Tegar adalah seorang ayah dari dua anak lelakinya, Anam si sulung yang berusia 10 tahun dan Zayan 6 tahun.
Mereka hidup di tengah kota tapi minim solidaritas antar sekitarnya. Hidup dengan kesederhanaan karena mereka juga bukan dari kalangan berada.
Namun, sebuah peristiwa pilu membawa Tegar terjerat masuk ke dalam masalah besar. Membuat dirinya berubah jadi seorang pesakitan! Hidup terpisah dengan kedua anaknya.
Apakah yang sebenarnya terjadi? Bisakah Anam dan Zayan melalui jalan hidup yang penuh liku ini? Jawabannya ada di 'Surat Terakhir Ayah'
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dfe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Baju lebaran
Dari tadi Marpuah mencari keberadaan Lusi. Wanita berusia tiga puluh enam tahun itu baru tiba dari kantor polisi guna wajib lapor selama setahun penuh. Kebakaran hebat yang meluluhlantakkan tiga rumah dan satu toko itu menjadikan dirinya sebagai penyebab utama, kelalaian adalah unsur yang dituduhkan atas dirinya. Namun beruntung, dia tidak harus masuk ke jeruji penjara, alasan Marpuah dianggap kooperatif dan bersikap baik dalam setiap penyidikan. Jadi dia hanya diharuskan wajib lapor saja.
Dengan langkah tegap, dia menghampiri ke tiga anak yang sedang berdiri menghadap ke arahnya. Marpuah marah melihat Lusi didorong dan jatuh seperti itu. Memang siapa mereka berani mencelakai Lusi, anaknya? Kurang ajar!
Satu tarikan keras membuat tangis Lusi makin menyayat hati. Dia takut dengan muka garang ibunya saat ini. Apalagi cara ibunya menatap Anam dan Zayan, seperti berhadapan dengan musuh saja.
"Kalian pergi dari sini, sebelum aku panggilkan warga untuk menggali lagi kuburan bapak kalian karena seharusnya dia nggak layak dimakamkan di sini! Dia penjahat! Warga sini bisa kena sial karena menguburkan jasad penjahat seperti bapak kalian!!"
Deg. Kata-kata Marpuah berhasil menggores lebih dalam luka di hati dua bocah lelaki itu. Zayan yang biasanya takut berhadapan dengan siapapun kini nyalinya berkobar. Dia maju beberapa langkah untuk mendekati Marpuah.
"Meski di mata dunia bapakku adalah penjahat, tapi bagiku.. Bapak itu orang hebat! Kamu siapa sampai berani melarang bapakku dimakamkan di sini? Jika mau menggali kuburan, gali saja kuburan suamimu. Kalian orang kaya kan? Kenapa masih mau dikubur dengan tanah? Aku masih ingat kata-kata kalian waktu mendorong ku hingga jatuh ke tanah, kalian tertawa.. Kalian melihat ku seperti sampah, padahal aku ke warung kalian bukan untuk mengemis! Aku bawa uang. Dan kamu tau itu! Uang ku kamu ambil, kamu berteriak seakan aku mencuri, suamimu keluar dari rumah dan langsung mendorong ku keras jatuh ke tanah. Ingat dengan kalimat ini? Hanya orang miskin yang tempatnya di tanah!"
"Kalian kaya kan, kalau mati jangan pakai tanah untuk mengubur diri. Pakai uang kalian! Nggak malu sama ucapan mu kemarin itu?"
Anam yang biasanya berani pun belum tentu bisa berkata seperti itu. Tapi Zayan? Dia seperti bukan Zayan, wajahnya terlihat tanpa ada celah ketakutan. Dia berdiri menantang Marpuah dengan mata merahnya.
"Anak kurang ajar!" Hampir tangan Marpuah melayang menampar pipi Zayan tapi Anam lebih dulu menarik ujung baju Marpuah sehingga wanita itu terhuyung ke belakang.
"Sialan!! Lihat saja nanti, kalian akan menyesal!! Ayo Lus pulang! Jangan bergaul sama anak bajingan kayak mereka!! Bisa ketularan jadi penjahat kalau deket-deket mereka!"
Marpuah menarik Lusi, mungkin terlihat kejam karena Lusi terus menangis sepanjang jalan. Payung yang dia bawa bahkan ditinggal begitu saja karena emosi Marpuah tak mengijinkan Lusi untuk mengambil kembali payungnya. Anak yang malang.. Kasihan.
Anam dan Zayan mengikuti kemana arah Marpuah dan Lusi pergi dengan pandangan mata mereka. Sekarang suasana kembali sepi, ah.. Mungkin tidak sepenuhnya benar karena hujan masih deras mengguyur area pemakaman yang mereka tapaki.
Anam mengusap pundak Zayan pelan. Zayan menoleh lalu berhambur memeluk tubuh Anam. Tangisnya lagi-lagi terdengar.
