Original Story by : Chiknuggies (Hak cipta dilindungi undang-undang)
Aku pernah menemukan cinta sejati, hanya saja . . . Arta, (pria yang aku kenal saat itu) memutuskan untuk menjalin kasih dengan wanita lain.
Beberapa hari yang lalu dia kembali kepadaku, datang bersama kenangan yang aku tahu bahwa, itu adalah kenangan pahit.
Sungguh lucu memang, mengetahui Arta dengan sadarnya, mempermainkan hatiku naik dan turun. Dia datang ketika aku berjuang keras untuk melupakannya.
Bak layangan yang asyik dikendalikan, membuat aku saat ini tenggelam dalam dilema.
Hati ini. . . sulit menterjemahkan Arta sebagai, kerinduan atau tanda bahaya.
°°°°°°
Airin, wanita dengan senyuman yang menyembunyikan luka. Setiap cinta yang ia beri, berakhir dengan pengkhianatan.
Dalam kesendirian, ia mencari kekuatan untuk bangkit, berharap suatu hari menemukan cinta yang setia. Namun, di setiap malam yang sunyi, kenangan pahit kembali menghantui. Hatinya yang rapuh terus berjuang melawan bayang masalalu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chiknuggies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
"HAAAHH!!?? jadi, tadi malem San-san nginep di rumah boo!?"
Teriak Ruel yang memenuhi seluruh rongga udara di dalam kosan, teriakan nya yang cukup keras, membuat banyak burung yang bertengger, memilih untuk minggat bersamaan.
"Ya gitu deh." Jawabku singkat, tidak ingin membesar besarkan hal yang biasa ini menurutku.
"Ih! Bukan-bukan. Ini tuh San-san, Boo. Dia kan cuek banget, di resto aja dingin banget gitu. Ruel sering diomelin kalo ambil makanan di dapur." Jelasnya yang bersemangat dan di akhiri dengan murung ketika menjelaskan kalau ia sering di marahi.
"Ya kalo itu sih aku juga pasti ngomel El, wong kamu kalo ke dapur sering ambil makanan." Aku meledeknya dengan wajah yang kusam.
"Itu nggak penting Boo. Terus dia ngapain aja!?" Tanya Ruel intuitif.
"G-gitu deh. (Sedikit kelabakan untuk menjelaskan kondisi semalam) Di. . . Dia mabuk El." Ruel menyentakkan badan seketika aku menjelaskan kondisi tersebut dengan singkat, hingga tiba tiba-tiba saja Ruel merengek jengkel juga terlihat kesal.
"Huuuueee!! San-san jahat. Sahabat akuh- Boo akuh~ dia. . . Dia hamil. " Keluhnya menangis keras.
Aku memukul kepalanya dengan remot AC, "Kita nggak sampe situ ya nona! (Jelas ku tersinggung.) Dia cuma ambil powerbank aja kok, semalem kebawa sama aku. Terus juga sama- itu." aku menahan kalimat karena terbayang sedikit oleh ceritanya semalam mengenai hubungan, yang jangan sampai Ruel tahu.
"Ah! Tuhkan, jawab nya aja setengah-setengah. Insting Ruel tau, pasti ada yang gak beres.(Celetuk Ruel salah paham) Dimana yang sakit, coba sini ruel liat." Ia memegang lenganku, dan memperhatikan dengan seksama.
Aku menarik tanganku kembali dengan cepat. "Apaan si!"
"Ayo ke kantor polisi aja, kita laporin San-san. Wha, apa seharusnya ke rumah sakit? Oh iya, KUA! San-san harus tanggung jawab. ADUH, Ruel nggak mau jadi kayak gini."
Aku menghela nafas, tidak habis fikir dengan sifat posesif Ruel kepadaku. "Aku nggak apa-apa kok, aku cuma kepikiran sama masalahnya Sandi, semalam dia cerita banyak ke aku." Aku mencoba menjelaskan sedikit perkara semalam.
Meski Ruel sempat tidak percaya bahwa Sandi hanya bercerita semalaman juga tertidur di kasurku, terlebih lagi bahwa Sandi yang tertutupi akhirnya dapat terbuka kepadaku, aku sebisa mungkin mencoba untuk tetap menjelaskan semua dengan apa adanya kepada Ruel.
