Shana dan Kaivan, pasutri yang baru saja menikah lima bulan lalu. Sikap Kaivan yang terlalu perfeksionis kadang menyulitkan Shana yang serba nanti-nanti. Perbedaan sikap keduanya kadang menimbulkan konflik. Shana kadang berpikir untuk mengakhiri semuanya. Permasalahan di pekerjaan Kaivan, membuatnya selalu pulang di rumah dengan amarah, meluapkan segalanya pada Shana. Meski begitu, Kaivan sangat mencintai Shana, dia tidak akan membiarkan Shana pergi dari hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bastiankers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13
Sepulangnya dari ladang, Shana segera menyegarkan badannya dengan mandi di pukul empat sore. Dia pulang sendiri karena Kaivan ingin menemani Om-nya dulu. Kaivan akan pulang setelah pekerjaan di ladang selesai. Jadi, Shana dengan rantang susun yang kosong dan termos airnya, segera pulang.
Ruang tamu sudah ramai dengan televisi jadul yang menayangkan film anak-anak. Di sana terdengar tawa dari Laras, Puput yang berceloteh, Gista yang ikut menimpali, dan Indung yang tengah mengupasi ubi rebusnya.
Shana menyisip di sisi Indung dan Gista. Tatapnya tertuju pada adik Kaivan yang berusia lima belas tahun. Pembawaannya yang tenang tampak berbeda dari kedua adiknya. Dia tampak lebih dewasa di umurnya yang masih belia. Apa mungkin karena Kaivan lama meninggalkan mereka sendiri? Hingga dia harus mengayomi keluarganya?
“Makan dulu, Teh.” Pandangan Shana tertuju pada ubi rebus Indung. Memakannya. Ini untuk kedua kalinya dia memakan makanan sederhana dengan perasaan nyaman.
“Masih enak, kan?”
Shana mengangguk di sela-sela kunyahannya. “Masih kok, Bu. Ini sisa yang semalam, ya?” Dan tentu saja Indung mengiyakannya.
“Makan yang banyak, ya. Indung mau ke pasar. Mau beli daging.” Shana hanya mengangguk dan tidak menjawab lagi.
Selepas kepergian Indung, Shana hendak menuju kamarnya untuk berganti pakaian. Karena sedari tadi badannya gerah, padahal dia sudah mandi. Atau mungkin karena tidak ada kipas angin yang menyejukkan?
Namun, “Teteh…?”
Shana menoleh pada Gista yang berdiri, “Kenapa, Gis?”
“Aku mau ke depan. Aku mau ngobrol. Boleh?” Tanpa menunggu jawaban Shana, anak itu berlalu saja. Dia keluar meninggalkan Shana yang mengernyit, namun akhirnya Shana mengikutinya.
Mereka terduduk di paving blok dekat sumur, karena cuma di situ saja yang tidak akan mengenai sengatan matahari. Udara masih sangat panas di jam segitu. Jadi, keduanya memillih tempat yang sejuk.
“Mau ngomong apa?”
Shana menjadi orang yang mengawali pembicaraan sembari menoleh pada Gista yang masih bergeming.
“Teteh, serius sayang sama Aa Kaivan?”tanya Gista tanpa menoleh. Dia hanya melihat reaksi Shana yang mengerjab dari ekor matanya.
“Iya. Memangnya ada apa?” Bisa-bisanya pertanyaan itu terluncur dari bibir mungil itu.
Lama. Anak itu masih belum menjawab. Tangannya mengusap wajahnya gusar. Setelahnya, “Jangan pernah pisahkan kami dari Aa Kai, ya …? Kami tidak punya siapa-siapa lagi, selain dia.”
Ah, rupanya itu.
Shana tersenyum tipis, tangannya mengusap kepala Gista penuh kelembutan. Hingga anak itu menoleh padanya, “Teteh janji. Nggak akan pernah menjauhkan dia dari kalian.”
“Dan … teteh janji, ya. Jangan pernah meninggalkan Aa Kai, apapun yang terjadi.”lanjut Gista. Matanya penuh harap mencari jawaban dari kedua mata indah Shana.
Shana mengangguk. Tapi, tak ayal ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Meski obrolan mereka sudah berakhir karena Gista yang akan melakukan aktivitas lain. Shana masih berpikir.
Tidak mungkin ada seseorang yang akan memberikan saran, kalau dia tidak tahu ada apa-apa.
Dan, hal itu, cukup jadi alasan Shana sekarang. Dia masuk ke kamar, memandangi dua ponsel yang letaknya bersisian. Salah satunya ponselnya.
Letak matahari yang mulai bergerak turun menunjukkan bahwa kesempatan Shana tinggal sedikit. Jadi, Shana akan memanfaatkan waktu yang sedikit itu.
Setelah memastikan Kaivan belum pulang, Shana segera mengambil ponsel lelaki itu. Mulai mengusap layar ke atas.
Sial. Ponselnya terkunci.
Shana menerka-nerka kata sandi yang dipasang oleh Kaivan. Memulainya dari ulang tahun Kaivan. Gagal.
Memulai dari tanggal pernikahan mereka. Gagal.
Hati Shana berdebar kencang seiring dengan tangannya yang terus mencoba memasukkan deretan angka. Namun, selalu gagal.
