"The Regret of My Seven Older Brothers"
Di balik kehidupan mewah dan kebahagiaan yang tampak sempurna, delapan bersaudara hidup dalam kesejahteraan yang diidamkan banyak orang.
Namun, semuanya berubah ketika kecelakaan tragis merenggut nyawa sang ayah, sementara sang ibu menghilang tanpa jejak.
Si bungsu, Lee Yoora, menjadi sasaran kemarahan dan penilaian keliru ketujuh kakaknya, yang menyalahkannya atas kehilangan yang menghancurkan keluarga mereka.
Terjebak dalam perlakuan tidak adil dan kekejaman sehari-hari, Yoora menghadapi penderitaan yang mendalam, di mana harapan dan kesedihan bersaing.
Saat penyesalan akhirnya datang menghampiri ketujuh kakaknya, mereka terpaksa menghadapi kenyataan pahit tentang masa lalu mereka. Namun, apakah penyesalan itu cukup untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20: Nasihat Paman Min
Seonho berjalan mengikuti langkah sang dokter yang dipanggil Paman Min. Keduanya kini sudah saling duduk berhadapan, hanya terhalang oleh meja kerja di ruangan itu.
"Apa ini, Seon?" ujar Paman Min, menatap Seonho dengan serius.
"Bagaimana kondisinya sekarang, samchon?" tanya Seonho setelah beberapa saat terdiam tanpa suara.
"Samchon tanya, apa yang kau lakukan, Seon?" nada suara Paman Min terdengar kecewa, menunjukkan betapa beratnya situasi ini.
"Aku tidak punya pilihan. Aku tidak mau adikku kenapa-kenapa. Aku tidak ingin melihatnya menderita," ujar Seonho sambil menunduk, merasa beban yang sangat berat di hatinya.
"Lalu... karena alasan itu, kamu mengorbankan adikmu yang lain untuk itu? Di mana perasaanmu, Seon?" tanya Paman Min dengan nada semakin penuh kekecewaan. Raut wajahnya menunjukkan betapa hancurnya harapannya terhadap keputusan Seonho.
"Dia sendiri sudah setuju, samchon. Lagipula, apa salahnya sebagai seorang adik dia membantu kakaknya?" ujar Seonho, berusaha mencari kebenaran atas perbuatannya, meski suaranya mulai bergetar.
"Benarkah ? Bukan karena kamu yang telah memaksanya?" Tanya dokter yang di panggil paman min.
" Tentu saja tidak, untuk apa aku melakukan itu, " ucap seonho.
" Jika dia memang menyerahkan ginjalnya dengan suka rela, kenapa saudaramu yang lain tidak tahu?" tanya Paman Min tajam, langsung menusuk ke inti masalah.
Seonho terdiam. Dia tidak bisa lagi menyangkal apa yang diucapkan sahabat ayahnya itu. Semua yang dikatakannya hampir sepenuhnya benar. Dia lah yang awalnya meminta Yoora memberikan ginjalnya untuk Jihwan, meskipun dalam pikirannya, Yoora pun setuju dengan hal ini.
"Kalian masih membencinya? ( Tanya Paman Min sembari menghela napas berat. Dia melanjutkan ucapannya ) Seon, samchon tahu kalian terluka atas apa yang telah terjadi pada ayah kalian, tapi bukan berarti kalian harus menyalahkan dan menumpahkan segala kesalahan pada Yoora. Dia adikmu dan adik kalian. Anak sekecil dia mana paham dengan apa yang terjadi saat itu? Yang kehilangan kasih sayang ayah dan ibu bukan hanya kalian, tapi Yoora juga. Apa kau tidak pernah berpikir jika Yoora lah yang paling terluka atas semua ini? Samchon tahu perjuanganmu dalam mengurus semua adikmu hingga sebesar sekarang. Samchon tahu apa yang telah kamu korbankan untuk semua adikmu selama ini. Tapi kamu melupakan satu hal, Seon. Kau melupakan adik bungsumu yang sebenarnya paling membutuhkanmu di saat seperti itu. Anak usia lima belas tahun harus menerima kenyataan seperti itu, ditambah dengan saudaranya yang menyalahkannya. Bagaimana pikiranmu tentang itu? Bagaimana mentalnya? Apa kamu tidak pernah berpikir ke sana?" Ucap Paman Min panjang lebar, nada suaranya menunjukkan keprihatinan yang mendalam.
