Generasi sekarang katanya terlalu baper. Terlalu sensitif. Terlalu online. Tapi mereka justru merasa... terlalu sering disalahpahami.
Raka, seorang siswa SMA yang dikenal nyeleneh tapi cerdas, mulai mempertanyakan semua hal, kenapa sekolah terasa kayak penjara? Kenapa orang tua sibuk menuntut, tapi nggak pernah benar-benar mendengarkan? Kenapa cinta zaman sekarang lebih sering bikin luka daripada bahagia?
Bersama tiga sahabatnya Nala si aktivis medsos, Juno si tukang tidur tapi puitis, dan Dita si cewek pintar yang ogah jadi kutu buku mereka berusaha memahami dunia orang dewasa yang katanya "lebih tahu segalanya". Tapi makin dicari jawabannya, makin bingung mereka dibuatnya.
Ini cerita tentang generasi yang dibilang gagal... padahal mereka cuma sedang belajar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 11 Podcast Gagal Paham
Hujan turun perlahan sore itu. Langit kota seperti sedang meratap pelan—seolah ikut merasakan beban yang dipikul oleh anak-anak SMA kelas 11 yang baru saja mengguncang dunia maya. Nala duduk di ruang tamu rumahnya, menatap layar laptop yang menampilkan angka views yang terus bertambah.
1.200.000.
Itulah jumlah pendengar episode terbaru podcast Gagal Paham dalam waktu kurang dari 48 jam. Juno mengirim pesan suara lewat grup mereka.
> “Kita viral, Nal. Tapi… ini bukan viral yang bikin senang. Kita sedang diawasi.”
Nala membalas dengan rekaman suara juga, suaranya terdengar parau.
> “Aku tahu. Tapi kalau bukan kita yang ngomong, siapa lagi?”
Podcast itu mereka rekam tanpa ekspektasi macam-macam. Hanya berdua, duduk di kamar Juno, ditemani teh tawar, cemilan seadanya, dan keresahan yang semakin menumpuk. Mereka tidak menyebut nama sekolah, tidak menyebut guru. Hanya membahas sistem. Hanya mengurai realita.
Tapi realita itu terlalu tajam. Dan dunia maya tidak punya pelindung dari luka.
---
Pagi hari, suasana sekolah seperti ladang ranjau. Bisik-bisik terjadi di setiap sudut lorong. Beberapa teman memandang dengan mata kagum, sebagian lagi melirik sinis. Armand bahkan dengan santainya menyindir di depan kelas.
"Wah, bintang podcast udah dateng. Siap-siap guru dapet bintang satu, guys."
Juno diam saja. Ia tahu membalas hanya akan memperpanjang api. Tapi Nala, seperti biasa, tidak bisa tinggal diam.
"Daripada kamu ngegosip terus dan nggak ngerti konteks, mending dengerin dulu semua episodenya. Baru komentar."
Armand terdiam, tak menyangka akan diserang balik. Suasana kelas mendadak hening. Bahkan guru yang baru masuk pun sempat berhenti sejenak sebelum menyapa.
“Selamat pagi anak-anak…” katanya ragu.
Setelah jam pertama selesai, Nala dan Juno dipanggil ke ruang guru. Kali ini bukan hanya Pak Hadi yang memanggil, tapi langsung Bu Mirna, wakil kepala sekolah.
“Kalian tahu apa yang kalian lakukan sudah menyebabkan nama sekolah tercemar?” kata Bu Mirna tanpa basa-basi.
“Kami tidak menyebut nama sekolah sama sekali, Bu,” jawab Juno pelan.
“Tapi kalian murid dari sini! Orang-orang tahu! Media sudah mulai bertanya. Kami harus menjelaskan pada dinas,” potong Pak Darwis yang duduk tak jauh dari sana.
Nala menyilangkan tangan di dada. “Kami hanya menyampaikan apa yang kami rasakan. Apakah menyampaikan keresahan itu sekarang dilarang?”
“Itu bukan sekadar keresahan, Nala. Itu pemberontakan,” jawab Pak Darwis tajam.