“Oke, Shana. Tenang. Tenang,”ucap Shana bermonolog. Nafasnya ditarik dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.
Shana mulai duduk di sisi ranjang dan memikirkan hari penting apa yang Kaivan catat sebagai kata sandi ponselnya.
Apakah hari ulang tahun Shana?
Tidak mungkin.
Tapi, Shana mencobanya. Dia tidak boleh pesimis dulu, bukan?
Jadi, tangannya segera mengetik cepat deretan angka di sana.
Berhasil.
Shana terpaku memandangi foto wajahnya yang dijadikan wallpaper di ponsel itu. Senyumnya mengembang. Seharusnya gambar itu menunjukkan betapa berharganya Shana di mata Kaivan.
Tapi, tidak urung membuat Shana masih terpengaruh oleh beberapa kalimat yang dilontarkan Kaivan oleh seseorang pada malam itu.
"Dengar, Raisa. Kalau kamu sampai melakukan itu, aku tidak akan diam saja. Paham?!”
Hening. Seseorang yang Shana tidak tahu menahu tentang identitasnya, mungkin saja sedang berbicara.
Lalu, “Raisa, tolong jangan macam-macam. Ini peringatan untuk kamu. Jangan sampai ada yang tau soal itu, selain kita berdua.”
Tangan Shana meremas ponsel Kaivan dalam genggamannya erat. Lama. Dia merenungi setiap inci kata demi kata yang keluar dari bibir manis suaminya pada malam itu.
Seharusnya, Shana tidak membiarkan perempuan itu mendekati Kaivan. Seharusnya Shana bisa memastikan agar tidak ada cela antara keduanya.
Jadi, sekarang Shana akan menyelamatkan semuanya. Dia akan menyelamatkan pernikahannya yang baru berjalan hampir enam bulan ini. Dia harus menyelamatkannya dari perempuan lugu-lugu bangsat itu.
Tangan Shana menjejal layar demi mencari aplikasi kontak. Setelahnya, dia mengecek panggilan masuk sesuai tanggal malam itu. Ada dua panggilan.
Satu, dari Pak Reyhan.
Kedua, nomor tidak dikenal.
Senyum Shana mengembang di satu sisi bibirnya. Dia segera meraih ponselnya dan hendak mencatat nomor itu di sana. Namun, suara salam dari pintu depan terdengar bersahutan. Membuat tubuh Shana gelagapan dengan kondisi tangan yang gemetar.
Shana segera mencatat nomor itu dengan degup dada yang tidak beraturan. Seiring dengan derap langkah yang mendekati pintu kamar. Hening menyapa. Sesaat sebelum tirai merah muda usang yang didekat Shana tersingkap.
“Sayang…?” Kaivan masuk dengan wajah lelahnya. Mengeryitkan kening saat wajah Shana mendadak pucat. Namun, ada satu yang membuat pandangannya tertarik. Ada sebuah benda yang disembunyikan perempuan itu dibalik punggungnya.
Perlahan, Kaivan mendekat. Penasaran dengan apa yang disembunyikan Shana. Namun, “Mas…? Kamu nggak mandi? Mandi sana. Bau banget.”
“Oh, oke. Aku mandi dulu, ya.” Meski penasaran, Kaivan segera berbalik dan keluar kamar. Meninggalkan Shana yang hampir mati karena perbuatannya hampir saja diketahui.
Shana tersenyum memandangi nomor itu sudah berada dalam ponselnya. Namun, sebuah panggilan terhubung di ponsel Kaivan. Panggilan itu tertuju pada nomor yang ‘tidak dikenal’ itu.
Mata Shana terbelalak. Tangannya segera memutus panggilan sepihak. Lalu, menghapus aktivitas panggilan yang baru saja terjadi. Dia tidak akan meninggalkan jejak. Meski mungkin Kaivan akan tahu.
Baru saja ponsel itu terletak di atas meja sebagaimana mestinya. Suara Kaivan terdengar bersamaan dengan kepalanya yang menyembul dibalik tirai. “Sayang…? Mau mandi bareng, ga?”
Baru saja Shana membuka mulut, hendak menjawab godaan Kaivan. Salah satu ponsel yang berada di atas meja, bergetar. Keduanya menoleh pada arah yang sama.
Ponsel Kaivan.
Shana dengan susah payah menelan ludahnya sendiri. Seiring dengan gerakan Kaivan yang mengambil ponselnya. Sebelum menjawab panggilan, Kaivan menatap Shana lekat. Sampai akhirnya Shana yang terlebih dahulu memutuskan untuk keluar kamar.
Setelah memastikan Shana tidak akan mendengar obrolannya. Kaivan menggeser panel hijau dan mendekatkan ponsel ke telinganya. “Halo?”
“Kamu kenapa telpon? Kangen, kan?” Suara perempuan semalam, tertawa di ujung kalimat.
Kening Kaivan mengernyit. Dia tidak menjawab suara itu. Wajahnya menoleh pada daun pintu, pada tirai merah muda usang yang sudah tidak ada orang di sana.
Seingat Kaivan, dia tidak menghubungi perempuan itu. Sehingga sekarang, dia … curiga.