobil kembali dijalankannya, merangkak sedikit menuju kantor yang sudah di depan mata.
Waktu menggerus pagi, sampai di beberapa jam kemudian ....
"Semua harap bersiap!" Manager divisi dimana Puja bernaung berseru dari arah pintu. Dia baru kembali dari ruang CEO. "Pak Kavi akan tiba dalam sepuluh menit di aula rapat."
"Baik, Bu Riska!" Semua mengangguki dan bergegas, termasuk Puja.
Hari ini ada rapat besar, dua divisi banyaknya dilibatkan terhubung proyek raksasa yang beberapa waktu lalu kontraknya resmi ditandatangani Kavi sebagai pemenang tender, mengalahkan lima perusahaan besar lainnya dalam rapat persaingan tempo lalu di pusat kota.
Berbondong karyawan memasuki aula rapat yang berada satu tahap di bawah lantai puncak milik direktur--Aji Manggala.
Bertemu di ruangan itu, Puja dan Jimmy Ardana mengambil posisi duduk berdampingan setelah sesaat saling menyapa.
Jimmy ditugaskan Aji untuk mengawasi jalannya rapat dan kinerja seluruh team. Dia tangan kanan bos besar, ya seperti itulah. Kavi pun terkadang harus mengalah.
Bicara soal Kavi, pria itu baru saja datang, memasuki ruangan diikuti Gia Marta sekretarisnya, berdampingan beberapa petinggi dari satu departemen yang sama.
Semua perhatian serempak mengalir padanya, terkecuali Puja, fokusnya bermain bersama berkas yang dia bawa.
Kavi memandang hanya melalui lirikan mata, sembari berjalan menuju kursi tunggal paling depan berdekatan dengan layar raksasa yang menyala menampilan logo Manggala dalam ukuran besar. Sorot matanya menilai minus, ternyata Puja berdampingan duduk dengan si beku Jimmy. Lumayan membuatnya kesal.
Saat semua sudah dalam posisi siap untuk memulai, seseorang datang ....
"Maaf, aku terlambat."
jadi lupakan obsesi cintamu puja..
ada jim dan jun, walaupun mereka belum teruji, jim karena kedekatan kerja.. jun terkesan memancing di air keruh..