Seorang penulis pemula yang terjebak di dalam cerita buatannya sendiri. Dia terseret oleh alur cerita yang dibuatnya, bahkan plot twist yang sama sekali tak terpikirkan sebelumnya. Penasaran kelanjutan cerita ini? Ikuti lah kisah selengkapnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shan_Neen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Bab 6
Kendaraan berlalu lalang di jalanan Metropolis. Marlin terlihat baru saja keluar dari stasiun bawah tanah, dan berjalan menuju halte yang berada tepat di seberang pintu keluar.
Dia masih harus menggunakan bus umum, untuk bisa sampai ke apartemen tempat dia dan sang ibu tinggal.
Di dalam bus yang kebetulan tidak terlalu penuh, Marlin bisa duduk di salah satu kursi yang dekat dengan jendela.
Pandangannya terus mengikuti gerak bus, menatap setiap hal yang dilewatinya.
Kota yang sama, suasana yang sama, tapi terasa asing untukku. Hah...tapi sisi baiknya, aku masih ada ibu, walaupun tidak ada Viona ataupun yang lain, ucapnya dalam hati.
Jalanan cukup lancar petang itu, meski ini adalah jam pulang kantor. Kini bus sudah sampai di area sekitar taman.
Tiba-tiba, pandangan Marlin menangkap sesuatu dan membuatnya menekan tombol berhenti.
Bus pun menghentikan lajunya di halte terdekat, yang juga berada di sekitar area taman tersebut.
Marlin segera turun, dan berjalan ke arah sebelumnya.
Rupanya dia melihat seseorang yang dikenalnya beberapa hari lalu, tengah duduk seorang diri, dan sambil mengawasi peliharaan kecilnya bermain.
“Aiden,” sapa Marlin.
Aiden pun menoleh dan tersenyum, saat melihat sosok gadis berambut keriting yang sudah menolong anjing miliknya.
“Hai, Marlin. Apa kau baru pulang bekerja?” tanya Aiden.
“Yah, seperti yang kau lihat,” sahut Marlin membalas senyum pria tampan itu.
Aiden menepuk bangku kosong disampingnya, dan Marlin pun mendekat, lalu mendudukkan bokongnya disana.
“Bagaimana kerjamu hari ini?” tanya Aiden.
Marlin melepas tas selempangnya dan menaruh benda itu dipangkuan.
“Cukup bagus untuk sebuah awal. Yah... walaupun selalu ada senioritas disetiap tempat, tapi semoga tidak seburuk yang ku pikirkan,” jawab Marlin.
“Jadi ini hari pertamamu?” tanya Aiden.
“Ehm... begitulah, dan aku juga langsung punya teman baru di sana. Cukup menyenangkan,” ucap Marlin tersenyum.
Gadis itu kemudian beranjak meninggalkan tasnya di bangku, dan berjalan menuju Sunny.
“Hai, anjing kecil,” sapa Marlin.
Sunny pun menggonggong ke arah Marlin, dan menggesekkan kepalanya di kaki gadis tersebut.
Dengan gemas, Marlin pun menggendong makhluk berbulu lembut itu, lalu menoleh ke arah Aiden.
“Apa kakinya sudah sembuh?” tanyanya.
“Sudah. Aku membawanya ke dokter hewan hari itu setelah kau pulang. Kata dokter, lukanya tidak begitu serius, dan hanya mendapatkan suntikan anti infeksi saja,” jawab Aiden.
“Syukurlah. Oh, iya... Aku punya sesuatu di tas,” ucap Marlin.
Dia meletakkan kembali Sunny ke tanah, dan berjalan ke arah dimana tasnya berada diikuti makhluk kecil itu.
Marlin mengorek-ngorek isi tasnya diiringi gonggongan Sunny.
“Ah... ini dia,” gumamnya setelah mendapatkan sebuah sosis yang dibawanya dari cafetaria kantor.
Dia pun meletakkan kembali tasnya, dan berjongkok memberikan makanan itu kepada sang anjing.
Tanpa sadar, dia menjatuhkan sesuatu saat mengambil sosis tadi, dan hal itu disadari oleh Aiden.
Pria itu lalu mengambilnya dan hendak memberikan benda tersebut langsung pada Marlin.
Namun, kata-katanya terhenti diujung lidah, tatkala kedua netranya melihat logo di atas benda tadi.
La’ Grande? Batin Aiden.
“Ah... terjatuh ya,” ucap Marlin tiba-tiba.
Sontak Aiden pun tersadar dari pikirannya, dan segera menyerahkan benda yang adalah ID card pegawai milik Marlin kepada si empunya.
“Jadi, perusahaan besar yang kau ceritakan tempo hari itu adalah La’ Grande?” tanya Aiden.