"Samchon tidak akan mengerti dengan apa yang aku rasakan. Aku selalu berjuang keras untuk adik-adikku selama ini. Jika saja dia tidak egois, kejadian itu tidak akan terjadi, dan kami tidak akan kehilangan Daddy," ujar Seonho, suaranya mengandung ketidakpuasan dan kemarahan yang mendalam.
Paman Min terlihat menghela napas berat. Dia tidak menyangka jika kebencian Seonho terhadap adik bungsunya itu sudah mendarah daging dalam hidupnya. Terakhir kali dia berkunjung ke kediaman keluarga Lee adalah saat menghadiri pemakaman ayah Seonho, Lee Jungwan, sahabatnya sendiri. Setelah itu, dia hanya mendengar kabar bahwa Nyonya Lee Hana, yang tak lain adalah ibu Seonho, memilih pergi meninggalkan rumah dan semua anaknya tanpa alasan yang jelas. Sejak hari itu, dia sama sekali tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan keluarga sahabat karibnya itu, karena dia sudah tidak tinggal di Korea lagi.
"Samchon hanya minta, berdamailah dengan keadaan sebelum penyesalan datang pada kalian semua, Seon. Semakin kau membenci, maka kebencian itu tidak akan hilang dalam hidupmu ( Paman Min kembali menghela napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya ) "Adikmu baik-baik saja. Yoora juga sudah dipindahkan ke ruangan lain. Jika kamu ingin melihatnya, pergilah. Kamar Yoora hanya berselang lima ruangan dari ruangan Jihwan," tutur Paman Min lalu berlalu, menepuk pundak Seonho yang diam mematung setelah mendengar semua penuturannya.
"Semua ini tetap salahnya," tutur Seonho, seolah terus menanamkan kebencian pada hatinya, meyakinkan dirinya bahwa semua yang terjadi adalah kesalahan sang adik.
Setelah selesai berbicara dengan Paman Min, Seonho berjalan keluar menuju ruangan Jihwan, tanpa peduli sedikit pun dengan apa yang terjadi pada Yoora. Dia melihat beberapa saudara-nya yang sedang menunggu di luar ruangan.
"Hyung, bagaimana? Apa yang Paman Min katakan?" tanya Namjin dengan nada cemas.
"Tidak ada, dia hanya membahas tentang keadaan Jihwan," jawab Seonho, berusaha menyembunyikan semuanya dari saudara-saudara-nya.
"Benarkah? Bagaimana kondisinya? Apa semuanya lancar dan tidak ada yang salah?" tanya Namjin, yang sedikit ragu saat mendengar penuturan seonho.
"Semua baik-baik saja. Operasinya berhasil," ujar Seonho dengan senyum tipis.
"Syukurlah... Lantas, apa yang terjadi dengan pendonor-nya? Dia juga baik-baik saja, kan?" tanya Namjin lagi, matanya mencari kepastian.
"Dia baik-baik saja. Saat aku ingin mengunjunginya, keluarganya melarang ku. Tapi aku sudah berjanji akan menanggung apapun jika terjadi sesuatu padanya," jawab Seonho dengan nada serius.
"Kenapa keluarganya seolah-olah menyembunyikan sesuatu dari kita, Hyung?" tanya Namjin, curiga akan keanehan situasi ini.
