Enzio Alexander Pratama, pria 28 tahun dengan kekayaan dan status yang membuat iri banyak orang, ternyata menyimpan rahasia kelam—ia impoten.
Sebuah kecelakaan tragis di masa lalu merampas kehidupan normalnya, dan kini, tuntutan kedua orangtuanya untuk segera menikah membuat lelaki itu semakin tertekan.
Di tengah kebencian Enzio terhadap gadis-gadis miskin yang dianggapnya kampungan, muncul lah sosok Anna seorang anak pelayan yang berpenampilan dekil, ceroboh, dan jauh dari kata elegan.
Namun, kehadirannya yang tak terduga berhasil menggoyahkan tembok dingin yang dibangun Enzio apalagi setelah tahu kalau Anna adalah bagian dari masa lalunya dulu.
Bahkan, Anna adalah satu-satunya yang mampu membangkitkan gairah yang lama hilang dalam dirinya.
Apakah ini hanya kebetulan, atau takdir tengah memainkan perannya? Ketika ego, harga diri, dan cinta bertabrakan, mampukah Enzio menerima kenyataan bahwa cinta sejati sering kali datang dari tempat yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. DuaPuluh
Anna berbaring di atas ranjang kecilnya dengan tubuh lelah, mencoba memejamkan mata, tapi ada sesuatu yang terasa tidak nyaman. Dada sesak, nafasnya terasa berat, seolah ada sesuatu yang menindihnya.
Alisnya mengernyit dan dengan usaha yang cukup besar, Anna akhirnya membuka matanya. Saat pandangannya mulai jelas, dia langsung membelalak kaget.
Seseorang sedang memeluknya erat, wajahnya begitu dekat hingga dia bisa merasakan hembusan nafas hangat itu di kulitnya. Dan yang lebih mengejutkan lagi, kaki seseorang itu melingkar di perutnya, mengunci tubuhnya dalam pelukan erat.
“Zio!” pekiknya. “Kenapa kamu ada disini?!”
Enzio hanya membuka sebelah matanya dengan malas, lalu tersenyum. “Memelukmu. Aku tidak bisa tidur jadi aku datang kemari,” jawabnya santai.
“Aku tahu,” desisnya, “tapi ini tidak benar! Kamu memasuki kamar seorang pembantu diam-diam, naik ke atas ranjangnya, lalu memeluknya dan juga–”
“Calon istri!” potong Enzio cepat, menatap Anna dengan tatapan intens. “Kamu calon istriku dan bukan pembantu.”
Anna mendengus sambil memutar bola matanya dengan malas. “Terserah!”
Dengan sekuat tenaga, Anna mencoba mendorong Enzio agar melepaskan pelukannya. Tapi pria itu tak bergeming. Tubuhnya menempel erat pada Anna seperti lintah.
“Zio, awas!” seru Anna mulai kesal.
Enzio menyipitkan matanya, menatapnya dengan tatapan menggoda. “Kalau aku tidak mau, bagaimana?”
Anna menatapnya tajam, lalu tersenyum licik. “Kalau begitu, aku akan menendang mu.”
Enzio terkekeh. “Kamu tidak akan berani melakukan itu.”
“Benarkah? Yakin sekali!” tantang Anna.
Sebelum Enzio kembali menanggapinya, Anna mengerahkan seluruh tenaganya dan dengan satu dorongan kuat, dia berhasil mendorong Enzio dari ranjang.
Bruk!
“Anna, apa yang kamu lakukan!” pekik Enzio kesal saat tubuhnya jatuh ke lantai dengan suara cukup keras.
Anna bangkit dari ranjang dan berkacak pinggang. “Rasakan itu! Dasar keras kepala!” katanya dengan penuh kemenangan.
Anna lalu berbalik, hendak keluar dari kamar. Namun, baru beberapa langkah, suara rintihan kesakitan terdengar dari belakangnya.
