Sebuah rasa yang sudah ada sejak lama. Yang menjadikan rasa itu kini ada di dalam satu ikatan. Ikatan sah pernikahan. Namun sayang, entah apa masalahnya, kini, orang yang dulu begitu memperhatikan dirinya malah menjadi jauh dari pandangan nya. Jauh dari hatinya.
Alika Giska Anugrah, wanita cantik berusia 25 tahun, wanita yang mandiri yang sudah memiliki usaha sendiri itu harus mau di jodohkan dengan Malik, anak dari sahabat orangtuanya. Lagipun, Giska pun sudah memiliki rasa yang bisa di sebut cinta. Dari itulah, Giska sangat setuju dan mau untuk menikah dengan Malik.
Tapi, siapa sangka, Malik yang dulu selalu mengalah padanya. Kini, malah berbanding terbalik. Setelah menjadi suami dari Giska, Malik malah jadi orang yang pendiam dan bahkan tak mau menyentuh Giska.
Kira-kira, apakah alasan Malik? Sampai menjadi pria yang dingin dan tak tersentuh?! Yuk baca! 😁
Kisah anak dari Anugrah dan Keanu--> (Ketika Dua Anu Jatuh Cinta)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuli Fitria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Paginya, seusai sarapan. Malik dengan semangat mendatangi rumah Sarah. Ia mengatakan segalanya pada perempuan yang sudah memiliki seorang putra itu. Sarah pun geram saat mengetahui siapa orang di balik dirinya dan Malik ada di dalam satu kamar.
Ia juga pasrah, jika Malik akan melakukan tes DNA. Karena ia juga merasa penasaran. Namun, ia tak mengerti akan seperti apa nantinya, jika memang terbukti kalau Shaki bukanlah anak Malik.
Karena, jika bukan Malik. Lantas siapa orang yang membuatnya sampai hamil? Pikiran perempuan 27 tahun itu kacau. Dalam hatinya penuh kebimbangan. Apakah ada orang yang tega meng ga ga hi nya di saat dia tak sadarkan diri? Sungguh kejam sekali orang itu.
"Berapa lama hasil tes DNA, Lik?" tanya Sarah saat ia sedikit merasa tenang dari hati yang bimbang.
"Sekitar satu sampai dua minggu, tergantung biaya." jawab Malik yang kini tengah menggendong Shaki.
"Mau kapan kamu menyerahkan sampel kalian?" tanya Sarah lagi.
"Secepatnya, nanti sore juga bisa. Aku ada kenalan juga di rumah sakit kota. Aku bisa ditemani dia," jawab Malik.
Sarah mengangguk. "Maaf ya, Lik. Kamu harus repot seperti ini." katanya pelan.
"Kamu apaan sih. Ini bukan salah kamu, ini keteledoran kita yang tidak bisa mengelak dari minuman s i a l a n itu. Seandainya saja, kita tidak minum waktu itu, jelas kita tidak akan seperti ini." Malik masih berjalan dari satu arah ke arah lain. Mengayun-ayun pelan tubuh Shaki didalam gendongannya. Membuat bayi itu semakin lelap dalam dekapannya.
"Harusnya, aku yang minta maaf Sar," ucap Malik lagi. Membuat Sarah memperhatikan kembali lelaki yang tengah berjalan santai menenangkan anaknya.
"Harusnya, aku nggak perlu seperti ini 'kan? Tapi, kamu tahu sendiri. Giska seperti apa bagiku," sambung Malik.
Sarah mengangguk mantap. "Aku tahu persis perasaanmu pada Giska, Lik. Jadi, kamu juga nggak perlu minta maaf."
Malik tersenyum kearah Sarah. Lantas begitu Shaki terlelap dengan begitu nyenyak, pria tampan itu lantas menidurkan Shaki di atas ranjang. Lantas setelah kembali ngobrol dengan Sarah, Malik pun pamit. Apalagi setelah mendapat apa yang ia mau.
Sampel guna tes DNA sudah ditangannya. Dengan semangat yang menggebu di dalam dada, ia lantas menjalankan mobilnya membelah jalanan ibu kota.
..._-_-_-_-_...
Di tempat lain. Tepatnya di Desa. Perempuan cantik tengah duduk di dalam toko dengan sang nenek. Ia sengaja pergi ke sana untuk menghilangkan rasa bosan di rumah.
Semua catatan bulanan sudah selesai ia garap, kini tinggal melayani pembeli. Membantu neneknya yang sudah berusia banyak namun masih saja semangat. "Di mana stoknya? Biar aku yang ambil." begitu ujarnya saat dia mendengar sang nenek akan mengambilkan stok baju.
"Uis, Gis. Biar aku yang ambil." Giska menoleh ke belakang, ternyata itu suara mbak Fitri. Ia lantas mengangguk dan tersenyum. Menyetujui apa yang jadi kemauan mbak Fitri.
Ponsel di dalam saku bajunya bergetar, ia lantas mengambil dan membawanya ke kursi. Ia berharap itu adalah telepon dari sang suami, dengan dada yang berdebar cepat ia segera duduk dan melihat. Dia harus kecewa saat yang ia lihat adalah orang lain.