"Mungkin mereka perlu privasi. Sudahlah, yang penting Jihwan baik-baik saja. Itu fokus kita," ujar Seonho, berusaha menenangkan suasana, dan dia merasa sedikit lega ketika Namjin mengangguk.
"Tae, Soo-ah, kalian pulanglah. Biarkan kami yang menjaga di sini," ucap Seonho, memberikan perintah tegas.
"Tapi, Hyung..." ucap Jungsoo dan Taehwan, tak ingin meninggalkan kakak mereka sendirian.
"Tidak... Menurut lah pada Hyung untuk kali ini. Kalian pulang dan istirahat di rumah," ujar Seonho, suaranya tegas sehingga tak bisa ditolak oleh kedua adik-nya itu.
" Hyung.. kami ingin menemani ji-hyung " tutur jungsoo lagi .
" Kalian sudah berani melawan padaku sekarang? Tidak mau mendengarkan ucapan ku? " Tanya seonho sembari menatap tajam kedua adiknya itu .
" Bukan seperti itu Hyung.. maafkan kami " ujar Taehwan mewakili jungsoo.
" Pulang lah ! " Ujar seonho lagi .
"Eummm... Tapi izinkan kami bertemu dengan Ji-Hyung dulu, kami mohon Hyung " pinta keduanya dengan nada memelas.
"Di dalam ada siapa?" tanya Seonho, berusaha tetap tenang.
"Yongki Hyung," jawab Haesung.
"Masuklah, suruh Yongki keluar, setelah selesai pulang lah dan istirahat di rumah , Hyung tidak mau kalian sakit " tutur Seonho, berusaha mengalihkan perhatiannya, dan dia mengangguk pada Jungsoo dan Taehwan yang segera masuk.
••
Jihwan dirawat di rumah sakit selama beberapa hari, begitu juga dengan Yoora yang menjalani masa pemulihan setelah operasi pengangkatan ginjalnya. Setiap hari hanya dokter dan perawat yang datang, sekadar menanyakan kondisinya atau melakukan pemeriksaan rutin. Tidak ada satu pun dari keluarganya yang menjenguk, dan Yoora tahu bahwa tidak ada yang mengetahui operasi ini, kecuali Seonho. Namun, bahkan setelah Seonho mendapatkan apa yang ia inginkan, ia pun tidak pernah datang untuk sekadar memastikan kondisi Yoora.
Yoora terbaring di tempat tidur dengan tatapan kosong, menatap langit-langit kamar rumah sakit yang dingin dan hening. Ada rasa perih di dadanya, tidak hanya karena luka fisik pasca operasi, tetapi juga rasa terbuang yang kini semakin terasa menghimpit. Meski sudah mengorbankan sebagian dirinya, ia tetap diperlakukan seolah tak berarti.
"Apakah usahaku ini masih belum cukup untuk mereka...?" batinnya. Walau begitu, Yoora tetap menyimpan harapan di tengah kekecewaannya. Ia tetap yakin dan bersikeras bahwa suatu hari, saudara-saudaranya akan kembali seperti dulu, menyayanginya seperti saat mereka kecil.
"Selamat pagi, Nona Yoora," sapa seorang Ganhosa , masuk dengan senyum hangat sambil membawa nampan berisi sarapan. Aroma teh hangat dan roti panggang memenuhi ruangan.
( Catatan: Dalam bahasa Korea, "ganhosa" (간호사) berarti perawat atau suster. Tolong koreksi jika author salah)
"Selamat pagi ganhosa-nim..." Yoora membalasnya dengan senyum tipis, sedikit lelah namun tetap sopan.
"Semuanya baik-baik saja? Ada keluhan atau rasa tidak nyaman, Nona?" tanya Ganhosa, berbasa-basi sambil mengecek catatan di tangannya.
"Tidak ada... hanya saja... { Yoora menarik napas, pandangannya menerawang ke luar jendela. } Kapan saya bisa pulang?" tanyanya pelan, dengan nada yang mengisyaratkan keinginan untuk kembali ke rutinitasnya.
