Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11. Impian mertua.
Aku sangat terkejut dengan ucapan ibu mertua. Kutatap langsung Arbian yang sudah menatapku sedari tadi. Entah apa yang berkecamuk dalam benaknya kali ini.
Akhirnya pertayaan itu datang juga. Kalau dulu cuma sekilas saja tapi hari ini ibu mertua menanyakan secara khusus. Juga memberi saran agar kami periksa ke dokter.
Satu tahun pernikahan kami, sudah wajar kedua mertuaku mengharap kehadiran seorang cucu ditengah keluargaku. Kedua orang tuaku juga pernah menanyakan hal sama tapi tidak sefrontal ucapan mertua.
Bagaimana mungkin impian mereka terwujud sedang aku dan Arbian belum pernah melak*k*n itu. Kami hanya bersandiwara menjadi sepasang suami istri. Tinggal satu atap tid*r pisah kamar.
"E-gh, Mama, yang sabar dulu ya. Ntar juga impian Mama terkabul." ucap Arbian setelah beberapa saat terdiam. Lidahku serasa kelu untuk menjawab ibu mertua. Untunglah Arbian sigap menolongku.
Jadi inilah maksudnya ibu mertua menyuruh kami datang ke rumah. Ingin bicara perihal cucu. Sesuatu di luar perkiraanku. Walaupun sebenarnya cepat atau lambat hal ini pasti dipertanyakan. Aku sudah mempersiapkan seribu satu alasan. Tapi, kenapa ketika saat itu tiba, mulutku kelu untuk bicara?
"Ih, kapan Arbi? Mama dan Bapak sudah tua. Kami merindukan seorang cucu. Kalau alasan kalian karena takut repot, Mama akan bantu kalian mengasuh anak. Kalian jangan ngoyo cari harta sampai lupa punya anak. Jadi semisal ada masalah kan lebih bagus diperiksa secepatnya," ucap ibu lembut. Aku menelan air liurku yang terasa pahit.
Jika sudah seperti ini, masih punya nyali kah Arbi untuk jujur pada mertua?
"I-iya, Ma. Nanti kami pikirkan. Kami akan luangkan waktu untuk saran, Mama." Astaga, hampir saja bola mataku terloncat mendengar ucapan Arbi yang memberi harapan pada orang tuanya.
Buat apa coba ngomong seperti itu. Tidak merasa bersalahkah karena selama ini telah berbohong. Malah memberi harapan palsu lagi.
"Nah, gitu dong. Mama tunggu khabar dari kalian. Soal biaya gak usah dipikiri. Mama sama Bapak pasti bantu nanti. Oh ya Mama masak ikan arsik kesukaan kamu Ra, ayuk kita makan." Ibu mertua menarik lenganku menuju ruang makan. Menunjukkan masakan andalannya.
Biasanya aku akan tergiur dan langsung makan. Tapi kali ini seleraku hilang.
"Ayo, Ra, diambil." Ibu mertua menyodorkan piring. Lalu mengambil seekor ikan mas arsik menaruhnya di atas piring. Aroma khas ikan arsik menyambar hidungku. Namun, tidak mampu menggugah seleraku.
"Kenapa? Kamu sakit ya, Ra?" deru tanya ibu mertua menyadarkanku.
"Eh, gak kok Inang. Cuma agak pusing, mungkin karena semalam kurang tidur." kelitku berbohong.
"Masuk angin itu. Makanya makan dulu, biar pusingnya hilang." Ibu mertua mengisi nasi ke piringku. Mau tidak mau aku harus nurut karena tidak ingin ibu mertua makin curiga padaku.
Aku duduk dan mencoba menikmati masakan ibu mertua. Sekuat hati aku menahan haru karena perhatian beliau. Betapa baik dan selalu tulus menyayangiku. Tapi percuma saja 'kan bila hati anaknya tidak menganggapku.
Lihatlah, disaat ibu mertua menyiapkan nasi dan lauk untukku. Menyuruh aku makan. Tapi tidak dengan Arbian. Ibu mertua sama sekali tidak menawarkannya. Kalau mau makan ya ambil sendiri.
"Kak Rania." suara Mery datang menyapaku. Sepertinya dia baru bangun tidur. Nampak dari wajahnya yang bengkak .
"Sudah lama, Kak?" Mery mencomot sedikit ikan dari piringku.
