“Aku bukan barang yang bisa diperjualbelikan.” —Zea
Zea Callista kehilangan orangtuanya dalam sebuah pembantaian brutal yang mengubah hidupnya selamanya. Diasuh oleh paman dan bibinya yang kejam, ia diperlakukan layaknya pembantu dan diperlakukan dengan penuh hinaan oleh sepupunya, Celine. Harapannya untuk kebebasan pupus ketika keluarganya yang serakah menjualnya kepada seorang mafia sebagai bayaran hutang.
Namun, sosok yang selama ini dikira pria tua berbadan buncit ternyata adalah Giovanni Alteza—seorang CEO muda yang kaya raya, berkarisma, dan tanpa ampun. Dunia mengaguminya sebagai pengusaha sukses, tetapi di balik layar, ia adalah pemimpin organisasi mafia paling berbahaya.
“Kau milikku, Zea. Selamanya milikku, dan kau harus menandatangani surat pernikahan kita, tanpa penolakan,”ucap Gio dengan suara serak, sedikit terengah-engah setelah berhasil membuat Zea tercengang dengan ciuman panas yang diberikan lelaki itu.
Apa yang akan dilakukan Zea selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BEEXY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 - Naik Tingkat Menjadi Wanitaku
"Ruangan apa ini?! Kenapa penuh dengan senjata?" Zea berjalan menyusuri lantai hitam tersebut.
Tangan gadis itu mengambang di udara di atas senjata-senjata yang terpasang di dinding-dinding ruangan.
Zea merasakan jantungnya mulai berdegup kencang lagi. Melihat banyaknya senjata di sana menciptakan kenangan-kenangan pengerikan di kepalanya tentang kematian orang tua Zea. Dia memandang Giovanni dengan takut-takut. "Kenapa kau membawaku ke tempat seperti ini?"
"Untuk mengajarimu cara melindungi diri." Giovanni mengambil salah satu Laras pendek.
"Aku bisa ilmu bela diri, aku bukan gadis lemah, tau!" Zea pun berusaha membela diri karena merasa Giovanni meremehkan kemampuannya.
"Itu tidak cukup. Tidak ada gunanya jika kau tidak bisa menggunakan senjata." Giovanni menodongkan pistol tersebut ke dahi Zea. "Hanya mengandalkan ilmu bela diri berkelahi mu tidak cukup untuk membuatmu naik tingkat menjadi 'wanitaku'."
Zea terbelalak.
Wanitanya?? Siapa juga yang ingin menjadi wanita dari Giovanni Alteza yang kejam dan brutal itu??!
Sialnya wajah Zea memerah.
"Cukup anggap aku sebagai manusia saja, bukan properti." Zea menyentuh pergelangan tangan Giovanni yang menodongkan pistol itu.
Lelaki itu berseringai, "Tidak mau menjadi wanitaku?"
"Tidak!"
Lalu Giovanni mengangkat tangannya untuk menyentuh dagu Zea dan membuat gadis itu menatapnya. "Bagaimana jika aku ingin menjadikanmu wanitaku?"
Zea terbelalak. "K-kau."
"Aku tidak ingin melihatmu terluka sedikitpun, aku tidak akan membiarkanmu tergores seincipun, aku akan membunuh siapapun yang berani menyakitimu." Sentuhan Giovanni naik membelai pipi Zea.
Membuat gadis itu memegang seketika. Sentakan perasaan berdebar menyebar di dadanya.
Zea pun bingung, saat bersama Giovanni, tubuhnya selalu membeku tanpa bisa melakukan perlawanan.
Seolah tunduk pada sisi dominan sang mafia, Giovanni Alteza.
"Tapi, kau yang melakukaiku. Kau yang merantaiku. Kau adalah sumber dari rasa sakitku. Jadi, apa kau akan membunuh dirimu sendiri?" Zea berkata dengan keseriusan.
Benar adanya.
Giovanni berkata akan membunuh siapapun yang menyakiti Zea.
