Tari Sukma Dara (24 Tahun) tidak tahu kalau sebuah kunjungan dari seseorang akan merubah nasibnya. Kehidupannya di Bandung sangat tenang dan damai, Ia tinggal di rumah tua dan membuka “Toko Bunga Dara”. Namun hari itu semua berubah, seorang perempuan bernama Tirtamarta Kertanegara mengatakan bahwa Ia adalah cucu kandungnya. Ia harus ikut ke Jakarta dan belajar dengan pamannya untuk menjadi penerusnya.
Gilang Adiyaksa (30 Tahun) tentu saja marah saat Tirtamarta yang Ia anggap seperti Ibunya sendiri mengatakan telah menemukan darah dagingnya. Tapi Ia tak bisa melakukan apapun, Ia hanya seorang anak angkat dan sekarang Gilang membimbing Tari agar menjadi cukup pantas dan apabila Tari tak cukup pantas maka Gilang akan menjadi penerus Kertanegara Beauty. Gilang membuat rencana membuat Tari percaya padanya lalu membuatnya hancur.
Hanya satu yang Gilang tidak rencanakan, bahwa Ia jatuh cinta pada keponakannya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 - Terlalu Dalam
Hari-hari di kantor yang tadinya dipenuhi bisik-bisik pelan, kini mulai berubah jadi suara yang nyaris tak bisa diabaikan.
Kabar soal kedekatan Tari dan Gilang udah jadi semacam rahasia umum yang nggak lagi disimpan di balik pintu pantry. Semuanya mulai bisa melihat: caranya Gilang kadang secara refleks menepuk kepala Tari, atau saat mereka tertawa terlalu lepas di ruang kopi dekat dapur. Bahkan beberapa staf mulai bilang kalau Gilang kelihatan "terlalu sering" ada di dekat Tari, padahal Tari sekarang sudah cukup mandiri di timnya.
"Gilang itu kayak bayangan Tari sekarang," kata salah satu staf divisi keuangan di lift.
"Dia bukannya ngajarin, tapi ngawasin. Biar dia tetap punya posisi," sahut yang lain.
Dan gosip itu terus merambat. Ke semua lantai. Termasuk... ke telinga Tirtamarta.
Bu Tirta mendengarnya pertama kali dari Rahma. Bukan secara langsung—tentu saja tidak. Tapi dari caranya Rahma menaruh dua gelas teh di meja dan menatapnya lama.
"Banyak yang mulai ngomongin Mbak Tari dan Gilang, Bu."
Tirtamarta diam, menggulung lengan kimononya. "Ngomongin apa maksudnya?"
"Kedekatan mereka. Beberapa bilang Gilang terlalu sering ikut turun tangan dalam urusan yang bisa diserahkan ke manajer. Dan... orang-orang mulai curiga hubungan mereka lebih dari sekadar mentor dan anak didik."
Awalnya Bu Tirta nggak mau langsung ikut menilai. Tapi makin hari, makin banyak yang bikin pikirannya terusik. Ia mulai memperhatikan.
Tertangkap matanya bagaimana Tari mencolek bahu Gilang sambil tertawa kecil di dapur.
Bagaimana Gilang memegang siku Tari saat mereka menuruni tangga kecil.
Bagaimana Gilang menatap Tari di ruang meeting, bukan dengan pandangan profesional, tapi dengan sesuatu yang jauh lebih dalam.
Dan yang paling membuatnya terdiam: mereka sering pulang bareng. Bukan naik mobil kantor, tapi mobil pribadi Gilang. Hanya mereka berdua.
Hari itu, saat semua staf sudah pulang, Bu Tirta memanggil Gilang ke ruang baca rumah. Ruangan itu sunyi, hanya ditemani cahaya lampu gantung dan wangi kayu dari rak buku tua.
"Duduk," katanya pelan.
Gilang duduk, ragu.
"Ada yang mau Ibu bicarakan."
Gilang meneguk ludah. "Tentang Tari?"
"Tentang kamu. Dan Tari."
Gilang menunduk. "Aku tahu ini mungkin terdengar salah. Tapi hubungan dengan Tari... kami nggak berniat menyembunyikannya. Tapi kami juga nggak tahu harus bagaimana."
"Kalian sudah terlalu dekat, Lang. Dan terlalu terlihat."
"Saya hanya ingin melindunginya Bu. Saya merasa... bertanggung jawab."
Bu Tirta mengangguk pelan. "Melindungi? Atau mencintai?"
Hening.
Gilang mengangkat wajah. "Mungkin... dua-duanya."
Tirtamarta berdiri dari kursinya, berjalan ke jendela. Lalu berbalik. "Saya tahu kamu sayang Tari. Dan saya nggak akan halangi itu. Tapi saya juga nggak bisa membiarkan perusahaan ini jadi panggung untuk cerita pribadi."
Gilang menunduk lagi. "Lalu... harus bagaimana?"
Tirtamarta menarik napas. "Saya akan menjodohkan Tari."
Dunia Gilang seperti berhenti sejenak. "Apa?"
"Ada seseorang dari keluarga pengusaha sahabat saya. Latar belakangnya bersih. Dan... ini kesempatan memperkuat jaringan bisnis."
Gilang berdiri. "Tapi... bagaimana kalau Tari kabur lagi? Seperti ibunya dulu?"
Bu Tirta menatap tajam. "Saya akan membuat semuanya terlihat natural. Media, publik, investor... tidak akan tahu ini dijodohkan."
"Lalu?" suara Gilang nyaris pelan.
"Kamu harus lebih mawas diri. Kamu terlalu dalam. Kamu sudah tahu dari awal, Lang. Kamu bukan darah saya. Dan saya tidak ingin kamu ikut terseret dalam gosip ini."
Gilang menahan napas, lalu perlahan mengangguk. Tapi hatinya... porak-poranda.
Malam itu, Gilang duduk sendirian di kamar. Ponselnya menyala, ada pesan dari Tari:
Tari: Kamu dimana kok gak keliatan? Aku dikamar ini.
Gilang tak membalas. Ia hanya menatap langit-langit kamar, mencoba menenangkan gejolak yang berkecamuk dalam dadanya.
Ia sudah terlalu dalam.
Dan kini, ia tak tahu bagaimana cara naik ke permukaan lagi.