Sebelum menjawab panggilan itu, Giska menarik napas kasar dan mengusap dadanya. Agar bisa bicara dengan nada baik-baik saja. "Assalamu'alaikum, Bu." begitu sapa nya pada orang di seberang sana yang ternyata adalah bu Hajjah Endah.
"Wa'alaikumusallam. Bagaimana, Nak Giska? Bisa datang?" tanya bu Hajjah Endah dari sebrang telepon.
Alis Giska berkerut. "Mmm, maksudnya bu? Maaf sedikit lupa," ucapnya tak enak hati. Karena ia benar-benar lupa, bu hajah Endah mengatakan pasal apa.
"Kamu lupa, Nak? Pengajian, ini 'kan hari jumat." Bu Endah mengingatkan.
"Astaghfirullah, maaf ibu, sekarang saya di Desa. Sedang ada keperluan, jadi tidak bisa datang," ucapnya sembari menepuk jidatnya karena lupa.
"Oh, ya sudah tidak apa-apa. Tapi semua keluarga sehat 'kan?" tanya bu hajjah Endah lagi.
"Allhamdulillah, semua sehat. Hanya saja, saya sedang banyak urusan di sini," jawabnya dengan senyum kikuk di balik cadar.
'Urusan menghindar,' sambung nya dalam hati.
Lantas keduanya terlibat obrolan yang lumayan lama, apalagi saat bu hajjah Endah kembali memesan jilbab untuk rombongan pengajian. Membuat obrolan semakin seru, apalagi saat yang dibeli semua barang dengan harga lumayan.
Seusai ngobrol dengan bu hajjah, Giska di buru sang nenek. Ia duduk di sebelah sang cucu. "Kenapa, Yang?" tanya Giska.
"Ngobrol sama siapa? Asyik banget."
"Sama pelanggan, mau pesen jilbab," jawabnya dengan tenang.
"Kamu nggak jadi ke rumah Yuni?" tanya ibu Ranti lagi.
"Habis ashar nanti, mama masih di warung. Mau nyusul ke warung males, Yang. di sana banyak laki-laki ngopi," katanya dengan berkali-kali mengedipkan mata.
Ibu Ranti mengusap puncak kepala sang cucu. Keadaan toko tengah lumayan sepi, hanya beberapa orang dan itu bisa di layani oleh Fitri. Jadi ibu Ranti sempatkan untuk ngobrol dengan sang cucu. "Kamu akan tetap di sini?" tanya nenek dengan satu cucu itu.
Giska mengangguk. "Sampai kapan?" tanya bu Ranti lagi. "Kamu nggak mau menemani suami kamu mencari jawaban? Kamu harusnya ada di sana Nduk, kasih semangat, bukan malah di sini, nunggu dengan tenang tanpa tahu suamimu se-lelah apa." sambung ibu Ranti.
"Tapi, Eyang. kalau aku di sana terus aku luluh dengan sikap baiknya dan jawaban kenyataannya menyakitkan bagaimana? Nasib aku gimana, Eyang?" tanya Giska dengan penasaran. Ia bukan tenang di sini, ia juga khawatir dan ingin tahu tentang seperti apa mereka di sana. Hanya saja, untuk kembali ke tempat itu dengan status jawaban yang belum jelas, tidak. Dia tidak ingin.
"Nduk, kamu sudah dewasa. Harusnya kamu bisa bicarakan segalanya dengan baik. Dan kamu bisa memberi kesempatan untuk suamimu, jika seperti ini, Eyang rasa kamu mau menang sendiri," ucap sang Nenek.
"Ko, Eyang ngomongnya gitu."
"Kamu sudah tahu segalanya, Nak. Bagiamana cerita Mika, bagaimana cerita suamimu. Sekarang semua orang menyemangati Malik, tapi kamu? Kamu malah menunggu kabar tanpa mau mengabari terlebih dulu, padahal dalam hati ingin sekali mengetahui kabarnya. Sayang," ibu Ranti menjeda kalimatnya dengan mengusap punggung tangan Giska. "Harusnya kamu juga ada di sana. Memberi semangat, membantu suamimu. Biar dia semakin percaya, bahwa kamu ada di sampingnya, menunggunya dengan hati yang besar."
"Aku coba pikirkan dulu, ya," ucap gadis itu. Keras kepalanya melebihi batu. Setiap apa yang ia dengar tidak bisa begitu saja ia lakukan. Ia akan membutuhkan waktu yang lama untuk berpikir.
Ibu Ranti menghembuskan napas kasarnya. Lantas, menggelengkan kepalanya. "Dasar batu! Coba nanti sore kamu bicarakan dengan Yuni," ucap sang nenek dengan kesal. Ia lantas beranjak meninggalkan cucu perempuannya sendirian dalam kebingungan.
giska boleh nampak effort kamu tu untuk selesaikan masalah
nolong orang justru menyusahkan diri sendiri dan menyakiti keluarga.... hedeeee