Dijodohkan dengan pria kaya raya? Kedengarannya seperti mimpi semua perempuan. Tapi tidak bagi Cloe.
Pria itu—Elad Gahanim—tampan, sombong, kekanak-kanakan, dan memperlakukannya seperti mainan mahal.
“Terima kasih, Ibu. Pilihanmu sungguh sempurna.”
Cloe tak pernah menginginkan pernikahan ini. Tapi siapa peduli? Dia hanya anak yang disuruh menikah, bukan diminta pendapat. Dan sekarang, hidupnya bukan cuma jadi istri orang asing, tapi tahanan dalam rumah mewah.
Namun yang tak Cloe duga, di balik perjodohan ini ada permainan yang jauh lebih gelap: pengkhianatan, perebutan warisan, bahkan rencana pembunuhan.
Lalu, harus bagaimana?
Membunuh atau dibunuh? Menjadi istri atau ... jadi pion terakhir yang tersisa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rinnaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Pesan.
Pagi itu, rumah Gahanim masih diselimuti udara dingin sisa embun malam. Cloe berdiri di lorong atas, mengenakan kaus lengan panjang dan celana santai. Rambutnya digelung asal, memperlihatkan leher jenjangnya tanpa upaya berlebihan. Ia memegang cangkir kopi, sesekali meniup uap panas dari permukaannya.
Dari balik jendela, suara mobil berhenti terdengar.
Ayano yang baru akan turun tangga hampir menjatuhkan ponselnya. "Kak! Itu mobil Bang Elad!" Dia bersemangat, bagaikan mendapatkan lilin di tengah kegelapan.
Tidak heran. Ayano mungkin lelah selalu waspada di rumah ini, pada Sehan yang kapan saja bisa muncul tiba-tiba. Atau pada waktu bermain game yang tidak memiliki kefokusan dan terganggu di momen terbaik.
Cloe tidak bereaksi berlebihan. Ia hanya memiringkan kepala, seolah itu berita biasa, lalu menyeruput kopinya malas-malasan.
‘Ya, semoga hari ini kau bisa dengan tenang terfokus pada game, Ayano. Kasihan sekali melihatmu yang mendadak menjadi bodyguard.’
Beberapa menit kemudian, pintu depan terbuka. Elad melangkah masuk, masih dengan jas hitam dan kemeja kusut, koper kecil di tangan. Rambutnya sedikit berantakan oleh perjalanan panjang, tapi wajahnya tetap memancarkan aura dominasi yang melekat kuat.
Mata Elad langsung menemukan Cloe yang berdiri santai di atas.
Sejenak, waktu terasa berhenti. Diam-diam bibirnya tertarik tipis.
Cloe menurunkan cangkirnya, menatapnya dengan ekspresi setengah bosan, setengah penasaran.
"Kenapa kau cepat sekali pulang? Padahal dunia ini sudah terasa damai,” tutur Cloe bersama senyuman yang terlihat jahat.
Elad terkekeh kecil, suaranya rendah dan berat karena kelelahan. Ia menaiki tangga dengan langkah mantap, seolah jarak di antara mereka adalah arena permainan kecil yang harus ia menangkan.
Saat sampai di hadapan Cloe, ia mencondongkan tubuh sedikit, mencium kening Cloe sepintas. Cloe refleks memundurkan kepala, tapi tidak cukup cepat untuk menghindar.
"Hmm, masih ketus seperti biasanya," gumam Elad sambil tersenyum nakal. "Tapi kau tetap rumah terhangat yang kumiliki."
"Dan kau tetap maling yang suka menjarah rumah orang lain," balas Cloe, menatapnya dari atas ke bawah. "Tampilanmu lusuh. Kau berantem dengan api?"
"Bernegosiasi dengan neraka," sahut Elad santai. Ia meletakkan kopernya di lantai, lalu meregangkan tubuh. "Tapi jangan khawatir, neraka belum berani mengurungku. Aku masih terlalu berharga."
"Untuk siapa?" Cloe mengangkat satu alis. "Untuk perusahaanmu, atau egomu?"
Tatapan Elad berkilat, tapi bibirnya tetap tersenyum. "Kau, tentu saja," balasnya lembut.
Cloe hanya mengangkat cangkir kopinya lagi, seolah ingin menutup percakapan dengan tindakan sepele.
Mereka saling mengukur diam-diam.
Ayano yang berdiri di bawah menatap mereka berdua seperti menonton pertandingan catur hidup. Ia sudah terbiasa melihat interaksi dua manusia keras kepala itu.
"Aku tidak mengganggu, kan?" tanya Ayano dengan nada bercanda.
Elad menoleh, matanya melunak sedikit. "Tidak, Nak. Kau justru saksi hidup betapa kerasnya mempertahankan istri seperti Kak Cloe."
"Aku yang harusnya diberi penghargaan karena bertahan dari suami seperti kau," potong Cloe cepat.
Ayano tertawa gugup. "Baiklah ... aku ke dapur. Mungkin teh bisa meredakan perang dunia ketiga yang akan pecah."