Marlin lalu duduk kembali dibangku, sambil memangku Sunny yang sudah nyaman dengan gadis tersebut.
“Ehm... seperti yang kau lihat tadi. Aku punya ID card perusahaan itu bukan, hehehe...,” jawab Marlin diselingi tawa kecilnya.
“Marlin, kau hebat. Ku dengar, disana adalah impian para desain interior. Tidak semua bisa bekerja di tempat itu,” ucap Aiden.
“Aku tidak sehebat itu. Bisa dikatakan, ini hanya keberuntungan. Ku beri tau satu rahasia. Aku hanya lulusan SMA yang bisa menggambar desain. Itu saja.”
“Aku bahkan tak tau bagaimana kinerjaku kedepannya. Yang kutau hanya membuat sketsa gambar, dan belum berpengalaman dalam praktiknya.”
“Tapi, aku bahkan merasa tidak peduli sama sekali akan hal itu. Bagiku, disini hanyalah tempat simulasi, dimana aku bisa bertindak semauku,” ungkap Marlin panjang.
Aiden terus melihat ke arah gadis disampingnya, yang nampak tenang dan tak terlalu antusias menceritakan hal baik tadi, yang tentunya membuat orang di bidangnya merasa bangga dan ingin menyombongkan diri.
Ucapan Marlin lebih cenderung terasa sepi, dan benar-benar tidak peduli.
“Ah... apa bicaraku melantur?” tanya Marlin, melihat Aiden terdiam dan hanya fokus memperhatikannya sejak tadi.
Pria itu pun lalu tersenyum. Tangannya tiba-tiba saja terulur, dan mengusap lembut puncak kepala Marlin.
“Bersemangatlah,” ucap Aiden denga senyum lembutnya.
Marlin sontak tersipu, dengan apa yang dilakukan Aiden padanya. Dia sampai membeku beberapa saat, hingga akhirnya dia kembali tersadar.
“Ehm... se... sepertinya, aku harus pulang. Ini sudah cukup gelap. Ibuku pasti menungguku dengan cemas,” kata Marlin kikuk.
Dia menyerahkan Sunny kepada Aiden, dan pamit pulang.
Sepanjang jalan menuju rumahnya, Marlin terus memegangi dadanya yang sejak tadi berdebar kencang.
Ada apa dengan jantungku? Kenapa rasanya seperti akan meledak? Batinnya.
Sesampainya di rumah, Marlin mencoba tenang saat menyapa ibunya, dan masuk ke dalam kamar.
“Apa kau tidak makan dulu?” tanya Nyonya Yang.
“Aku mau mandi dulu, Bu. Tubuhku sangat kotor,” sahut Marlin dari dalam kamarnya.
Namun bukannya bergegas mandi, dia justru duduk tertegun di depan meja belajarnya.
Tatapan Aiden saat mengusap kepalanya kembali terngiang. Wajahnya seketika memerah, dan membuat tubuhnya terasa menghangat.
“Oh... ayolah, Marlin. Itu bukan apa-apa. Dia hanya menyemangatimu. Ini pasti efek aku terlalu lama menjomblo,” gerutunya pada diri sendiri, sambil menepuk-nepuk kedua pipinya.
...🐟🐟🐟🐟🐟...
Keesokan harinya, Marlin pergi ke kantor sama seperti sebelumnya. Hari ini, dia sudah mulai akan ikut rapat dengan timnya, untuk membahas tentang sebuah proyek yang hendak mereka lakukan.
“Marlin, fotocopy kan presentasi ini rangkap tujuh, dan bawakan ke ruang rapat di lantai dua puluh,” seru seseorang, saat melihat Marlin hendak keluar dari lift di lantai delapan belas.
“Hah... oh, baiklah. Kak Lusy,” sahut gadis itu, yang masih terkejut karena langsung disergap oleh seniornya yang bernama Lusy.
Dia pun membawa berkas tersebut, dan pergi ke meja kerjanya untuk meletakkan tas terlebih dulu, kemudian menuju mesin fotocopy untuk melaksanakan tugasnya.
Saat sedang disana, seseorang kembali mendatanginya.
“Marlin, belikan kopi di cafetaria bawah, lalu kau bawakan ke ruang rapat setelah selesai mengurus ini. Ini kartu kreditnya. Jangan lupa struknya,” seru senior lainnya.
Marlin kembali terbengong sambil menerima kartu kredit yang diberikan.
“Kenapa rasanya aku seperti pesuruh mereka? Menyebalkan,” keluhnya lirih.
Bersambung▶️▶️▶️▶️▶️
Jangan lupa like, komen, rate dan dukungan ke cerita ini 😄🥰