"Mohon bersabar ya, Nona. Dokter ingin memastikan kondisi Anda benar-benar stabil sebelum memberi izin pulang." Ucap Ganhosa itu sembari tersenyum tipis, memahami perasaan Yoora.
"Baiklah, terima kasih atas perhatian Anda." Yoora mengangguk lemah.
Ganhosa itu menganggukkan kepala dengan sopan, lalu tampak ragu sejenak sebelum mengeluarkan sesuatu dari kantong seragamnya, setangkai mawar merah segar dan sebuah amplop kecil.
"Oh... ini?" {Yoora menatap bunga itu dengan mata penuh rasa ingin tahu} "Lagi?" tanyanya, sedikit terkejut.
"Iya, Nona, pagi ini, pria yang sama datang dan menitipkannya untuk Anda." jawab Ganhosa sambil tersenyum.
"Apa... apa Anda tidak tahu siapa dia, atau mungkin dia mengatakan sesuatu?" Ucap Yoora sembari menggigit bibirnya, menahan rasa penasaran yang semakin besar.
"Tidak, dia tidak mengatakan apapun tentang dirinya. Hanya meninggalkan bunga dan surat ini untuk Anda setiap pagi." Ganhosa menggeleng pelan, tampak minta maaf.
"Benar-benar tidak ada ciri-cirinya, Ganhosa-nim?" tanya Yoora penasaran, suaranya sedikit bergetar.
"Orangnya masih sama, Nona, tapi kami tidak tahu sama sekali siapa dia. Setiap kali dia datang, dia selalu memakai hoodie dan masker, jadi kami tidak pernah melihat wajahnya," ujar sang Ganhosa, menjelaskan dengan nada yang serius.
Yoora memandangi bunga mawar dan amplop itu dalam keheningan sesaat. Hatinya bercampur aduk antara rasa ingin tahu dan harapan samar-samar yang sulit dijelaskan. Perlahan, dia mengambil mawar itu, merasakannya di jemarinya sebelum akhirnya berbisik pelan.
"Terima kasih sudah membawanya untuk saya." Dia memaksakan senyumnya, meski dalam hati dia merasa bingung.
"Sama-sama, Nona. Saya akan keluar. Jangan lupa makan sarapan supaya lekas sembuh. Anda bisa memanggil saya jika membutuhkan sesuatu," ujar sang Ganhosa sambil berlalu keluar, setelah mendapatkan anggukan dari Yoora.
Sejak dirinya siuman dari obat bius pascaoperasinya, hal pertama yang dia lihat adalah setangkai bunga mawar dan selembar kertas yang tergeletak di sampingnya. Isi suratnya selalu berisi kata-kata yang tersusun seperti dialog percakapan, seperti "Bagaimana kabarmu hari ini? Jangan khawatir, ada aku di sini. Cepat sembuh." Dan masih banyak lagi. Itu terus berlangsung selama beberapa hari hingga hari ini, saat dia bertanya pada perawat tentang siapa yang memberikannya.
Tak seorang pun benar-benar tahu siapa pria itu. Setiap kali dia muncul, dia selalu mengenakan hoodie dan masker, menyembunyikan wajahnya sepenuhnya. Identitasnya tetap menjadi teka-teki yang sulit dipecahkan. Namun, ada satu hal yang mereka tahu dengan pasti pria ini memiliki tubuh yang tinggi, tegap, dengan bentuk badan yang begitu atletis.
Setiap kali datang, dia membawa setangkai bunga dan sebuah surat yang ditujukan untuk seseorang yang tak lain adalah Yoora. Orang-orang hanya dapat menebak-nebak tentang alasan di balik aksinya, membayangkan cerita yang mungkin tersembunyi di balik gerak-geriknya yang senyap.
"Siapa sebenarnya dia..." gumam yoora, nada suaranya dipenuhi rasa ingin tahu.