Pak Hadi mencoba menenangkan suasana. “Anak-anak, saya tahu maksud kalian mungkin tidak buruk. Tapi kalian harus paham, dunia orang dewasa tidak semuanya menerima kebenaran dengan kepala dingin.”
“Kami nggak butuh mereka menerima. Kami cuma pengin mereka dengar,” ucap Nala tegas.
Bu Mirna menghela napas. “Saya akan bilang begini: hentikan podcast kalian. Hapus episode terakhir. Kalau tidak, kalian akan menerima konsekuensi.”
---
Keluar dari ruang guru, Juno dan Nala duduk diam di taman belakang sekolah. Tak ada kata yang keluar. Bahkan Dita yang biasanya menyapa mereka, kini hanya lewat begitu saja.
“Juno,” kata Nala pelan. “Kalau kita harus keluar dari sekolah karena ini, kamu nyesel?”
Juno memandangi langit. “Kalau kita diam, lalu nanti anak-anak setelah kita juga tetap takut bicara… aku rasa aku bakal lebih nyesel.”
Mereka saling menatap, tanpa kata, tapi satu pemahaman: ini belum selesai.
---
Malam harinya, mereka merekam episode terbaru. Tanpa intro ceria. Tanpa candaan pembuka. Hanya suara mereka dan kejujuran.
> “Kami diminta berhenti. Tapi sebelum itu, izinkan kami bicara sekali lagi.”
> “Kalian yang dengerin kami, kalian bukan sendirian. Kalian bukan remaja rewel. Kalian manusia yang punya hak untuk didengar.”
> “Dan kalau besok kami tak bisa bicara lagi… suaramu harus tetap hidup.”
Episode itu seperti bom. Dalam semalam, ribuan pesan masuk ke akun Instagram mereka. Ada dari pelajar di kota lain. Ada guru. Bahkan ada orang tua.
> “Terima kasih sudah jadi suara yang tak bisa kami ucapkan.”
“Saya seorang guru. Saya malu karena saya sering menutup telinga. Tapi kalian membuka mata saya.”
“Aku dengerin podcast kalian sambil nangis. Aku juga pernah dimarahin karena nanya terlalu banyak.”
---
Dinas Pendidikan pun turun tangan. Surat resmi dikirim ke sekolah. Media mulai menulis tajuk besar:
“Podcast Dua Siswa SMA Tuding Sistem Pendidikan Gagal.”
“Dinas Investigasi Konten Tidak Etis dari Siswa.”
Namun yang paling mengejutkan: mereka diundang menjadi pembicara di podcast pendidikan yang dikelola oleh dosen-dosen muda. Judul acaranya: “Suara dari Ruang Kelas”.
“Ini undangan resmi,” kata Juno, menunjukkan emailnya ke Nala.
“Berani?” tanya Nala.
“Apa kita punya pilihan lain?”
---
Satu minggu setelah viral, Nala dan Juno akhirnya tampil di hadapan publik, bukan sebagai murid, tapi sebagai pembicara.
Dalam podcast itu, mereka tidak membela diri. Mereka hanya bercerita.
Tentang bagaimana mereka ingin belajar tanpa takut. Tentang betapa seringnya guru melabeli siswa malas hanya karena tidak mengerti. Tentang bagaimana diam telah lama dianggap sebagai disiplin, padahal itu bisa jadi tanda patah hati yang dalam.
Dan entah bagaimana, kali ini, suara mereka didengar.
---
Namun seperti yang selalu terjadi di dunia nyata, tidak semua respon manis. Di balik pujian, tetap ada tekanan. Kepala sekolah meminta mereka menghapus seluruh konten podcast.
“Kalau kalian ingin tetap sekolah di sini, lakukan. Sekarang juga,” kata Pak Darwis.
Juno memandang Nala.
“Kalau kita hapus, semuanya hilang.”
“Tapi kalau nggak, kita diusir.”
Mereka terdiam lama.
Lalu Nala tersenyum kecil. “Kalau benar memang harus ada yang keluar, biar kita yang duluan. Biar yang lain tahu: ada harga dari kejujuran. Tapi itu bukan harga yang sia-sia.”