"Belum lima menit." candaku. Mery tertawa lalu meraih piring dan mengisinya dengan nasi dan lauk. Lalu duduk disampingku.
"Bang Arbi gak makan, Kak?" ucapnya disela suapannya.
"Lagi ngobrol sama Amang." sahutku asal saja. Karena pastinya aku tidak tau. Tadi kupikir Bang Arbi akan menyusul ke ruang makan saat ibu mertua menyuruhku makan.
"Mungkin gak lapar. Biasanya 'kan main serobot aja. Apalagi kalau Mama masak ikan mas arsik." Aku mengangguk mengiyakan ucapan Mery.
"Kak, apa Kakak sudah ngomong ke Bang Arbi, soal kemarin itu." Bisik Mery seraya matanya melihat ke sekeliling, takut ibu mertua mendengar.
"Sudah, Dek. Katanya kebetulan saja ketemu lalu mengajak Gladys makan."
Duh! Masih saja aku berbohong melindungi Arbian. Menutupi hal yang sebenarnya hanya karena tidak tega mereka terluka. Sementara aku menanggung sendiri luka hati ini.
"Kakak yakin Bang Arbi jujur?"
"E-gh, iya Dek." aku meneguk air putih karena kerongkonganku terasa seret. Segera kualihkan pandanganku agar Mery tidak melihat kebohonganku.
"Ya, udah. Lain kali kalau aku memergoki Bang Arbi lagi, kujambak saja pelakor itu." ucap Mery gemas.
"Eh, diam-diam pada maka ya. Kok gak ngajak, sih." Mendadak Arbian muncul. Menyentuh kedua bahuku. Lalu membuka mulutnya agar aku menyuapinya.
"Ih, sudah tua sok manja." ledek Mery mengejek abangnya. Arbian ngakak lalu mengacak rambut adik semata wayangnya. Dua bersaudara itu memang sangat akrab. Makanya Mery kemarin itu shok melihat abangnya jalan dengan Gladys.
"Aduh, rambutku dah berantakan." protes Mery. Mau tak mau aku tersenyum melihat polah keduanya. Kurapikan rambut Mery dengan tangan kiriku. Ibu mertua muncul dari dapur membawakan puding coklat.
"Coba dicicipin dulu." Ibu mertua menyuapkan sepotong puding coklat ke mulutku. Rasanya manis dan kenyal.
"Enak?" tanya ibu mertua aku menggangguk. Lalu aku disuapin sepotong lagi. Ah, sesayang itu ibu mertua padaku. Aku diperlakukan lembut dan penuh perhatian. Hatiku sangat terharu.
"Makasih, Inang." aku berusaha sekuat hati menahan agar bening kaca itu tidak jatuh. Kuseruput air putih didepanku.
"Kok Rania aja yang Mama suap. Gak jelas mana menantu mana anak." protes Arbian konyol. Lagi, sikapnya sangat mesra padaku. Semakin sempurna sandiwara ini.
"Makasih ya sayang telah menemani Arbian selama setahun ini. Mama salut sama kamu. Karena putra Mama ini sangat manja dan egois." Ibu mertua memelukku. Tapi telunjuk jarinya menoyor sayang jidat Arbian.
Kembali mataku berembun hangat. Ah, seandainya ibu mertua tahu hal yang sesungguhnya, seperti apakah reaksi beliau.
"Ih, siapa sih yang menaruh bawang di puding ini. Mataku jadi perih." Mery mengipas wajahnya seraya meleletkan lidahnya. Ibu mertua akhirnya memeluk kami bertiga.
Entah bagaimana gambaran hati Arbian saat ini. Masih sanggupkah dia berkata jujur perihal rumah tangga kami. Tega kah dia menghancurkan jalinan kasih sayang ibu mertua. Yang jelas aku semakin terperosok jatuh dalam permainan ini. Dari satu kebohongan muncul kebohongan yang lain.
Suatu saat pasti akan terbongkar sepandai apapun kami menyembunyikannya.
Hening, begitu kuat mencengkram diantara kami sepanjang perjalanan pulang. Lidahku terasa kelu hanya untuk mengucapkan sepatah kata. Begitu juga Arbian. Benakku dipenuhi pikiran yang semrawut.
Aku melihat sisi jalan. Memandang gelap yang menghitam. Pepohonan atau rumah yang seolah berlarian mengejar kami. Sama seperti gambaran hatiku yang ingin berlari tapi tetap diam, terpasung. ***
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor