Buku Merah Maroon seolah menebar kutukan kebencian bagi siapapun yang membacanya. Kali ini buku itu menginspirasi kasus kejahatan yang terjadi di sebuah kegiatan perkemahan yang dilakukan oleh komunitas pecinta alam.
Kisah lanjutan dari Rumah Tepi Sungai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamar Lantai Atas
Dengan sedikit berjingkat dan langkah perlahan, Aldo menapaki anak tangga menuju ke lantai dua rumah Bu Anggun. Tindakan kurang ajar dan melanggar norma kesopanan. Seorang tamu mengendap-endap dan berusaha mengintip ruangan pribadi dari tuan rumah. Di usia muda, rasa penasaran mengambil alih akal sehat.
Aldo sampai di ruangan atas. Karpet merah maroon terhampar dengan gambar patung-patung anak kecil. Aldo menduga, Tuan rumah menyukai warna merah maroon. Beberapa perabot dan detail furniture rumah memang memiliki warna mirip darah.
Sebuah televisi tabung berukuran kecil dibiarkan menyala di tengah karpet. Menayangkan dvd dengan gambar hitam putih. Sedangkan radio di atas televisi memutar sebuah tembang macapat.
Gereng-gereng Gathutkaca sru anangis,
Sambate mlas arsa,
Luhnya marawayan mili,
Gung tinameng astanira
(Gathutkaca meraung-raung menangis dengan sangat keras,
Rintihannya sangatlah menyentuh hati,
Airmatanya -pun mengalir,
Sangat banyak sampai ditutupi dengan tangannya)
Salah satu tembang Maskumambang. Merupakan tembang yang berasal dari kata mas atau emas yang berarti sesuatu yang berharga, dan mambang atau kemambang yang artinya mengambang, dalam hal ini yang dimaksud adalah bayi yang hidup dalam rahim ibunya dalam keadaan mengambang.
Bulu kuduk Aldo meremang. Tembang yang terus menerus berulang menciptakan sensasi pening pada bagian belakang kepala Aldo. Pelipisnya pun terasa berdenyut.
Di belakang televisi terdapat dua buah pintu kamar. Satu kamar tertutup rapat sedangkan yang satunya sedikit terbuka dan terlihat sorot lampu berwarna kuning temaram. Aldo mengendap-endap mendekati daun pintu yang sedikit terbuka.
Dari celah pintu yang segaris itu, Aldo mengintip ke dalam ruangan. Ternyata sebuah kamar mewah dengan dipan kayu jati mengkilap. Badcover berwarna merah maroon bergambar bunga mawar di tengahnya.
Di sudut dipan, membelakangi Aldo tampak Bu Anggun tengah duduk mengenakan piyama berenda transparan. Aldo dapat melihat punggung mulus nan putih bersih perempuan yang seharusnya berusia jauh di atasnya itu. Tangan Bu Anggun bergerak di depan dadanya sendiri.
Detak jantung Aldo mulai tidak beraturan. Debaran-debaran di dadanya bergelora. Entah sejak kapan napas pemuda itu terasa sesak.
Bu Anggun terdengar bernyanyi lirih, mengikuti tembang yang diputar oleh radio. Bulu-bulu halus di belakang leher perempuan itu tampak lebat. Bahkan dari kejauhan pun Aldo dapat menduga jika aromanya pastilah harum. Meskipun sudah cukup berumur, Aldo mengakui jika kecantikan Sang Tuan Rumah merupakan kelas atas.
Aldo memalingkan wajah. Tujuannya ke lantai atas bukan untuk mengintip sang tuan rumah. Ia merasa penasaran dengan satu lagi ruangan yang ada di sampingnya. Apakah Putra ada di dalam? Atau jangan-jangan kamar itu tempat menyimpan benda berharga.
Karena tertutup rapat, perlahan Aldo memutar knop pintu, dan mendorongnya dengan hati-hati. Pintu terbuka tanpa suara. Aroma amis dan pesing langsung menerobos ke hidungnya.
Ruangan dengan pencahayaan temaram itu memiliki luas dan penataan interior yang serupa dengan kamar Bu Anggun. Saat Aldo mengedarkan pandangan, matanya menemukan sosok mengerikan yang duduk di kursi roda. Seketika dada Aldo berdesir. Dia diam termangu dengan mata membulat.
Perempuan berambut putih panjang terurai duduk dengan tatapan mata yang kosong. Kulitnya keriput, kuku-kukunya panjang dan menghitam. Pakaian yang dikenakan sebuah piyama putih panjang yang terlihat basah bagian bawahnya.
Aldo menutup pintu dan berniat untuk segera turun dari lantai 2. Akan tetapi saat berbalik badan rupanya Bu Anggun sudah berdiri di belakang Aldo. Perempuan itu tersenyum menatap Aldo.
"Apa yang kamu lakukan disini?" tanya Bu Anggun. Suaranya terdengar parau.
Aldo tidak dapat menjawab. Tenggorokannya tercekat. Seolah lidahnya tertelan dan menutup pita suara.