"Pulang?" Tanya Anam mengusap kepala adiknya. Zayan mengangguk.
Mereka berpamitan pada gundukan tanah basah itu sebelum pulang, ada bapaknya di sana. Seakan sedang mencium tangan Tegar, bergantian Anam dan Zayan mencium batu nisan bertuliskan nama Tegar dengan khidmat.
"Kami pulang dulu pak.." Anam yang berkata.
Di sepanjang jalan, tubuh Anam dan Zayan tak hanya merasakan kedinginan tapi juga kehampaan, kesedihan, dan marah di waktu yang bersamaan. Mereka berjalan tanpa suara, tanpa berbincang seperti biasanya. Hanya ada bunyi angin dan sapaan hujan menghantam tubuh kecil mereka.
Jalanan sepi, mungkin ada satu dua kendaraan yang melintasi karena memang hari mulai petang, langit masih setia dengan menurunkan guyuran air ke bumi. Anam dan Zayan sampai rumah dengan wajah lelah. Harusnya ada pengajian di rumahnya untuk mendoakan almarhum bapak mereka, tapi kesibukan itu tidak terlihat. Tidak ada apapun di sana. Sepi.
"Abang masak mi ya Za. Makan. Jangan nggak makan, kalau kamu sakit, Abang lebih sakit liatnya." Tutur Anam langsung melepas kaosnya begitu saja.
"Aku mandi dulu bang." Zayan berkata sambil menuju kamar mandi.
Anam bertelanjang dada memasak mi di dapur mereka, Zayan mandi membersihkan diri, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Mi matang, Anam menaruhnya di meja. Dia mengambil handuk, lalu berjalan menuju kamar mandi.
"Gantian Za. Abang juga mau mandi."
"Iya." Sahut Zayan singkat.
Pintu terbuka, Zayan belum melepaskan pakaian, hanya menyiram tubuhnya dengan air.. Jadi dia belum mandi?
"Kamu belum mandi?" Tanya Anam menelisik keadaan adiknya yang tak karuan.
Zayan menggeleng. "Bang.. Ini baju dibeli bapak, kata bapak boleh aku pakai nanti pas lebaran.. Kata bapak sengaja beli baju agak gede buat ku, biar nanti bisa dipakai terus sampai aku besar. Baju ini buat lebaran nanti bang.. Tapi udah aku pake buat ngelayat bapak.. Gimana ini bang? Bapak pasti marah liat baju yang harusnya dipakai nanti pas lebaran malah aku kotori sampai kayak gini.. Gimana ini bang? Bapak pasti sedih liat baju putih udah kotor banyak lumpur kayak gini.."
Terus diulang. Zayan berucap dengan suara bergetar. Satu tangannya mengambil gayung, dia mengguyur lagi badannya dengan air. Sekali lagi dia lakukan dengan linangan air mata. Ternyata memang tidak bisa Zayan bangkit begitu saja setelah kepergian bapaknya. Dia benar-benar terpukul saat ini.
Dada Anam sesak melihat pemandangan itu, dia ambil gayung di tangan adiknya. Dia rebut paksa.
"Nanti Abang cuci bajumu. Sekarang lepas bajunya. Mandi yang bener. Makan mi di meja sana. Abang sakit lihatnya Za, tolong.. Jangan kayak gini.. Abang juga nggak kuat.. Tolong.. Bantu Abang.. Jangan kayak gini..."
Anam menangis di hadapan adiknya. Dia membantu Zayan melepas baju yang katanya Tegar belikan untuk Zayan agar dipakai di hari lebaran. Baju itu di taruh di ember. Zayan mengusap matanya kasar.
"Bang..." Panggil Zayan melihat pundak abangnya bergetar.
"Keluar dulu Za.. Abang mau mandi.." Lirih Anam menjawab.
Zayan menurut. Dia membiarkan Anam membersihkan diri. Matanya melihat baju yang tadi Zayan pakai. Dia ambil, dipeluknya erat, seperti memeluk seseorang.
"Kamu udah dibeliin baju lebaran.. Sedangkan Abang belum Za, bapak bilang mau ajak Abang ke pasar setelah bapak pulang kerja.. Bapak bilang, Abang boleh milih baju sendiri... Kamu lebih beruntung dari Abang Za.. Kamu lebih beruntung.." Tangis itu tanpa suara.
Kesedihan Zayan diperlihatkan di depan Anam namun Anam.. Dia lebih memilih menanggung perih itu sendiri. Dia mencoba kuat di depan adiknya, karena dia tahu.. Hanya dirinyalah yang Zayan punya.
untung nya suami ku orangnya baik hati bijaksana dalam permusyawaratan perwakilan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
arogan bener jadi manusia, udah kek Fir'aun bae
bukan nyari muka
seperti kata kong abut berubah lebih baik untuk kalian sendiri
bulu apa ini 🤔🤔🤔