Hingga akhirnya aku dan Ruel mulai membicarakan mengenai beberapa hal, yang akhirnya, mungkin, membuat kami dapat melupakan sejenak masalah pada satu sama lain dan hanya terfokus ke masalah yang tengah terjadi kepada Sandi.
Entah, meski masalah yang kami punya cukup banyak, namun bersama dengan sahabat, kami selalu mampu menutupi kepingan yang hilang, dan masalah mereda dengan hanya berbincang.
Teduh ketika kami bersama mendekatkan rasa.
°°°°°°
Siang hari, di Resto.
"El, tolong meja nomor dua dirapihin ya. (Aku melihat dia yang tidak menjawab permintaanku) El?" Aku merasa bak berbicara sendiri, ketika melihat Ruel tengah termenung dengan tatapan kosong di matanya.
Aku melihat ia melihat ke arah langit-langit kamar dengan tenang dan tidak memancarkan aura bahagia seperti biasa.
Mencoba memahami kondisinya yang tidak biasa ini dengan bergerak merapikan sendiri meja nomor dua. Pikirku bahwa mungkin ia sedang tidak dalam mood kerja hari ini.
Membawa sepasang piring berikut gelas di tangan, aku membisik kepada Ruel yang belum juga kembali dari lamunan. "Udah, aku kan udah bilang kalo kemarin aku sama Sandi cuma ngobrol aja. Kalo capek, kamu istirahat aja dulu sana."
Ia mengangguk, tetap termenung, dan kulihat matanya berbinar. Apapun yang sedang di hadapi, masalah tidak seharusnya terlihat di tempat kerja. Aku dengan cepat menuju dapur untuk menaruh piring kotor dan meminta tolong kepada Sandi.
"Ndi, tolongin gw dong." Aku menaruh piring, dan mendekat ke arah Sandi.
"Hm?" Tanya Sandi, sambil tetap fokus menggoyangkan wajan.
"Si bungsu noh (Ruel) kayanya lagi nggak enak badan dia, tawarin dia makan dong."
Meski Sandi cukup baik dan ramah untukku, tetapi bagi Ruel, Sandi merupakan orang yabg tegas dan dingin. Jadi meminta Sandi untuk berbicara dengan Ruel akan menjadi hal yang tepat di lingkungan kerja.
"Bentar, gw masih repot." Jawab Sandi singkat.
Aku menggelengkan kepala dengan tangan yang menyentuh kening berfikir ini semua menjadi semakin merepotkan.
Hingga tiba ketika jam kerja berakhir, Sandi mengumpulkan kami berdua untuk briefing singkat mengenai kinerja yang menurun siang ini.
"Kamu kenapa El? Lagi sakit? Kalo mau istirahat kamu ambil libur aja dulu biar nanti saya backup sama Airin." Tanya Sandi dengan nada yang cukup mengayomi.
"Uuu. . . Enggak." Jawab Ruel dengan pandangan menyesal.
"Ya udah, kamu yang semangat dong, kalo ada apa-apa bilang aja, biar bisa saya bantu." Ucap Sandi.
Aku menjadi salah tingkah dengan situasi yang semakin canggung ini, "S-san udah San, jangan t-" kataku tercekat oleh jawaban singkat Ruel.
"Ruel nggak apa-apa." Dengan pandangan yang masih tertunduk layu.
Aku tidak mengerti dengan apa lagi yang tengah menimpa Ruel, dan bagaimana cara agar mengembalikan semangatnya. Tetapi, jangankan untuk memberi semangat, sumber masalah nya saja tidak kami mengerti.
Aku mengajak Ruel untuk mengantarkan ku pulang menggunakan motornya, mencoba mengajak nya berputar-putar demi mengetahui masalah yang ia alami, dengan aku yang duduk di bangku kemudi.
Namun sayang, sepanjang jalan Ruel mengacuhkan seribu tanya dariku, meski sudah berjam-jam aku ajak berputar-putar, hingga aku sampai ke depan pintu rumah.
Aku tidak nyaman dengan cahaya kecilku yang berwujud sebagai sahabat ini kian meredup, bagaikan tidak ada lagi ceria yang keluar menyinari ku setiap hari.
Aku mencoba untuk mengajaknya bercengkrama lewat pesan singkat demi menenangkannya yang sedang gelisah. Dan tetap saja setiap telepon, juga pesan yang kuberikan, usang tidak terbalas hingga pagi datang. Aku bangun dengan perasaan yang rampung pada ketidakhadiran jawab dari Ruel.