"Yang kamu lihat adalah Ibu mertuaku. Keadaannya memang seperti itu. Makanya aku tidak mungkin menunjukkannya pada tamu. Aku melarang tamu untuk melihat lantai dua. Namun kamu mengabaikannya. Sepertinya kamu tipe bocah yang menganggap jika larangan sama dengan perintah," desak Bu Anggun.
"Maafkan aku," ucap Aldo sembari mengayun langkah.
"Kamu pasti juga mengintipku bukan?" tanya Bu Anggun yang membuat Aldo kembali mematung.
"Kamu tahu lagu yang sedang kuputar?" tanya Bu Anggun lagi. Aldo menggeleng perlahan.
"Tembang Maskumambang. Terdengar sedih bukan? Padahal tembang itu menceritakan tentang bayi yang mengambang di dalam rahim. Sayang sekali aku tidak mungkin merasakan pengalaman itu. Makanya aku menyukai kehadiran kalian sebagai tamuku, bocah. Bahkan aku berharap kalian selalu berada di hutan ini, tidak perlu pulang," tukas Bu Anggun.
Aldo tidak menyahut. Ia berjalan menjauhi Bu Anggun dan kembali menapaki tangga untuk turun ke lantai bawah.
"Makan malam sebentar lagi siap," ujar Bu Anggun sekali lagi. Aldo tidak menggubrisnya.
Saat Aldo sampai di lantai satu, rupanya semua orang sudah berkumpul di depan kamar Gery. Termasuk Mak Ijah. Perempuan tua itu tampak berdiri menjaga jarak agak jauh dari Yuzi dan Pak Dolah. Sedangkan Nana masih duduk menyandarkan kepalanya di kasur tempat Gery terbaring.
"Ada apa ini?" tanya Aldo penasaran.
"Mak Ijah meminta kita untuk makan," jawab Pak Dolah datar.
"Benar. Makan malam sudah siap. Ngomong-ngomong kamu darimana Nak?" tanya Mak Ijah tiba-tiba.
"Aku itu, dari depan," jawab Aldo berkilah. Mak Ijah manggut-manggut.
"Baiklah. Sekarang mari ke ruang belakang untuk makan. Semur daging, juga sate gulai sudah disiapkan."
Pak Dolah mengangguk bersemangat. Sedangkan Yuzi dan Aldo tampak enggan. Bagaimana mungkin mereka bisa memikirkan perut padahal Gery sedang meregang nyawa? Bahkan Nana pasti menolak untuk makan.
"Sebaiknya kita makan. Kasihan sudah susah payah dibuatkan makanan. Lagipula kita butuh tenaga untuk berpikir langkah selanjutnya," ujar Pak Dolah.
"Apakah kamu bertemu Putra?" tanya Yuzi pada Aldo, mengabaikan ucapan Pak Dolah.
"Tidak. Aku tidak melihat celeng satu itu. Entah kemana dia pergi," sambung Aldo menggeleng perlahan.
"Hey, percayalah ayo kita makan dulu. Nanti kita cari teman-teman yang lain." Sekali lagi Pak Dolah mengajak untuk makan. Sepertinya Sang Survivor benar-benar sedang kelaparan. Hal yang aneh, mengingat di konten youtube nya ia sering mengatakan jika dirinya sering menahan lapar dan haus saat berada di dalam hutan.
"Mari, silahkan," ajak Mak Ijah berjalan mendahului. Pak Dolah pun mengekornya. Disusul Yuzi dan Aldo. Mereka diarahkan ke meja makan di dekat dapur.
"Apakah Tuan rumah ini tidak ikut makan malam?" tanya Pak Dolah setelah duduk di kursi berbahan kayu jati.
"Beliau selalu melewatkan makan malam dengan alasan kesehatan. Beliau sudah menitipkan pesan agar tamunya segera makan dengan layak," jawab Mak Ijah lugas.
Pak Dolah tanpa ragu mengambil nasi putih, semur daging serta sate. Aldo dan Yuzi pun menuangkan nasi di piringnya.
"Jika ada yang kurang pas atau mungkin menginginkan menu lain bisa disampaikan. Tapi yang pasti makanan ini akan sangat pas di lidah semuanya," ucap Mak Ijah percaya diri.
Apa yang disampaikan Mak Ijah bukan isapan jempol semata. Nyatanya citarasa masakan Mak Ijah memang berkelas. Rasa asin manisnya pas. Dengan aroma bakaran yang melenyapkan bau amis. Daging pun empuk, tidak terlalu berserat dan mudah lepas dari tulang.
"Selama aku menjadi survivor, baru kali ini aku merasakan daging se nikmat ini," puji Pak Dolah.
"Terimakasih," sambung Mak Ijah membungkuk. Perempuan tua itu terlihat menyeringai menakutkan.
Wah, ada kuku? Kuku siapa yah 🤔🤔🤔
Mak Ijah kali ya yang grubak-grubuk mutusin kabel..