“Argh… pinggangku sakit!” teriak Enzio membuat langkah Anna terhenti.
Dia menoleh dan melihat Enzio meringis, tangannya memegang pinggang seperti benar-benar sedang kesakitan.
“Besok aku akan bertunangan,” rintihnya. “Dan seorang gadis menendangku hingga aku jatuh. Bagaimana kalau aku tidak bisa berjalan normal?”
Anna menggigit bibirnya. Kalau sampai terjadi sesuatu pada Enzio, bukankah mereka akan menyalahkannya? Tanpa berpikir panjang, Anna berlutut di depannya.
“Mana yang sakit? Sini, aku bantu berdiri,” ujarnya dengan cemas.
Anna membantu Enzio duduk, tangannya menopang pria itu dengan hati-hati. Namun, ketika pandangannya turun ke tangan Enzio, matanya membulat.
Jari manisnya itu kini dihiasi sebuah cincin berlian yang pernah dilihatnya di toko perhiasan. Cincin yang sempat menarik perhatiannya.
“Ini apa?” tanya Anna.
Enzio memperhatikan reaksinya dengan senyum tipis. “Kamu menyukainya?”
Tanpa sadar, Anna mengangguk pelan. Cincin itu, begitu indah.
“Harganya pasti sangat mahal, ini tidak pantas untukku.” Tak lama, kesadaran Anna segera kembali. Dia menatap Enzio dengan bingung sambil berusaha melepaskan cincin itu dari jarinya.
Namun, sebelum Anna sempat melakukannya, Enzio dengan cepat meraih tangannya. Lalu mengecup jemari Anna yang tersemat cincin.
Anna membeku. Sentuhan bibirnya begitu hangat. Seolah ada sesuatu di dalam dada Anna yang mencair.
“Ini tidak semahal saat aku mengambil ciuman pertamamu,” bisik Enzio, tatapannya tajam menembus mata Anna.
Jantung Anna berdetak lebih cepat. Tubuhnya berkeringat dingin. Kenapa Enzio jadi tukang menggombal seperti Theo, pikirnya.
“Menikahlah denganku dan jadilah wanitaku, Anna.”
Anna tertegun sejenak. “Zio, berhentilah bermain-main,” katanya pelan. “Kamu akan bertunangan, dan kita–”
Belum sempat Anna menyelesaikan kalimatnya, Enzio menarik pinggangnya hingga bibir mereka bersentuhan.
Ciuman pun tak bisa dihindari. Anna yang awalnya menolak, akhirnya terbuai. Gerakan Enzio begitu mendominasi membuatnya perlahan-lahan kehilangan kendali.
Cukup lama mereka saling membalas satu sama lain, seolah dunia di sekitar mereka menghilang. Hingga tanpa sadar, tangan Anna bergerak sendiri, melingkar di pundak Enzio, mempererat ciuman mereka.
“Ah, Zio…” lenguh Anna tanpa sadar saat Enzio menyentuh dadanya.
Enzio tersenyum di antara ciuman mereka, lalu menempelkan dahinya ke dahi Anna.
“Aku tidak bisa menahannya lagi. Aku menginginkanmu, Anna” ucapnya dengan suara serak. “Bolehkah?”
“Maksud mu menginginkan apa?” tanya Anna. Saat Enzio akan membuka mulut, suara teriakan mengejutkan mereka berdua.
“Astaga, Enzio! Anna!”
Keduanya menoleh bersamaan, melihat sosok Kania berdiri di ambang pintu dengan wajah terkejut. Wanita itu buru-buru menutup mulutnya dengan tangan, matanya membesar saat melihat posisi mereka yang begitu intim.
“Apa yang kalian lakukan!” pekiknya dengan nada tertahan.
Anna langsung tersadar dan mendorong Enzio menjauh, wajahnya memerah seperti tomat. Sementara Enzio hanya tersenyum tipis, sama sekali tidak terlihat bersalah.