Begitu Ayano berlalu, Elad dan Cloe kembali berhadapan dalam keheningan.
Elad mendekat setengah langkah, menurunkan suaranya. "Selama aku pergi, kau rindu padaku?"
Cloe mengedipkan matanya perlahan, lalu tersenyum miring. "Rindu suasana tenang tanpa suara orang narsis, mungkin."
Elad tertawa pelan. Ia tahu Cloe tidak akan memberi jawaban lurus. Tapi itu cukup. Senyuman tipis di bibir wanita itu—sekeras apapun mencoba disembunyikan—lebih jujur daripada seribu kata.
"Jangan terlalu keras padaku," bisik Elad. "Aku baru saja pulang dari neraka. Setidaknya beri aku tempat bernaung sebelum kau tendang keluar lagi."
Cloe menyesap kopinya terakhir kali, lalu berbalik santai, berjalan menuju kursi di tepian jendela. Ia duduk, meletakkan gelas di atas meja. Daripada melihat wajah Elad, dia memusatkan seluruh perhatian pada pemandangan di luar yang tidak dapat ia jangkau.
Elad melepaskan jas, menjatuhkan ke lantai begitu saja. Kemeja putih hampir memperlihatkan bentuk otot pada tubuhnya. Dia ingin tahu apa yang Cloe lihat, lantas mendesah lelah.
“Kalau kau menurut, aku tidak mungkin mengurungmu.”
“Kalau kau meninggalkan Jasmin, aku tidak mungkin tidak menurut,” balas Cloe. “Kuncinya ada di kau!”
Tidak ada balasan setelah itu, keduanya menembakkan pandangan ke arah luar dengan ekspresi lelah di masing-masing wajah. Meja kecil di tengah menjadi pembatas, bertahan dari aura dingin yang dikeluarkan oleh sepasang suami istri itu.
Keduanya bertanya-tanya pada satu sama lain: kapan dia berhenti keras kepala? Mengalah-lah.
‘Hidup sebagai nyonya adalah impian siapapun. Tidak perlu melakukan pekerjaan apapun selain bersenang-senang dengan uang. Aku kira para wanita mencintai uang daripada apapun,’ pikir Elad.
‘Bukankah seharusnya dia bisa menentang permintaan keluarganya, lalu menikahi Jasmin? Dia pemilik penuh perusahaan itu sekarang. Tidak ada ancaman pada warisan yang telah diwariskan,’ benak Cloe.
Selanjutnya Cloe dan Elad tanpa sengaja saling melihat dengan heran, sebelum sama-sama membuang muka. Biasanya Elad akan melemparkan kata-kata menggoda, bersenang-senang pada reaksi Cloe, tapi detik ini dia bungkam dalam waktu yang panjang.
Aroma menyengat menandakan kehadiran Cloe di sana, wangi bagaikan berendam dengan perfume semalaman. Wangi melati yang jika wanita itu lewat di malam hari, akan dikira sebagai hantu.
“Bisa enggak, pintu menuju balkon di buka saja? Aku sudah lama tidak menyentuh angin alami di dunia ini,” pinta Cloe tiba-tiba.
Elad menoleh, mengernyit. “Memberikan kau jalan untuk melarikan diri dari balkon?”
“Dari balkon ke bawah sangat tinggi! Mana mungkin aku bisa–”
“Bisa! Ada banyak cara untuk melarikan diri.”
“Aku–”
“Tidak!”
Cloe memandang Elad intens. Bukan kemarahan, tapi lebih tatapan sakit hati tanpa air mata.
“Aku akan mandi terlebih dahulu.” Elad berdiri, langkah pasti menuju kamar. Ia jelas menghindari permintaan Cloe saat ini, atau perkelahian setelah pembicaraan tersebut.
Pria itu tidak sadar telah menjatuhkan ponselnya di langkah awal setelah berdiri, bahkan waktu Cloe memanggilnya, dia sama sekali tidak mendengar.
“Ada apa dengannya? Sudah tuli, kah?”
Ia memungut ponsel. Cloe menyalakannya, berniat hanya ingin memastikan tidak ada kerusakan pada LCD. Akan tetapi dia salah fokus, pada notifikasi aplikasi chat di layar utama.
[Awas saja kau tidak menepati janji!] ~Jasmin.
“Janji apa?” Cloe bergumam, perlahan dia memastikan keberadaan Elad. Pria itu tidak kembali setelah beberapa menit. Ternyata dia benar-benar tidak mendengar. “Hmm, Jasmin sudah berhasil menghubungi Elad.”
Cloe menelan ludah susah payah, rasa penasaran menguasainya. Maka dia membuat pilihan: jika layar terkunci, dia akan meletakkan ponsel ke atas meja. Namun, Elad tidak memasang kunci pada ponselnya. Cloe merasa Tuhan mengizinkan dia untuk mengintip ruang chat Elad dan Jasmin.
Bersambung....