Sedangkan lelaki itu bahkan lebih sering mengakibatkan luka dalam diri gadis itu.
Giovanni yang mendengar ucapan Zea seketika menurunkan pistolnya dan tertawa, "tentu saja itu berbeda. Aku melakukan itu agar kau patuh untuk melindungimu dari musuh-musuhku di luar sana."
"Tetap saja caran—"
Giovanni menutup mulut Zea dengan jari telunjuknya. "Tidak ada pertanyaan lagi, yang perlu kau lakukan hanya mematuhiku. Jika kau ingin naik tingkat menjadi wanitaku dan dilindungi olehku, kau harus mematuhiku."
Zea berdecak kesal.
"Termasuk tidak boleh berdecak seperti itu." Giovanni menggelengkan kepalanya.
Lelaki itu lalu menarik Zea untuk berjalan ke sebuah tempat.
"Sekarang mau ke mana lagi?"
"Tempat di mana kau bisa naik tingkat menjadi ... wanitaku." Giovanni berseringai dengan sedikit nada mengejek.
Saat mendengar itu Zea sontak kesal. "Aku bilang, aku tidak ingin menjadi wanitamu atau apalah itu. Aku tidak peduli, yang kuinginkan adalah kebebasan dari tempat ini dan juga darimu. Aku ingin kehidupan normalku kembali."
Zea merasa kata-kata itu pun sebenarnya tidak ada artinya. Kehidupan normal gadis itu sudah musnah setelah kematian kedua orang tuanya.
"Kebebasan? Dan kembali disiksa oleh paman dan bibimu? Tidur di kasur keras dan disiram oleh air setiap malamm?" Giovanni berujar dengan santai namun sontak membuat Zea menegang.
Bagaimana Giovanni bisa tahu semua perlakuan buruk Paman, bibi dan sepupunya pada Zea?
"Bagaimana kau tahu?"tanya Zea penasaran.
Giovanni yang kala itu mencengkeram pergelangan tangan Zea, lebih mengeratkannya sedikit. "Aku sudah mengatakan padamu, aku mengetahui segala hal tentangmu. Tak terlewat satupun. Maka dari itu jangan pernah bermain-main denganku, Zea Calista." Sudut bibir Giovanni naik ke atas menciptakan seringai yang menakutkan.
Zea menelan salivanya.
Sudah sejauh mana Giovanni alteza ini tahu tentang gadis itu? Dan dari mana lelaki itu bisa tahu?
Langkah kaki mereka berdua menggema di sepanjang lorong yang hanya diterangi oleh lampu Led merah dan biru disepanjang jalan. Suasana mencekam yang beradu dengan debaran jantung Zea yang kala itu masih bertanya-tanya untuk apa Giovanni membawanya ke tempat persediaan senjata ini.
Zea dapat melihat punggung Giovanni dari belakang yang terus menuntunnya maju. Gadis itu pun juga tidak yakin, perkataan Giovanni yang ingin menjadikannya sebagai 'wanita untuk lelaki itu' sepenuhnya benar atau hanya bercanda. Dia tidak bisa percaya begitu saja. Apalagi dengan orang seperti Giovanni yang baru dia kenal beberapa minggu, walaupun Giovanni telah melakukan hal-hal yang membuat jantung Zea berdebar. Tapi, tetep saja ... Gadis itu tidak yakin dengan perasaannya sendiri dan belum bisa mempercayai Giovanni sepenuhnya.
Bunyi langkah sepatu mereka menggema di sepanjang koridor bawah tanah sebelum akhirnya berhenti di depan pintu baja hitam dengan pemindai sidik jari.
Giovanni mengangkat tangannya, menekan ibu jarinya ke sensor. Seketika, suara mekanis terdengar, diikuti oleh suara klik berat saat pintu terbuka, memperlihatkan ruangan luas yang dipenuhi deretan target otomatis dan senjata di dinding.
"Ambil senjatamu," perintah Giovanni sambil berjalan menuju meja panjang tempat berbagai pistol dan senapan tersusun rapi. Tangannya terulur, mengambil satu Glock 17 dan meletakkannya di depan Zea.
