Surat Terakhir Ayah

Surat Terakhir Ayah

Ayahku hebat

Dari kejauhan Anam dan Zayan bisa melihat kedatangan ayahnya. Zayan langsung berteriak kegirangan, Anam sampai menepuk bahu adiknya itu karena terlalu berisik menurutnya.

"Bapak, bapaaaak.. Bapak pulaaaang.. Yeaaaaay!!" Masih dengan euforia kebahagiaan yang dia rasakan karena melihat bapaknya datang.

"Berisik Za! Cempreng banget sih kamu ini!" Anam membentak adiknya.

Tegar terkekeh melihat sambutan anak-anaknya. Dia menggendong Zayan lalu mengusap rambut Anam.

"Udah pada makan belum?" Tanya Tegar menurunkan Zayan dari gendongan lalu sekilas mencium pipi anak bungsunya.

"Udah pak. Tadi abang bikinin aku mi goreng. Dimakan pake nasi, sama krupuk." Zayan senang. Dia menceritakan apa yang tadi siang masuk ke perutnya.

Dari mana Tegar? Kenapa sambutan Zayan seantusias itu?

Tegar pulang dari bekerja. Menjadi supir truk untuk muatan bahan bangunan. Pekerjaan yang tidak setiap hari dia lakoni karena dia hanya supir cadangan. Untuk kebutuhan setiap hari, Tegar cukupi dengan menjadi kuli panggul di pasar setiap malam. Sayur-sayuran segar datang dari berbagai daerah ke pasar induk dan akan membutuhkan banyak tenaga seperti dirinya untuk membongkarnya.

Apakah setiap malam Anam dan Zayan tidur hanya berdua jika Tegar pergi bekerja?

Iya. Tapi, Tegar selalu berangkat ketika mereka berdua sudah tidur. Biasanya akan kembali setelah adzan subuh. Pekerjaannya memang harus bergelut dengan malam, jadi mau tidak mau, dia harus menghempaskan kesedihannya setiap akan meninggalkan kedua buah hatinya pergi bekerja.

Subuh tadi, setelah mendapat telepon dari pemilik toko bangunan agar Tegar datang untuk nyerepin supir yang berhalangan masuk karena sakit, Tegar langsung segera berangkat. Jadilah, baru sore hari ini mereka bertemu.

Tegar tak serta merta meninggalkan anaknya begitu saja. Dia sudah menyiapkan nasi untuk makan. Juga beberapa butir telur, serta mi instan yang dia stok di rumah.

Bagi seorang single parent, mengasuh dua anak seorang diri, dengan ekonomi di bawah rata-rata, mungkin cenderung pas-pasan itu sangatlah sulit. Tegar merasakannya sendiri. Bergelut dengan penat dan lelah itu sudah lumrah baginya. Asal masih diberi kesehatan, dia akan melakukan apapun untuk mencukupi dan membahagiakan kedua anaknya. Ya, meski dengan keterbatasan yang ada tentunya.

"Kok kukunya item-item gini, yok dipotong dulu. Nam, bisa minta tolong ambilin gunting kuku. Ini kuku adikmu kayak kuku macan. Item semua, banyak kumannya. Hiiii." Ucap Tegar.

"Hiiii." Tiru Anam bergerak mengambil gunting kuku, benda yang diminta bapaknya.

"Tangannya yang dipotong, iya kan pak! Biarin nggak punya tangan. Nakal sih, suka jambakin rambut abang! Ya pak.. Sampai sini dipotongnya ya?"

Goda Anam memperagakan tangganya digorok sampai siku dengan gunting kuku. Alhasil Zayan berteriak menjerit kesal ingin menyerang kakaknya.

"Nggak! Abang nakal! Tanganku nggak dipotong ya pak? Aku baik kok, nggak nakal! Abang yang dipotong nanti lidahnya sama malaikat!" Balas Zayan kesal berpikir tangannya benar-benar akan dipotong.

"Hus! Nggak boleh kayak gitu. Sama saudara itu harus rukun. Harus saling menjaga. Saling memaafkan dan memberi tahu jika ada yang salah. Apa itu potong potong, diajari siapa kamu bang, kok ngomong gitu? Ini juga, bilang potong lidah segala macem. Emang mau lidah abangmu beneran dipotong? Seneng to, liat abang kesakitan, nggak punya lidah, nggak bisa bicara?"

Zayan menggeleng di tengah pangkuan ayahnya. Dia memandang ke arah Anam.

"Aku minta maaf bang." Ucap Zayan mengulurkan tangannya.

"Hmm, abang juga." Mereka bersalaman.

Sesimpel itu menghadapi tingkah polah kedua anaknya tapi jika tidak dibiasakan menasehati, menegur jika salah, dan membiarkan keributan yang terjadi dengan membela salah satu di antara anaknya, pastinya akan membuat persaudaraan mereka renggang dan merasa dibeda kasih (pilih kasih) oleh orang tuanya. Oleh sebab itu, sebisa mungkin Tegar berusaha berlaku adil untuk keduanya.

"Bapak, kapan aku sekolah? Aku juga mau sekolah kayak abang, pak." Seru Zayan tiba-tiba.

Tegar belum membuka suara.

"Setahun lagi lah. Ya kan pak? Kalo udah umur tujuh tahun, baru boleh sekolah! Nanti kita sekolah bareng-bareng ya, abang antar kamu masuk kelas. Terus kalo ada yang ganggu kamu, bilang sama abang. Biar abang pukul!"

"Heh. Ya jangan. Mau jadi preman? Sekolah buat belajar, kenapa malah jadi adu pukul? Membela bukan berarti harus bertengkar bang." Tegur Tegar kala mendengar anak sulungnya salah bicara.

"Iya bang. Nanti kalo abang kalah, aku bantuin. Hahaha." Ucap Zayan menepuk dadanya.

"Hahaha. Bagus! Itu baru adik Abang. Tos Za!"

Mereka tidak mendengarkan perkataan Tegar rupanya, karena larut dalam angan masing-masing yang akan jadi centeng sekolahan!

Sore berganti malam.

"Lho belum tidur Nam?"

Tegar mengira jika Anam sudah terbuai dalam mimpi di peraduan. Ternyata masih sibuk dengan buku dan pensilnya.

"Belum pak. Ada PR. Bapak mau berangkat kerja sekarang?" Tanya Anam yang hafal jam kerja ayahnya.

"Iya. Ada SMS dari bos bapak, katanya sayuran yang datang banyak. Lumayan kalo bisa dapat angkutan lebih banyak Nam. Bisa beliin kamu sama adikmu baju lebaran." Tegar sudah memikirkan lebaran, padahal bulan puasa saja belum datang.

"Pak.."

Lirih Anam saat melihat ayahnya memakai sepatu butut yang sudah sobek bagian depannya.

"Hmm, iya Nam." Tegar menghentikan pergerakannya.

"Nanti, kalo Abang udah gede. Abang mau kerja. Bapak nggak usah. Bapak di rumah aja. Jagain Zayan." Begitu ucap Anam.

Tegar terdiam. Dia mendekati anaknya, di usap tangan kecil yang masih memegang pensil itu.

"Terimakasih.. Tapi, untuk sekarang.. Sekolah dulu. Belajar yang pinter ya. Urusan kerja dan cari uang itu tugas bapak. Maaf ya bang, bapak jarang ada waktu buat kamu dan Zayan... Mau bagaimana lagi, kalau bapak libur.. Banyak orang yang sanggup menggantikan posisi bapak di pasar. Dan akan sangat sulit untuk bisa kembali bekerja jika sudah seperti itu.. Bapak minta maaf ya bang.."

Anam menatap kepergian bapaknya dengan rasa sedih. Ada kesedihan yang lain, kesedihan yang berbeda dengan yang biasa dia rasakan ketika melihat bapaknya akan berangkat bekerja.

"Paak.." Anam berlari ke luar rumah.

Tegar menengok, dia ditubruk oleh pelukan Anam yang tiba-tiba. Bocah itu memeluk perut Tegar dengan mata berkaca-kaca. Entahlah... Ada perasaan tidak rela melepas ayahnya pergi berkerja malam ini.

"Ada apa jagoan? Kenapa?"

Tegar mengecek kening Anam, memastikannya jika anaknya tidak sakit atau demam.

"Bapak.. Cepet pulang ya pak.. Bapak tadi aja belum tidur sama sekali. Pasti ngantuk dan capek banget, iya kan?" Anam masih ingin berlama-lama dengan ayahnya.

"Nggak biasanya kamu kayak gini bang. Iya, nanti bapak akan usahain cepet pulang ya. Sekarang masuk, kasihan adikmu tidur sendirian. Jangan lupa kunci pintunya ya."

Anam mengangguk. Meski tak rela, tapi Anam tetap menuruti perintah ayahnya. Dilihat punggung itu untuk terakhir kali, hilang ditelan gelapnya malam.

'Pak.. Abang sayang bapak.. Terimakasih sudah jadi bapak yang hebat untuk aku dan Zayan.'

Terpopuler

Comments

𒈒⃟ʟʙᴄ ㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤㅤㅤ🌼

𒈒⃟ʟʙᴄ ㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤㅤㅤ🌼

emang mah kalau mau kejadian sesuatu pasti ada feeling engga enak🥺ingat dulu pas alm ayah di rujuk kerumah sakit yg jauh dari tempat lgsg mikir bakalan gimna😔🚶🏿‍♀️🚶🏿‍♀️🚶🏿‍♀️

2025-03-13

0

🍊 NUuyz Leonal

🍊 NUuyz Leonal

berasa mirip bapak nya ayu double T teguh dan tegar sama sama kuat

2025-01-14

2

Yunita Sri wahyuni

Yunita Sri wahyuni

awalnya saja sudah mengandung bawang 🥲.. nasehat nya 👍🏻.. lanjut Thor 💪🏻..maaf br mampir.

2025-01-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!