"A-apa? Pistol? Kau gila? Untuk apa ini?"
Giovanni berseringai, "aku akan melatihmu untuk naik tingkat. Untuk menjadi wanitaku, kau setidaknya harus lihai menembak. Ini adalah ilmu dasar sebagai perkenalan sebelum benar-benar mengenali duniaku."
"Aku tidak butuh pelatihan apalagi untuk menjadi wanitamu, aku tidak mau. Aku sudah bilang Kan aku tidak akan menjadi wanitamu, perlu ku perjelas berapa kali lagi?!"
"Kau ini sangat suka dicium olehku ya?"
"APA?! Kenapa tiba-tiba dicium?! Itu tidak masuk akal! Aku sedang tidak membicarakan tentang itu! Tapi tentang pernyataan semena-menamu ini mengatakan kalau aku harus melatih diriku sendiri untuk menjadi wanitamu, padahal aku tidak mau! Kau—"
Zea terkejut, matanya terbelalak saat Giovanni kembali mengecup bibirnya singkat. "GIOVANNI!!"
Bagaimana Giovanni Alteza bisa jadi seberani itu sekarang??!
Zea kesal. Apalagi karena wajahnya malah merah padam tak terkontrol.
Giovanni menjauhkan diri dengan santai tanpa terpengaruh. "Aku sudah bilang padamu untuk diam kan? Atau Aku akan mengecup bibirmu yang manis itu. Sudah kubilang berkali-kali tentang itu, kau masih saja tidak memahaminya, Atau kau mulai ketagihan dengan bibirku juga?"
"TENTU SAJA TIDAK!"
'Giovanni sudah gila, tidak waras!'pikir Zea sambil menunduk geram—sebuah cara juga untuk menutupi wajah memerahnya.
Giovanni mengambil sebuah pistol untuk dirinya sendiri, mengecek amunisinya dengan cekatan sebelum memasang peredam suara di ujung laras. Matanya melirik Zea yang masih diam sambil memegangi wajah.
"Isi magazinmu," seru Giovanni.
"A-apa?!"
"Kubilang isi magazinmu dengan amunisi peluru. Aku akan mengajarimu cara menembak target."
Benar-benar?? Sekarang?? Zea ternganga. Dia bahkan tidak tau bagaimana caranya!
Saat melihat kebingungan di mata Zea, Giovanni mengambil senjata yang di taruh di samping Zea lalu mengisi magazinnya.
Sebelum latihan dimulai, Giovanni mengambil sepasang earmuff dan memakainya pada Zea. "Untuk melindungi telingamu."
Lelaki itu lalu memutar bahu Zea agar menghadap meja. Di mana yang jauh beberapa meter di depan sana ada papan target tembak
Zea hanya bisa menurut, dia hampir tidak bisa mendengar apapun dari jangkauan yang jauh. Hingga tiba-tiba dia merasakan Giovanni berdiri di belakang lalu memeluknya.
Dinginnya baja pistol di tangan Zea terasa kontras dengan hangatnya tubuh Giovanni yang kini berdiri di belakangnya. Ia bisa merasakan napas pria itu di sisi lehernya, begitu dekat hingga wangi khasnya mengiri paru-parunya.
"Pegang lebih kuat," suara Giovanni terdengar rendah di telinga Zea. Tangannya yang besar melapisi tangan gadis itu, membenarkan posisi genggaman di gagang pistol. "Tapi jangan terlalu tegang. Jika kau terlalu kaku, recoil-nya akan membuat bidikanmu melenceng. Fokus pada targetmu."
Zea menelan ludah, mencoba mengabaikan debaran jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat. Ini bukan pertama kalinya ia berdekatan dengan Giovanni, tapi setiap kali pria itu berada sedekat ini, ada sesuatu dalam dirinya yang bereaksi.
Sialan. Perasaan itu membuat Zea merasa tidak nyaman.
\=\=